Tetapi, tidak demikian dengan rakyat negeri batik. Mereka tidak terlalu mau ambil pusing dengan kesantunan yang basa-basi. Kesantunan bagi rakyat negeri batik adalah ketika tidak ada lagi basa-basi yang berlebihan. Soal diterima atau tidak sikap dan perilakunya, itu urusan belakangan.
Jadi, sangat wajar jika ungkapan-ungkapan yang digunakan rakyat negeri batik ini cenderung terbuka. Bahkan bahasa mereka pun tidak mengenal tingkatan bahasa (unda usuk) sebagaimana yang berlaku pada tradisi Keraton Jawa.
Kalaupun kemudian ada sedikit bahasa Jawa krama yang mereka gunakan, itupun sekadarnya. Seperlunya saja. Bergantung siapa yang sedang dihadapi dan keperluannya. Itupun kadang hanya berlangsung sebentar. Biasanya hanya pada bagian awal.
Selanjutnya, ketika sudah memasuki perbincangan yang panjang, kembali pada bahasa Jawa ngoko. Karena bagi rakyat negeri batik, penggunaan bahasa Jawa krama membikin segalanya menjadi kaku. Tidak luwes dan tidak akrab.Â
Begitulah kira-kira rasa bahasa rakyat negeri batik. Begitu terbuka, tanpa kenal kelas, juga tanpa basa-basi.
Kendati demikian, ada yang unik dari cara mereka menyapa orang. Kerap saya dengar sapaan "Ji" (singkatan dari Kaji). Biasanya, sapaan ini diberikan kepada orang yang sudah menunaikan ibadah haji.Â
Tetapi, di dalam pergaulan sehari-hari, sapaan ini bisa saja diberikan kepada orang yang tampak berkelas, yang berpenampilan agak perlente dan baru dikenal, mungkin juga diberikan kepada orang yang entah kebetulan atau sengaja memakai peci. Padahal, belum tentu yang disapa "Ji" itu sudah haji.
Bagi yang disapa demikian pun tak harus menjadi berat hati, karena sapaan ini tidak bermaksud menyindir atau menghina. Sebaliknya, bisa jadi sapaan "Ji" itu merupakan doa bagi yang disapa "Ji" (terutama yang belum menunaikan ibadah haji), agar bisa segera berangkat ke tanah suci.
Tetapi, bisa saja sapaan "Ji" itu bermakna lain. Terutama berkaitan dengan kelas sosial. Ya, titel haji yang dilekatkan pada nama seseorang seolah-olah telah menjadi simbol kelas atau status sosial tersendiri. Ia juga merujuk pada tingkat kesuksesan seseorang.Â
Lantas, apakah itu salah? Saya kira tak perlu buru-buru menghakimi salah atau benar pada persoalan tersebut. Ada hal lain yang patut digali lebih dalam, yaitu kaitannya dengan memaknai sapaan "Ji" tersebut.