Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Hubungan Mesra antara Matematika, Bahasa, dan Sastra

22 September 2021   00:22 Diperbarui: 22 September 2021   16:06 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matematika itu bahasa. Kalimat pendek itu meluncur begitu lancar dari kawan saya, seorang pakar matematika yang berkonsentrasi di bidang analisis dan pengukuran. 

Namanya, Muhammad Ali Gunawan. Tentu, sebagai seorang yang 'gagal' memahami hakikat matematika, impresi saya kala itu tampak konyol.

Kedua pangkal alis saya memusat, sehingga menampakkan kerutan di sela-sela kedua alis saja akibat dorongan dari kedua sisi alis saya. 

Tatapan mata saya pun seketika menjadi semakin terfokus pada wajah kawan saya yang begitu entengnya menyampaikan ungkapan itu.

Ya, kalimat pendek itu seperti magnet. Membuat saya dan segenap perhatian saya tersedot ke dalam pusaran kalimat pendek itu. Tetapi, saya merasa belum cukup mampu menangkap maksud pernyataan itu.

Menyaksikan cara saya merespons, kawan saya tampaknya kurang berkenan. Kemudian, ia pun menyampaikan penjelasan yang cukup panjang. 

Katanya, seseorang yang mempelajari ilmu sastra mestinya sudah mafhum persoalan ini. 

Seorang yang mengambil studi sastra tentu sudah tuntas dengan permasalahan ilmu bahasa. Dan matematika, sesungguhnya hanya bagian dari sistem bahasa yang disederhanakan.

Sampai di sini, saya masih berusaha mencerna. Pikiran saya mungkin saja masih terbawa ke alam pemikiran kanak-kanak, ketika masih duduk di salah satu bangku sekolah yang dibariskan di dalam kelas. 

Ketika itu, tak jarang saya menangkap kesan, seolah-olah di antara guru matematika dan bahasa---baik itu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Jawa---menunjukkan sikap yang saling bertolak belakang ketika membicarakan masalah keilmuan.

Perbedaan itu membuat cara pandang saya sebagai seorang murid juga terpengaruh. Matematika terkesan menjadi momok. Sesuatu yang mengerikan, lebih horor dari sekadar film horor. 

Karena yang ditampilkan adalah keruwetan dan kerumitan-kerumitan yang sebenarnya sangat sederhana. Sementara bahasa, kala itu tak cukup membuat risau. 

Malah, saya menganggap pelajaran bahasa sebagai pelajaran yang paling gampang dan tak perlu menguras terlalu banyak pikiran.

Bahasa | Sumber: francescoch/Getty Images/iStockphoto 
Bahasa | Sumber: francescoch/Getty Images/iStockphoto 

Saking remehnya saya menganggap pelajaran bahasa, rupanya nilai terendah di NEM saya ada pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Sementara, nilai mata pelajaran matematika dan mapel-mapel IPA ketika itu malah lumayan tinggi. Selisihnya juga lumayan jauh dari nilai bahasa Indonesia.

Di lain hal, dulu waktu masih menyandang predikat sebagai pelajar, tak jarang saya mendengar semacam pemeo. Bahwa anak-anak IPA itu pasti lebih pintar dari anak-anak IPS apalagi bahasa. 

Tak heran jika banyak orang yang membanggakan kelas IPA dibandingkan kelas lain. Bahkan, dalam beberapa kali sambutan saat upacara, secara implisit, kepala sekolah kerap menyebut anak-anak IPS sebagai biang masalah di sekolah.

Ingatan saya yang sekilas itu, saat berhadapan dengan kawan saya yang ahli matematika, seolah dihancurkan hingga remuk tak berbentuk. 

Pikiran yang kadung menemukan bentuk dan pola dalam diri saya seolah dipreteli. Bagaimana bisa matematika dianggap sebagai bahasa? Begitulah, pertanyaan yang membisiki pikiran saya ketika itu.

Kawan saya yang memang piawai berbicara itu kemudian memberi uraian. Bahwa sudah sejak dahulu bahasa dipahami sebagai sebuah sistem. 

Maka, di dalam sistem itu ada pola dan struktur yang terbangun dari unsur-unsur tertentu. Melalui sistem itu pula, di dalam bahasa terdapat konstruksi pikiran.

Mengenai hubungan konstruksi pikiran dengan bahasa bisa terjadi hubungan yang saling timbal balik. Di satu sisi, bahasa dibangun lewat konstruksi pikiran. 

Di sisi lain, bahasa juga bisa menunjukkan konstruksi pikiran si pemakainya. Makanya, kata kawan saya, dalam mengenali alam pikiran itu dikenal pula istilah logika.

Secara sederhana, logika lantas diistilahkan sebagai cara pandang atau pikiran yang masuk akal. Tetapi, menurut kawan saya yang satu ini, pendefinisian yang demikian terlalu menyederhanakan. Sebab, untuk sampai pada pemahaman logika perlu penguraian yang sangat terperinci. 

Apa yang bisa diterima akal? Apa itu akal? Bagaimana hubungan pikiran dengan akal? Dan seabrek pertanyaan yang berurutan akan menggeruduk dan mengejar jawaban sampai pada inti.

Tidak mudah sebenarnya untuk sampai pada pengertian logika. Apalagi jika kita ambil dari titik awal perjalanan sejarah logika yang merentang di dalam lajur ruang-waktu. 

Namun, kalau diambil dari asal bahasanya, kata 'logika' diambil dari bahasa Yunani, 'logos' yang artinya hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa, atau sederhananya perkataan sebagai manifestasi pikiran manusia. Jadi, kata kawan saya, logika ya tak jauh dari bahasa.

Lalu, di mana kedudukan matematika? Matematika, menurut kawan saya, mesti dilihat sebagai sesuatu yang kompleks. Sebab, matematika itu bahasa yang sangat simbolis. 

Di dalam matematika yang muncul adalah simbol-simbol bahasa. Tetapi, susunannya tidak sebagaimana bahasa pada umumnya. Susunannya sangat ringkas, namun di balik ringkasnya susunan simbol-simbol itu terdapat banyak kemungkinan untuk membaca realitas.

Boleh jadi, susunan ringkas dalam rumus-rumus matematika semacam permainan simbol-simbol yang ingin menyampaikan gagasan-gagasan tentang sebuah realitas yang sangat sederhana tapi tak cukup dapat dikalimatkan melalui susunan kata-kata. Bahasa, dengan demikian, sangat terbatas. Tidak semua realitas di alam raya dapat diungkapkan lewat kata-kata.

Makanya, matematika hadir sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan alam, antara unsur batin dengan unsur lahir. Ia menjadi alat pikiran, bahasa ilmu, tata cara pengetahuan, penyimpulan deduktif, sekaligus sebagai bahasa itu sendiri.

Sampai di sini, saya pusing. Lalu, saya meminta kawan saya memberikan penjelasan yang lebih sederhana dan sangat sederhana. Ia tak keberatan.

Ia terangkan, bagaimanapun, ilmu paling tua yang dimiliki manusia adalah bahasa. Ilmu-ilmu lain, lahir belakangan. Coba bayangkan, jika dunia ini tak ada bahasa sejak awal, kira-kira apakah kita akan mengenali benda-benda langit? Apakah kita akan mengetahui nama-nama binatang, tumbuhan, dan benda-benda alam di sekitar kita? Begitu pula matematika. Ia membutuhkan bahasa.

Jadi, kalau filsafat itu ibu dari semua ilmu, maka bahasa adalah bidannya. Melalui bahasa yang kemudian menemukan bentuk dan pola yang paling kompleks dengan terciptanya simbol-simbol bahasa, kita bisa mengenali bahwa angka 1 adalah simbol dari bilangan satu. Itu sudah menjadi kesepakatan. Dalam dunia matematika maupun bahasa.

Makanya, seorang yang mempelajari bahasa---lebih-lebih sastra---sebenarnya dan semestinya menguasai segala bidang. 

Dengan begitu, orang yang menguasai ilmu bahasa itu punya peluang yang lebih luas untuk berperan sebagai apapun. Karena, apapun yang ada di dunia ini adalah bahasa. Dan seorang ahli bahasa juga mestinya menguasai ilmu matematika. Karena matematika hanya bagian kecil dari bahasa.

Dari penjelasan itu saya merasa teryakinkan, kalau saya tak salah memilih jurusan saat kuliah. Sebab, menurutnya, sastra itu bagian yang bisa mempertemukan ilmu bahasa dengan filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. 

Makanya, tak heran jika banyak sastrawan zaman dulu adalah juga seorang matematikawan dan ahli di bidang-bidang ilmu lainnya, apalagi ilmu hukum. Itu bahasa semua isinya.

Sebagai penutup diskusi, kawan saya kemudian berkelakar, kalau sampai seorang ahli matematika tak pandai dalam bahasa, itu artinya ia belum menguasai matematika. Tapi, diperalat oleh anggapannya sendiri yang memandang seolah-olah matematika adalah ilmu segalanya. Ucapan itu kami akhiri dengan tawa lepas dini hari jelang subuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun