Kekayaan pemikiran inilah yang oleh Aguk Irawan dianggap sebagai pintu bagi seseorang untuk dapat menerima segala keberagaman. Menurutnya, seorang penulis yang baik bukanlah orang yang menutup bagi keragaman pemikiran itu. Seorang penulis yang baik mestinya mampu menempatkan diri secara tepat di dalam konstelasi dunia pemikiran yang beragam itu.
"Kalau sudah akrab dengan hal-hal seperti itu, menulis pada akhirnya bukan lagi soal teknis. Urusan teknis, seperti bagaimana membuat kalimat, merangkai kata, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu urusan belakang. Sebab, menulis pada hakikatnya bukan usaha kita merangkai kata. Tetapi, lebih pada bagaimana cara kita menyampaikan gagasan," tandasnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan, bahwa menulis mestinya dijalani sebagai suatu cara setiap orang untuk memahami dan menyelami kehidupan. Maka, di dalam menulis, sebenarnya terselip sebuah nilai yang sangat berharga bagi setiap orang, yaitu nilai ibadah. Sebab, untuk bisa menulis, yang pertama mesti dilakukan oleh seorang penulis adalah membaca. Dan membaca, dalam sejarah kenabian, terutama nabi Muhammad SAW, adalah perintah pertama yang diturunkan Tuhan kepada rasul-Nya, via malaikat Jibril.
"Dua aktivitas ini saling terhubung. Karena membaca artinya kita sedang menghimpun apa-apa yang kita butuhkan untuk kemudian dijadikan sebagai bahan dalam tulisan kita," pungkas Aguk Irawan sebelum akhirnya dilanjutkan dengan diskusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H