Ketika kita meminta bantuan jasanya, bisa jadi sebenarnya bukan jasanya yang kita perlukan. Akan tetapi, hasil dari pekerjaan kuli bangunan itu. Kita meminta agar kamar mandi kita menjadi sesuai dengan keinginan kita. Kran yang dipasang harus begini-begini. Bak mandinya mesti berbentuk sesuai keinginan kita. Lantainya, dindingnya, dan semuanya mesti sesuai keinginan kita.
Selesai semua dikerjakan, kita bayar sesuai yang disepakati. Tetapi, apakah kita pernah memikirkan tentang kenyamanan yang ditimbulkan oleh jasa kuli bangunan itu? Berkat kerjanya, kita bisa merasakan betul nyamannya di kamar mandi.
Jika dihitung lagi, kenyamanan itu ternyata kita rasakan bertahun-tahun. Tetapi, apakah lamanya rasa nyaman yang kita rasakan di kamar mandi itu masuk dalam hitungan kita untuk membayar upah kuli bangunan itu?
Dengan nada yang satire Mas Tejo, Presiden Jancuker itu pun menulis dalam bait terakhir pada lagu itu;
Sing tak bayar mung wektumu
Sing tak bayar mung pikiranmu
Sing tak bayar mung kringetmu
Utang rasaku kepriye?
Yang mampu kubayar hanya waktumu
Yang bisa kubayar hanya pikiranmu
Yang dapat kubayar hanya cucuran keringatmu
Lalu, bagaimana dengan hutang rasaku?
Dan begitu pula, ketika saya memandang dunia lawak. Orang menghargai seorang pelawak karena ia merasa terhibur. Tetapi, jarang orang memikirkan, bagaimana perasaan sang pelawak itu.Â
Jarang pula yang memikirkan, lawakan sang pelawak itu telah mengubah suasana hati, yang semula murung menjadi riang. Padahal, untuk mengubah suasana hati tentu tak semudah seperti memperbaiki kamar mandi.
Ah! Rasanya terlalu banyak utang rasa saya yang menumpuk kepada para penghibur, khususnya para pelawak negeri ini. Mereka tak sekadar melawak, mereka juga membuka cakrawala pikiran saya tentang siapa diri saya sesungguhnya, lewat lelucon-leluconnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H