Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Utang Rasa Saya pada Para Pelawak Indonesia

4 Oktober 2021   02:39 Diperbarui: 4 Oktober 2021   02:48 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melucu atau membuat lelucon, bagi saya, bukan pekerjaan mudah. Apalagi ketika itu ditampilkan di depan publik yang heterogen. Tentu, di dalam heterogenitas memunculkan jarak yang beragam antara penampil lelucon atau pelawak dengan audien.

Seorang pelawak mesti bisa mengukur ketinggian frekuensi audiennya guna mendapatkan frekuensi yang tepat, agar semua orang bisa menerima lelucon-leluconnya itu sebagai penghiburan. Perbedaan bahasa, budaya, ras, agama, kelas sosial, profesi, dan sebagainya juga patut dipertimbangkan. Itu semua agar lawakannya tidak memunculkan polemik di kemudian hari.

Tetapi, itu saja juga belum cukup. Ada persoalan-persoalan lain yang juga patut dipertimbangkan. Yaitu, soal sensibilitas. Seorang pelawak mesti memahami situasi emosi audiennya dengan saksama. Agar, apa yang dilakukan saat di atas panggung atau selama berada dalam tangkapan kamera atau pula selama bersiaran di radio tidak menimbulkan gejolak.

Selain itu, pelawak juga dituntut untuk bisa menghadirkan lawakan-lawakan yang fresh. Bukan lawakan-lawakan basi yang sudah kedaluwarsa. Maka, ia pun mesti menjadi seorang pengamat, pembaca, sekaligus pelaku dari kenyataan hidup sehari-hari. Tujuannya, untuk mendapatkan bahan yang cukup bagi lawakan-lawakannya.

Ia harus tahu isu apa yang sedang ramai. Ia mesti mengetahui cara meramu isu-isu itu menjadi bahan lelucon. Ia juga mesti terampil memainkan kata. Ia mesti piawai pula dalam memainkan ekspresi dan gerak tubuhnya agar tampak alamiah. Dan tentu, ia mesti pandai mengatur tempo, dinamik, dan permainan nada.

Yang jelas, betapa kompleksnya keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang pelawak. Bahkan, sampai ia mesti mampu berpura-pura tak sedang punya masalah pribadi di hadapan audiennya. Ia harus tampil menghibur, walau dalam dirinya beragam masalah sedang berkecamuk.

Untuk hal yang terakhir, rasa-rasanya saya jadi seperti diingatkan pada sebuah lirik lagu gubahan Mas Sujiwo Tejo, "Utang Rasa". Dalam lirik lagunya yang kemudian diaransemen musiknya oleh seorang gitaris kenamaan, Dewa Budjana, Mas Tejo menulis;

Ra kebayar utang rasaku
Sing tak bayar amung pikiran lan tenagane
Ra kebayar utang utang rasaku
Sing tak bayar mung wektu pikiran lan otote

Tak terbayar hutang rasaku
Yang sanggup kubayar hanya pikiran dan tenaganya
Tak terbayar hutang-hutang rasaku
Yang mampu kubayar hanya waktu, pikiran, dan kekuatan ototnya

Lewat lagu itu, Mas Tejo ingin mengatakan, bahwa hutang rasa tak pernah bisa terlunasi. Yang ada dalam pikiran setiap orang hanyalah ketika ia telah mengupah maka urusan selesai. Karena cara berpikir manusia di masa kini cenderung berhitung pada persoalan materi atau hal-hal yang sesungguhnya abstrak namun kemudian dimaterikan. Seperti pikiran, kesempatan, dan tenaga.

Padahal, mungkin saja bukan itu semua. Akan tetapi, hasilnya. Seperti seorang kuli bangunan ketika ia memperbaiki kamar mandi di rumah kita.

Ketika kita meminta bantuan jasanya, bisa jadi sebenarnya bukan jasanya yang kita perlukan. Akan tetapi, hasil dari pekerjaan kuli bangunan itu. Kita meminta agar kamar mandi kita menjadi sesuai dengan keinginan kita. Kran yang dipasang harus begini-begini. Bak mandinya mesti berbentuk sesuai keinginan kita. Lantainya, dindingnya, dan semuanya mesti sesuai keinginan kita.

Selesai semua dikerjakan, kita bayar sesuai yang disepakati. Tetapi, apakah kita pernah memikirkan tentang kenyamanan yang ditimbulkan oleh jasa kuli bangunan itu? Berkat kerjanya, kita bisa merasakan betul nyamannya di kamar mandi.

Jika dihitung lagi, kenyamanan itu ternyata kita rasakan bertahun-tahun. Tetapi, apakah lamanya rasa nyaman yang kita rasakan di kamar mandi itu masuk dalam hitungan kita untuk membayar upah kuli bangunan itu?

Dengan nada yang satire Mas Tejo, Presiden Jancuker itu pun menulis dalam bait terakhir pada lagu itu;

Sing tak bayar mung wektumu
Sing tak bayar mung pikiranmu
Sing tak bayar mung kringetmu
Utang rasaku kepriye?

Yang mampu kubayar hanya waktumu
Yang bisa kubayar hanya pikiranmu
Yang dapat kubayar hanya cucuran keringatmu
Lalu, bagaimana dengan hutang rasaku?

Dan begitu pula, ketika saya memandang dunia lawak. Orang menghargai seorang pelawak karena ia merasa terhibur. Tetapi, jarang orang memikirkan, bagaimana perasaan sang pelawak itu. 

Jarang pula yang memikirkan, lawakan sang pelawak itu telah mengubah suasana hati, yang semula murung menjadi riang. Padahal, untuk mengubah suasana hati tentu tak semudah seperti memperbaiki kamar mandi.

Ah! Rasanya terlalu banyak utang rasa saya yang menumpuk kepada para penghibur, khususnya para pelawak negeri ini. Mereka tak sekadar melawak, mereka juga membuka cakrawala pikiran saya tentang siapa diri saya sesungguhnya, lewat lelucon-leluconnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun