Universitas Pekalongan, Dr. Dina Nurmalisa, S.S., M.Hum beberapa waktu lalu begitu asyiknya. Ia banyak berkisah pengalamannya selama di kampus tempat ia bersekolah S-3, Universitas Indonesia. Kisah itu membuat saya bersungguh-sungguh menyimak. Berusaha agar tidak melewatkan satu pun detil peristiwa. Saya yakin, ceritanya pasti seru.
Obrolan saya dengan Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,Tebakan saya tak meleset. Ada sekelumit cerita seru yang dialaminya saat bertemu dengan salah seorang tokoh perfilman nasional. Namanya Pak Jujur Prananto. Pria kelahiran Salatiga, 30 Juni 1960 silam ini adalah salah seorang penulis skenario film Indonesia.
Sebelum terjun ke dunia perfilman, Pak Jujur mengawali kariernya di bidang penulisan lewat cerita pendek. Beberapa kali pula dimuat dalam Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas. Tentu, tokoh yang dikisahkan Bu Kaprodi ini bukan sembarang tokoh. Bagi kalangan muda, nama beliau mestinya tidak asing, sebab beliau juga terlibat dalam pembuatan film Ada Apa dengan Cinta?
Seperti diceritakan Doktor Dina, tokoh yang satu ini sempat berbagi pengalaman. Bahwa untuk menjalani profesi sebagai penulis skenario, modal yang harus memiliki adalah kepekaan terhadap kenyataan bahasa. Maksudnya, bahasa sebagai alat komunikasi. Untuk itulah, ia harus terus memaksakan dirinya berlatih menulis. Menulis tentang apa saja.
Sampai di situ, saya hanya mengiyakan. Mengamini apa yang dinyatakan sang maestro skenario film. “Sepakat!” kata saya menanggapi tuturan Bu Doktor yang anggun itu.
Akan tetapi, kata sepakat itu kemudian saya sambung dengan menyoalkan dunia kepenulisan. Saya katakan pada Bu Doktor yang dulu adik tingkat saya di Universitas Negeri Semarang, “Kita masih lemah soal menulis. Aturan-aturan yang baku membuat pikiran kita akhirnya beku. Sehingga tak bisa lancar mengalir dalam menulis. Apalagi hidup di lingkungan yang ngilmiah, maka tulisan kita harus ngilmiah hanya untuk memperlihatkan sisi-sisi keilmiahan. Akibatnya, kita menjadi gagap menulis. Kita tak bisa mengenali kisah-kisah. Bisa jadi, kita malah terjebak pada cara pandang yang keliru. Bahwa kisah-kisah itu tidak penting lagi dalam kehidupan. Padahal, kehidupan itu sendiri dalam perjalanannya justru membangun kisah,” jelasku agak panjang.
Sekilas, tampak tatapan mata Bu Kaprodi saya ini menjernih. Seperti ada sesuatu yang membangkitkan gairahnya untuk melanjutkan diskusi kecil ini. “Ya, kurang lebihnya memang begitu sih. Kelemahan kita adalah menuliskan segala sesuatu menjadi sebuah narasi. Sebuah obrolan kecil yang kadang kita anggap tak penting pun sebenarnya bisa menjadi narasi yang menarik ketika itu ditulis dengan baik pula. Peristiwa kecil bisa sangat berkesan dan sangat dalam maknanya,” tuturnya.
“Ah iya, aku kemarin baca tulisanmu. Bagiku, itu menarik. Meski tulisan pendek, tapi aku suka,” lanjutnya.
“Oh itu, sebenarnya kejadiannya tak begitu menarik. Hanya peristiwa kecil,” kata saya.
“Penting tidak penting, menarik tidak menarik, semua sangat bergantung pada bagaimana cara mengemasnya, Kang,” celatuk Dina.
“Tulisan berdaya kuat untuk menyajikan kembali sebuah peristiwa bukan sebagai sesuatu yang tampak secara visual. Tetapi, melalui kekuatan bahasa dan pemilihan kata yang tepat, sebuah peristiwa bisa dihadirkan ulang ke dalam ruang imajinasi para pembacanya. Ya, bahasa adalah sebuah media untuk merekam peristiwa dan menyajikannya ke khalayak manakala peristiwa itu memang dikehendaki untuk dihadirkan ke publik. Di situlah sebenarnya, bahasa bertindak sebagai alat komunikasi. Membangun dimensi ruang-waktu juga atmosfer yang tercipta di dalam dimensi itu,” sahut saya.