Menulis itu lebih banyak dipengaruhi hal-hal non teknis. Begitu kata, Aguk Irawan, saat mengisi KKL Online yang diselenggarakan Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, IAIN Pekalongan, 12 April 2021 silam. Menurutnya, "Hal-hal teknis itu cuma 20 persen. Selebihnya, non teknis. Seperti spiritualitas, motivasi dan lain-lain."
Aguk Irawan merupakan novelis kenamaan yang mukim di Jogja. Ia banyak menulis novel biografi. Beberapa di antaranya Sang Mujtahid Islam Nusantara (Novel Biografi KH. Abdul Wahid Hasyim), Peci Miring (Novel Biografi Gus Dur), CahayaMu Tak Bisa Kutawar (Novel Biografi Mahfud MD), Sosrokartono (Novel Biografi RMP Sosrokartono), dan sebagainya.
Kalau dilihat dari novel-novel tadi, kayaknya sih mas Aguk Irawan memang spesialis nulis novel biografi, yaitu sebuah genre sastra (novel) yang dilatarbelakangi kisah hidup tokoh. Tentu, karya ini berbeda dengan biografi pada umumnya. Pendekatan yang digunakan di dalam mengungkap kisah para tokoh menggunakan pendekatan sastra. Sehingga, kisahan dalam novel ini dikemas dalam cerita fiksi. Bahasanya pun tidak sama dengan buku-buku biografi yang cenderung menggunakan pendekatan sejarah.
Sudah barang tentu, pendekatan sastra lebih longgar sifatnya daripada pendekatan kesejarahan. Pendekatan sastra memungkinkan seorang penulis novel biografi untuk menggambarkan peristiwa berdasarkan impresi, interpretasi, dan intuisinya. Sementara, pendekatan kesejarahan tidak boleh lepas dari perangkat keilmuan yang ketat.
Meski pendekatan sastra lebih longgar, ketekunan tingkat ekstra menjadi sangat dibutuhkan. Terutama, kemauan untuk mengeksplorasi segala hal. "Nah, untuk melakukan itu, kita butuh apa yang namanya kesanggupan untuk tidak menganggap segala sesuatu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Makanya, menjadi setengah gila juga diperlukan," kata Mas Aguk.
Seorang penulis, tuturnya, mesti mampu melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang berbeda. Bahwa setiap yang ditemuinya---apapun itu---adalah unik. "Cara ini akan membantu kita menemukan konsep tentang apa yang akan kita tulis," jelas novelis yang jebolan Universitas Al Azhar ini.
Namun, seperti diakuinya, untuk sampai pada tahap itu, seseorang yang ingin menekuni dunia menulis perlu melatih diri agar terbangun pembiasaan-pembiasaan yang sebenarnya 'tidak biasa'. Salah satu latihan khusus itu adalah dengan membaca.
"Seorang penulis itu bukan orang yang jago nulis. Tetapi, ia harus punya kebiasaan di dalam dirinya untuk membaca. Membaca apa saja. Tidak selalu harus novel, cerpen, atau karya-karya sastra lainnya. Tetapi, apapun itu bacalah!" ungkapnya.
Membaca, menurut Aguk Irawan yang kini bergelar doktor, merupakan aktivitas yang sebenarnya tidak sederhana. Apalagi di masa sekarang yang sumber-sumber bacaannya tersedia begitu mudah. Internet misalnya, memberikan sarana yang luas dan longgar bagi siapapun untuk dapat mengakses bahan bacaan.
"Tetapi, apakah itu cukup? Tidak. Membaca buku-buku yang jumlahnya sudah sulit dihitung itu juga diperlukan," ujarnya.
Dengan membaca buku, seseorang yang hendak menekuni dunia kepenulisan akan mendapatkan asupan gizi yang baik tentang banyak hal. Tidak sekadar bagaimana menulis, bagaimana merangkai kata-kata. Akan tetapi, dengan membaca, seseorang juga akan mengasup daya pikirnya supaya pikirannya menjadi terbuka dan diperkaya dengan khazanah pemikiran.
Kekayaan pemikiran inilah yang oleh Aguk Irawan dianggap sebagai pintu bagi seseorang untuk dapat menerima segala keberagaman. Menurutnya, seorang penulis yang baik bukanlah orang yang menutup bagi keragaman pemikiran itu. Seorang penulis yang baik mestinya mampu menempatkan diri secara tepat di dalam konstelasi dunia pemikiran yang beragam itu.
"Kalau sudah akrab dengan hal-hal seperti itu, menulis pada akhirnya bukan lagi soal teknis. Urusan teknis, seperti bagaimana membuat kalimat, merangkai kata, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu urusan belakang. Sebab, menulis pada hakikatnya bukan usaha kita merangkai kata. Tetapi, lebih pada bagaimana cara kita menyampaikan gagasan," tandasnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan, bahwa menulis mestinya dijalani sebagai suatu cara setiap orang untuk memahami dan menyelami kehidupan. Maka, di dalam menulis, sebenarnya terselip sebuah nilai yang sangat berharga bagi setiap orang, yaitu nilai ibadah. Sebab, untuk bisa menulis, yang pertama mesti dilakukan oleh seorang penulis adalah membaca. Dan membaca, dalam sejarah kenabian, terutama nabi Muhammad SAW, adalah perintah pertama yang diturunkan Tuhan kepada rasul-Nya, via malaikat Jibril.
"Dua aktivitas ini saling terhubung. Karena membaca artinya kita sedang menghimpun apa-apa yang kita butuhkan untuk kemudian dijadikan sebagai bahan dalam tulisan kita," pungkas Aguk Irawan sebelum akhirnya dilanjutkan dengan diskusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H