"Kalau begitu, bermusik itu sesungguhnya usaha manusia menemukan irama hidupnya sendiri ya? Bukan sekadar meniru atau mengikuti apa yang sudah ada. Tapi, apa benar semua orang yang suka bermain musik bisa begitu?"
Sejurus Vava menarik tubuhnya. Lalu, sebentar pandangan matanya menerawang ke arah langit-langit. Setelah beberapa saat terdiam, ia kemudian angkat bicara, "Wah, agaknya tidak bisa serta merta begitu, Kang. Saya pun belum cukup punya keberanian untuk sampai ke arah itu.'
"Musik yang aku geluti masih sebatas hobi. Kalau harus sampai di titik itu, menganggap musik adalah bagian dari kehidupan, aku masih takut.Â
Tapi, kadang harus aku akui pula, ketika aku bermusik aku seperti menemukan obat bagi rasa kecemasan dan segala kegalauanku. Dengan kata lain, musik bagiku bisa saja aku jadikan sebagai obat," terang Vava.
Pengakuan senada disampaikan Ridho'. Dia menyela, "Kalau aku baru bisa mengatakan bahwa musik sekadar kesenangan. Sekadar hobi.Â
Aku sendiri belum bisa menganggap diriku ini seorang pemusik. Mungkin lebih tepatnya, penikmat musik. Kalaupun aku bisa main salah satu alat musik, itu bukan berarti aku bisa digolongkan sebagai pemusik."
Pengakuan polos Ridho' mungkin bisa dimaklumi. Apalagi memang, selama ini dia baru bisa menirukan. Khususnya, meniru gaya vokalnya Ariel Noah.
Diakuinya juga, kalau dia ini ternyata dikenalkan dengan musik oleh kakak tercintanya yang guru musik di salah satu sekolah di Pekalongan.Â
Katanya, "Untuk belajar musik secara mendalam, aku belum. Ada ketakutan juga. Apalagi selama ini umumnya orang tua menginginkan agar anaknya tidak jadi seniman. Anggapan ini umumnya karena mereka memandang kehidupan sebagai seorang seniman itu---maaf---agak kurang menguntungkan secara ekonomi."
Kendati begitu, Ridho' berusaha menanggapi pernyataan Fafa dengan kalimat bijaknya. Dia bilang, "Kalau boleh aku menanggapi Vava, aku punya pendapat, bahwa musik itu sendiri adalah kehidupan.Â