Sementara, di luar istana, nyaris tak terdengar nama-nama kesohor para pengarang/pujangga. Ada dugaan, profesi kepengarangan di luar istana tidak berkembang lantaran kuatnya cengkeraman kekuasaan raja-raja kala itu. Oleh sebab itu, sulit bagi rakyat biasa untuk bisa membuat karangan. Apalagi jika yang ditulisnya itu bertentangan dengan pandangan raja atau aturan main kerajaan. Dengan begitu, kisah-kisah pun akhirnya menyebar melalui tradisi lisan. Akibatnya, tidak jarang satu kisah yang sama memiliki banyak versi. Bahkan, sampai detik ini keragaman versi dari satu kisah ini sulit diidentifikasi mana kisah babonnya.
Di era kini, kita patut berbahagia, karena siapa pun boleh menulis. Tentang apapun. Bahkan, seorang rakyat biasa yang tak punya kedudukan apa-apa di masyarakat boleh menyampaikan kritik terhadap kebijakan penguasa. Tidak hanya itu, rakyat biasa pun boleh juga memberi sanggahan atas kritik itu dengan tulisan pula. Akan tetapi, untuk bisa dinyatakan tulisan itu berdasar dan kuat, ia mesti didukung pula oleh metode yang tepat. Nah, soal metode juga banyak pilihan yang bisa digunakan. Tentu, disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan tulisan.
Jadi, saya pikir, bangsa ini sudah mengalami kemajuan yang begitu rupa. Menempatkan tulisan sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Gus Mus bahkan pernah mengatakan, peradaban paling puncak dari suatu bangsa adalah sastra. Dan cara mengenalkan sastra di masa sekarang ini adalah melalui tulisan. Sebab, tulisan menjadi rekaman yang paling canggih yang pernah dicapai oleh manusia. Tradisi oral saja tidak cukup.
Dan saya kira, sekarang bukan saatnya lagi kita terjebak pada dikotomi Barat-Timur yang sudah usang itu. Sebab, dikotomi yang demikian kadang justru membuat kita terjebak dalam ketidakjelasan yang kabur. Apa itu Barat? Apa itu Timur? Saya pikir, batasnya juga tak jelas. Malah dalam obrolan-obrolan santai, dikotomi Barat-Timur ini kerap dimunculkan dengan dasar yang cenderung asumtif. Alih-alih ingin mengunggulkan budaya sendiri, eh malah terjebak pada sikap pesimistis.
Sikap kita semestinya berpijak pada idiom "Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat". Artinya, kita mesti memiliki rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa di dunia ini. Tetapi, untuk menemukan rasa percaya diri itu mesti pula dibarengi dengan upaya untuk menemukan jati diri yang tepat. Bukan sekadar njeplak, asal ucap. Sehingga, kita dapat bergaul dan memposisikan sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Sebab, setiap bangsa adalah warga dunia. Sama kedudukannya. Tidak ada beda. Hanya soal bagaimana mengelola dan mengolah pengetahuan-pengetahuan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada.
Sekali lagi, tidak semua yang dari Barat itu buruk dan tidak semuanya yang dari Timur itu baik. Tetapi, ada tempatnya masing-masing. Ada keunggulan-keunggulan yang dimiliki tiap-tiap bangsa yang perlu sama-sama diapresiasi. Tak perlu memaksa harus Timur atau harus Barat. Sekarang, adalah era bagi semua bangsa memiliki hak yang sama untuk duduk semeja. Menjadi orang Jawa juga perlu memahami etika orang Barat, supaya ketika kita bertandang ke sana, kita tahu mana yang seharusnya tanpa harus melepaskan kejawaan kita. Demikian saya kira.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI