batik sebagai warisan budaya nonbendawi, ramai-ramai orang mulai bikin batik. Semangat memproduksi batik pun terjadi di beberapa kota di Indonesia. Sementara, di Pekalongan, dampak pengukuhan batik sebagai warisan budaya nonbendawi ini memberi pengaruh besar bagi dunia bisnis batik. Sejak itu, bisnis batik meroket.
Sejak 12 tahun silam, ketika UNESCO mengukuhkanTak heran, kalau kawasan ini kemudian dikenal sebagai produsen batik. Ditambah, produk batik dari kawasan ini juga sudah sangat dikenal di mana-mana. Bahkan, saat saya sempat mampir ke kota Makassar dan beberapa kota lainnya di luar pulau Jawa, saya kerap menjumpai pedagang batik. Dari mereka saya dapatkan pula keterangan kalau batik yang mereka jual itu rata-rata produk dari Pekalongan.
Melihat yang seperti itu, sudah tentu, sebagai wong Kalongan (sebutan untuk orang Pekalongan) saya merasa bangga karena batiknya bisa sampai ke luar pulau. Bahkan, menurut penuturan si penjual batik itu, batik Pekalongan cukup mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Batik Pekalongan lebih bisa diterima karena motifnya yang fashionable dan harganya yang terjangkau.
Tetapi, mengapa Pekalongan bisa seproduktif itu? Tentu, ini ada kaitannya dengan sejarah. Saya yakin, bahwa dunia perbatikan Pekalongan memiliki sejarah panjang. Hanya saja, sampai saat ini jejak sejarah itu belum tuntas diuraikan.
Arief Dirhamzah atau yang karib disapa Kang Dirham, sahabat yang sekaligus bos saya di Radio Kota Batik, seorang jurnalis yang kini menggeluti sejarah Pekalongan, tak mengelak pendapat itu. Ia mengakui hal itu. Katanya, untuk menelusuri periode awal sejarah batik Pekalongan masih sulit dilakukan.
Minimnya bukti arkeologi dan sumber-sumber catatan lainnya menjadi kendala. Informasi mengenai siapa yang kali pertama mulai membatik pun masih belum tersingkap. Bahkan, masih ditemukan banyak versi.
Ada yang menyebut jika sejarah batik dimulai sejak era keemasan Sriwijaya, ada pula yang menyebut masa awal batik dimulai dari persebarluasan kekuasaan Mataram Islam. Juga ada yang beranggapan jika batik diawali dari periode Perang Jawa yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Ada juga yang berasumsi jika sejarah batik Pekalongan lebih karib dengan kebudayaan Tiongkok, dan masih banyak lagi versi lainnya.
Tentu, kesimpangsiuran ini menjadi pekerjaan besar bagi generasi masa kini dan generasi berikutnya. Terutama, dalam menelusuri jejak sejarah batik Pekalongan masih menawarkan peluang besar bagi siapapun untuk bisa terlibat. Amat sayang jika hal itu tidak mendapatkan perhatian. Sebab, jika hal itu tidak pernah terperhatikan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan semakin buta arah.
Kegelisahan Kang Dirham, saya kira sangat bisa dipahami. Dalam perkembangannya, sejarah batik Pekalongan terdistorsi oleh industrialisasi batik yang telah menggeser pemaknaan batik sebagai budaya ke arah ekonomi. Dengan kata lain, batik tidak lagi dimaknai sebagai cara ungkap yang mencoba menawarkan nilai-nilai yang sarat pesan moral. Yang di dalamnya juga terdapat kandungan makna yang tidak semata-mata berbicara tentang keindahan, melainkan pula berbicara tentang bagaimana usaha manusia mempertahankan keindahan-keindahan hidup.
Batik juga menawarkan sebuah cara yang dapat dilakukan manusia di dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan. Bahwa manusia menjadi bagian dari alam semesta sudah semestinya bertanggung jawab bagi usaha-usaha untuk mencapai pada tahap hidup yang seimbang. Tidak berat sebelah, tidak tumpang tindih. Tetapi, ia mampu memaknai kehidupan sebagai cara Tuhan di dalam menunjukkan kebenaran.
Sementara, berkaitan dengan keselarasan, batik menawarkan sebuah model bagi usaha manusia untuk menjaga hubungan yang selaras antara mikro dan makro kosmos. Antara manusia dan lingkungan serta alam semesta. Keseimbangan ini pula yang selanjutnya akan menjadi bagian dari cara manusia mencapai pada tahap penyerahan diri kepada Sang Khalik.