Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghayati Makna Sukses dari Tukang Becak

25 September 2021   03:00 Diperbarui: 28 September 2021   12:33 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: infofotografi.com (Erwin Mulyadi)

Pada sepenggal hari di musim penghujan, saya mengajak anak dan istri jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar di Kota Pekalongan. Bukan untuk berbelanja, melainkan sekadar penyegaran. Bhumi dan Radit yang punya hajat. Mereka ingin sekali menikmati aneka wahana permainan di arena bermain yang disediakan di pusat perbelanjaan itu.

Sebelum memutuskan untuk jalan-jalan, saya dan istri sempat berdiskusi. Menimbang-nimbang, apakah keputusan untuk jalan-jalan itu sudah tepat atau malah akan menjadi keputusan yang keliru. Selain itu, kami perlu memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan lain.

Kesepakatan pun tercapai. Kami pun berangkat beramai-ramai dengan menumpang becak. 

Ya, kami sengaja memilih moda transportasi tradisional yang satu ini, sembari mengenang masa kanak-kanak dulu. Juga untuk mengenalkan kepada dua anak kami, Bhumi dan Radit, tentang becak.

Perjalanan dimulai. Wajah kedua anak kami tampak bercahaya. Ini kali pertama mereka menaiki becak. Suara tawa cekikikan mereka tak putus-putusnya di sepanjang jalan. Mungkin mereka merasa ada yang aneh.

Di sisi kiri-kanan jalan, saya perhatikan, orang-orang memperhatikan tingkah kami di atas becak yang dilajukan penarik becak. Mungkin heran, mungkin pula menganggap kami aneh. 

Di zaman sekarang kok masih ada orang seperti kami yang mau menumpang becak. Kan boros? Boros waktu, boros duwitnya.

Bolehlah berpandangan demikian. Tapi siang itu, saya dan istri cuma ingin membuat anak-anak kami bergembira. Bisa menaiki becak. Sebuah pengalaman yang barangkali saja sudah sangat langka ditemukan di era kendaraan pribadi bermesin.

Alih-alih tak menggubris tatapan orang-orang di sepanjang perjalanan, saya malah terkesan pada bapak penarik becak yang satu ini. 

Saya tidak tahu persis apa yang dirasakannya saat kami tertawa cekikiran. Sementara, ia tengah berdarah-darah memerjuangkan hidupnya.

Mungkin saja, lembaran rupiah yang akan ia terima sebagai upah tak sebanding dengan usahanya mengantarkan kami sampai tujuan. Sebab, selain mengantarkan, ia juga berkewajiban menjamin keselamatan kami, yang artinya mempertaruhkan keselamatannya sendiri dan mempertaruhkan nasib keluarganya.

Memang, mula-mula saya sempat meragukan kemampuan bapak yang satu ini. Tubuhnya tak lagi tampak segar, sangat mungkin mudah kecapaian. Bahkan, sempat terpikir, ia tidak akan kuat mengayuh becaknya saat melintas jalan menanjak di sekitar palang kereta api.

Tetapi, keraguan saya itu berangsur susut. Saya harus sepenuhnya yakin dan percaya pada bapak penarik becak ini. Apalagi ketika saya mengingat, bahwa ternyata mengayuh becak itu butuh kecakapan. Tidak gampang. Saya belum tentu bisa dan belum tentu lincah.

sumber foto: infofotografi.com (Erwin Mulyadi)
sumber foto: infofotografi.com (Erwin Mulyadi)

Dan benar, perjalanan kami lancar. Pak penarik becak mengantarkan kami dengan selamat sampai depan pintu masuk pusat perbelanjaan tujuan kami. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya menerima perlakuan yang sedemikian istimewa dari bapak penarik becak ini.

Segera setelah menyelesaikan urusan pelunasan hak pak penarik becak, kami bergegas memasuki arena pusat perbelanjaan yang cukup ramai itu. Selama beberapa jam kami mendekam di dalamnya. 

Kedua anak kami asyik bermain. Saya dan istri ikut tenggelam dalam kegembiraan mereka. Sampai-sampai ingatan saya pada pak penarik becak itu tadi terhapus. Mungkin karena merasa telah melunasi haknya.

Sekitar pukul 14.00 kami memutuskan untuk memungkasi kegembiraan itu. Kedua anak kami sudah cukup puas dengan luapan kegembiraannya. Kami pun pulang ke rumah.

Di emper pusat perbelanjaan kami memburu becak. Mendung kian menebal, hujan pun berangsur mengguyur. Di tengah gerimis kami menemukan keberuntungan, becak yang kami buru kami temukan.

Istriku menawar harga. Setelah semua beres, segera becak kami tumpangi. Tentu becak yang berbeda dengan saat kami berangkat tadi. 

Dan kali ini bapak penarik becak yang kami tumpangi begitu ramah. Dari postur tubuhnya pun jauh lebih gempal dibandingkan dengan yang tadi.

Ya, kami memang memilih yang bertubuh segar. Apalagi cuaca sedang tak terlalu baik untuk badan. Hujan deras mengguyur.

Becak kami menerobos hujan. Tetapi, agar badan kami tak basah, pak penarik becak itu mengembangkan kain penutup becak, serta memasang plastik penutup pada bagian depan dan samping kiri-kanan. 

Sekalipun plastik transparan, rupanya hujan pandangan mata kami terbatas. Kami tak bisa menyaksikan situasi jalan dengan jelas.

Meski begitu, kami yang berhimpit di atas becak itu merasakan kehangatan. Kami berbagi cerita, canda dan tawa. Semua tumpah di atas laju becak yang diguyur hujan. Anak-anak begitu manja dalam pelukan kami. Seperti tengah mencari dan menemukan kehangatan yang begitu mendamaikan.

Tetapi, tiba-tiba, dalam hati saya terbesit sebuah pertanyaan, bagaimana dengan bapak penarik becak itu? Apakah ia pernah merasakan hal yang sama kami rasakan saat ini? Berbagi kehangatan di atas laju becak.

Sempat terpikir pula, betapa besar jasa pak penarik becak ini kepada kami. Ia tidak hanya mengantarkan kami sampai ke rumah dengan selamat, tetapi telah melengkapi kemesraan kami di tengah guyuran hujan. Sedang, ia sendiri mungkin saja tengah mengorbankan perasaannya untuk berbagi kemesraan dan kehangatan dengan keluarganya.

Semestinya, di tengah hujan seperti ini, akan lebih membahagiakan jika ia berada di tengah keluarganya. Tetapi, ia tidak. Ia memilih untuk setia mengawal penumpangnya sampai tujuan dengan selamat.

Sesampainya kami di depan pintu rumah, saya pun mengucapkan terima kasih yang tak hingga. Adapun upah yang kami berikan, sudah tentu tidak akan bisa melunasi hutangnya pada keluarga. Hutang berbagi kehangatan dan kemesraan.

Betapa, pengalaman semacam ini membuat saya berpikir. Bahwa menjadi seorang penarik becak pun membutuhkan profesionalisme. Kesungguhannya menjalani pekerjaannya.

Dan dari pak penarik becak ini saya mendapati sebuah pelajaran berharga. Yaitu, tentang citra orang sukses dalam mengarungi kehidupannya. Sukses bukan soal hasil yang dicapai, melainkan pada rasa tanggung jawab.

Sebagai penarik becak, mana sempat ia memimpikan untuk mendapatkan aneka macam penghargaan. Entah itu sebagai tukang becak teladan, tukang becak berprestasi, atau segudang predikat lainnya. Tetapi, yang dilakukannya hanyalah mengusahakan agar ia tetap memegang prinsipnya sebagai penarik becak yang budiman. 

Bertanggung jawab pada penumpangnya, meski upah yang diterima belum tentu bisa mencukupi kadar kebutuhan. Ia juga tidak terlampau jauh melambungkan mimpinya, bahwa suatu ketika becaknya akan berganti mobil mewah. Sama sekali tidak. Yang ia pikirkan adalah bagaimana becaknya memberi berkah bagi dirinya, keluarganya, juga bagi penumpangnya. 

Sungguh mulianya bpenarik becak ini. Bahkan, kemuliaannya itu membuat saya merasa malu pada diri sendiri yang belum becus menjalankan apa yang harus dijalankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun