Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ilmu Batik Itu Ilmu Rasa

27 September 2021   04:55 Diperbarui: 30 September 2021   02:52 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Dudung dan karya batiknya (sumber foto: dok. Dudung Alisyahbana)

"Batik itu ilmu rasa!" demikian ungkap Dudung Alisyahbana dalam sebuah diskusi yang digelar di emper kampus Universitas Pekalongan, malam itu. Mula-mula, salah seorang maestro batik asal Pekalongan ini ogah nimbrung dan urun rembug. 

Tetapi, setelah dipaksa, ia segera mengambil tempat duduk di samping saya, lalu mengungkapkan banyak hal tentang batik, jauh melampaui yang saya ketahui.

Berapi-api ia sampaikan beberapa persoalan tentang batik. Diurainya dengan urut. Saya yang duduk di sampingnya hanya terbengong. Melongo!

"Ngomong batik, mestinya tidak sekadar ngomong barang jadi. Ngomong produk. Ngomong benda. Apalagi ngomong soal komoditas. Tidak sebatas itu!" tegasnya.

Lalu, sejenak ia pun mengedarkan pandangannya kepada semua yang hadir. Semua tampak diam. Menunggu kata-kata yang akan segera meluncur.

Penampilan Mas Dudung malam itu begitu menyedot perhatian. Laiknya seorang empu, orang-orang yang hadir menantikan petuahnya. Mereka berharap dapat mencerap ilmu dari sang empu batik ini.

"Jika sampeyan-sampeyan ini memandang batik sekadar sebagai fashion, sebagai benda, maka sampeyan telah menjerumuskan diri pada pemahaman yang keliru. Artinya, sampeyan sudah tidak memiliki rasa kepercayaan diri sebagai sebuah entitas kebangsaan. Sampeyan telah mengerdilkan diri sebagai bangsa maju," lanjutnya.

Ungkapan Mas Dudung kali ini membuat dahi para hadirin kian berkerut, tidak terkecuali saya. Alis mereka seolah-olah tak lagi berjarak antara kiri-kanannya. 

Dipersatukan oleh kata-kata Mas Dudung yang benar-benar menyita perhatian. Punggung mereka pun makin membungkuk dan dagu mereka makin lebih maju ke depan dibandingkan hidung mereka. Kini, Mas Dudung benar-benar menjadi pusat gravitasi. Seluruh elemen alam yang ada di hadapannya tersedot seketika. Set!

Dan kata-katanya adalah luncuran energi yang terhimpun dari rasa ingin tahu para hadirin. Kata-kata Mas Dudung tidak lain adalah pancaran energi keingintahuan yang tertumpu pada magnet. 

Dengan begitu, apa yang diungkapkan Mas Dudung hanyalah upaya mengembalikan kesadaran pada diri-diri yang hadir untuk kembali bangkit dan bangun dari ketaksadarannya. Semacam titik-titik air kolam yang menciprat karena lontaran batu yang dilempar oleh rasa ingin tahu para hadirin.

Ya, Rasa ingin tahu itu ibarat sebongkah batu yang dilempar ke tengah telaga. Sebesar apapun itu ukurannya dan sebesar apapun tenaga yang digunakan untuk melempar batu itu ke dalam air, pengetahuan yang didapat belum tentu seukuran batu itu. 

Bisa jadi hanya setitik air yang memercik ke muka. Tetapi, dari setitik air itu bisa saja ditafsir-tafsir dengan beragam cara, sampai akhirnya muncul beragam pengetahuan tentang telaga itu. 

Pengetahuan, dengan demikian, hanyalah efek dari usaha manusia di dalam membaca, mengenali, mengerti, memahami, menghayati, dan mencerna setiap fenomena yang terjadi di alam semesta.

Lalu, setelah dipahami dan dihayati, pengetahuan itu kemudian disampaikan kembali, disebarluaskan melalui beragam bentuk dan cara. Seperti halnya dengan batik.

"Batik itu olahrasa orang Jawa. Di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang diolah melalui ilmu rasa. Di dalamnya juga terdapat pengetahuan-pengetahuan yang kompleks, terutama berkaitan dengan kehidupan serta hubungan antara mikro dan makro kosmos. Pesan-pesan itu disampaikan melalui beragam cara di dalam batik. 

Bisa melalui motifnya, bisa melalui prosesnya, bisa juga melalui hubungan antara manusia sebagai jiwa dengan unsur-unsur yang digunakan di dalam membatik. 

Semacam persenyawaan antara kejiwaan manusia dengan kejiwaan makhluk lain, juga dengan benda-benda. Semacam penghargaan dan penghormatan kepada alam semesta, serta yang lebih penting lagi adalah sebagai persembahan kepada Sang Maha Mencipta," tutur Mas Dudung.

Jika begitu, bisa jadi batik memiliki ragam fungsi yang jamak. Ia bisa menjadi media tuang pemikiran, bisa juga menjadi bagian dari proses menggali pengetahuan. 

Semacam wahana belajar alias pasinaon. Tidak sekadar menjadi barang seni atau barang kerajinan. Tidak hanya artistik atau pula bernilai ekonomi. Melainkan, ada nilai lebih di dalamnya yang lebih dari yang "dilebih-lebihkan" itu.

"Saya punya pengalaman dagang batik dengan orang-orang Barat, orang Eropa dan Amerika. Mereka semua cerewetnya minta ampun. Padahal, hanya membeli satu helai kain batik. 

Mereka rewel jika nanti pakai batik kulitnya bisa iritasilah, bisa begini, begitu. Pokoknya rewel! Tetapi, dari mereka saya jadi tahu, mereka tidak tahu apa-apa. 

Ilmu pengetahuan mereka tidak sampai pada wilayah rasa. Makanya kering dan tak berasa. Sepah. Jadi, kita, bangsa Nusantara ini sebenarnya bangsa unggul. Makanya, kita kerap direcoki, karena kita unggul!" tegas Mas Dudung.

Nada suara Mas Dudung yang tampak kesal terhadap pengalaman buruknya dengan orang-orang Eropa dan Amerika ini seperti hendak mengatakan pada semua yang hadir, bahwa ada semacam kesalahan sistem yang kadung diamini. 

Seolah-olah segala yang dari Barat itu baik dan unggul. Semua yang dari sana seolah-olah harus diikuti, dituruti maunya, bahkan disembah-sembah.

"Orang Barat, dengan pengetahuannya hanya melihat apa yang dapat dilihat. Tetapi, tak mampu menembus dimensi rasa. Materi! Itulah kuncinya. 

Dan materi itulah yang kini menjadi perbincangan dimana-mana. Padahal, materi itu yang menjadikan esensi menghilang. 

Lalu, apa gunanya ilmu pengetahuan jika tak mampu memberi penjelasan dan kepastian tentang esensi? Di sinilah peran Jawa. Peran Nusantara! Mengungkap rasa, memaknai kehidupan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan," lanjut Mas Dudung.

Oalah! Zaman sudah berubah. Matahari tidak lagi terbit dari ufuk timur. Redup cahaya timur, redup pula api sejarah bangsa-bangsa Timur. Putaran bumi telah dibalikkan oleh pengetahuan yang entah datangnya darimana.

 Lalu, kita dipaksa jungkir balik. Kepala di bawah, kaki di atas. Barangkali, ini pula yang menjadi kode tersembunyi dari tapa ngalong Jaka Bahu. Bahwa pada masanya nanti, dunia harus dipandang dengan cara terbalik agar kita tak katut, tidak ikut terjungkir balik. 

Agar kita tak mengedepankan nafsu birahi kekuasaan dan menurunkan derajat akal dan rasa. Jangan sampai pula kedudukan pusar lebih tinggi dari hati dan akal. Pusar tak boleh merendahkan akal dan nurani. 

Tetapi, pesan itu tampaknya tak mampu kita baca sejak berabad-abad lamanya. Mengapa? Karena sulit rasanya mencapai pada tahap kesanggupan.

Ya! Kesanggupan adalah optimisme! Kesanggupan adalah spirit yang yakin dan percaya diri. Mau menegak dan meneguh pada prinsip yang jelas. Bukan sekadar melakukan, melainkan menjadikan setiap tindakan itu bermakna dan mampu memberi makna pada kehidupan.

Baca juga:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun