Ketepatan pilihan kata tidak semata-mata dalam urusan pembunyiannya. Akan tetapi juga dalam kontekstualnya. Yaitu, yang berkaitan dengan konteks kehidupan yang berlaku di masyarakat dunia saat ini.
Jeriting panandhang, Oh Gustiku
Swara tangis kang kelayung
Trenyuh sakjroning ati
Angadhepi pacoban iki
Manungsa tan bisa anylaki
Pepati kang nggegirisi
Titah tanpa daya
Angadepi pacoban iki
Melalui dua bait itu, lagu ini dimulai dari sebuah pengakuan dari seorang manusia atas ketidakberdayaannya menghadapi segala macam cobaan. Bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk lemah yang tidak memiliki daya apa-apa. Maka, yang bisa dilakukan hanyalah bersimpuh memohon ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sementara, pada bait kedua, lirik lagu tersebut menjadi semacam pengakuan yang lebih mendalam. Bahwa di dalam menghadapi keadaan yang demikian parah, ketika kematian merajalela, tak ada satu pun manusia yang sanggup menghindarinya. Kematian dalam keadaan yang demikian parah itu digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Meski begitu, diakui pula bahwa kematian adalah keniscayaan bagi setiap makhluk yang hidup, tidak terkecuali manusia.
Maka, hanya kepasrahan yang bisa dilakukan oleh manusia. Kepasrahan pada kekuasaan Tuhan, pada takdir Tuhan. Sebagaimana yang diungkap dalam bait berikutnya:
Aduh Gusti amung pasrah ing pesthi
Aku percoyo langit tan mendhung
Ilang tangis kang melung-melung
Gusti mesthi bakal mungkasi
Surya sumunar hamadangi
Kepasrahan dalam lirik lagu ini digambarkan tidak sekadar pasrah tanpa alasan. Tetapi, juga didasari keyakinan bahwa segala yang menjadi rintangan, halangan, dan cobaan adalah bagian dari kekuasaan Tuhan. Sehingga, keyakinan itulah yang menguatkan manusia agar bersikap tegar dan tabah di dalam menghadapi semua cobaan. Sebab, hanya Tuhan yang bisa mengakhiri cobaan ini. Lalu, akan muncullah yang dinamakan kehidupan baru.
Urip kang sayekti
Jagad anyar kang dumadi
Nah, saya pikir, lagu "Jagad Anyar Kang Dumadi" layak dikategorikan lagu religi. Tetapi, sayang lagu ini jarang saya dengar pada jam-jam yang disakralkan di radio-radio itu. Apa mungkin karena lirik lagunya pakai bahasa Jawa, sehingga dipandang "aneh"? Atau mungkin karena yang nyanyi Soimah Pancawati yang nggak pakai jilbab? Malah dalam videoklipnya ia mengenakan kemben dengan tata rias yang sangat sederhana, cenderung polosan dan bersanggul khas perempuan Jawa.
Bagi saya, kemben tidak selamanya harus ditafsirkan sebagai sensualitas. Sebaliknya, dalam videoklip lagu "Jagad Anyar Kang Dumadi", pemakaian kemben itu justru ingin menunjukkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak menyandang apapun. Segala macam atribut yang ditampilkan sebagai kemewahan hanyalah sesuatu yang semu dan sifatnya sementara. Fana.