Ia terangkan, bagaimanapun, ilmu paling tua yang dimiliki manusia adalah bahasa. Ilmu-ilmu lain, lahir belakangan. Coba bayangkan, jika dunia ini tak ada bahasa sejak awal, kira-kira apakah kita akan mengenali benda-benda langit? Apakah kita akan mengetahui nama-nama binatang, tumbuhan, dan benda-benda alam di sekitar kita? Begitu pula matematika. Ia membutuhkan bahasa.
Jadi, kalau filsafat itu ibu dari semua ilmu, maka bahasa adalah bidannya. Melalui bahasa yang kemudian menemukan bentuk dan pola yang paling kompleks dengan terciptanya simbol-simbol bahasa, kita bisa mengenali bahwa angka 1 adalah simbol dari bilangan satu. Itu sudah menjadi kesepakatan. Dalam dunia matematika maupun bahasa.
Makanya, seorang yang mempelajari bahasa---lebih-lebih sastra---sebenarnya dan semestinya menguasai segala bidang.Â
Dengan begitu, orang yang menguasai ilmu bahasa itu punya peluang yang lebih luas untuk berperan sebagai apapun. Karena, apapun yang ada di dunia ini adalah bahasa. Dan seorang ahli bahasa juga mestinya menguasai ilmu matematika. Karena matematika hanya bagian kecil dari bahasa.
Dari penjelasan itu saya merasa teryakinkan, kalau saya tak salah memilih jurusan saat kuliah. Sebab, menurutnya, sastra itu bagian yang bisa mempertemukan ilmu bahasa dengan filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.Â
Makanya, tak heran jika banyak sastrawan zaman dulu adalah juga seorang matematikawan dan ahli di bidang-bidang ilmu lainnya, apalagi ilmu hukum. Itu bahasa semua isinya.
Sebagai penutup diskusi, kawan saya kemudian berkelakar, kalau sampai seorang ahli matematika tak pandai dalam bahasa, itu artinya ia belum menguasai matematika. Tapi, diperalat oleh anggapannya sendiri yang memandang seolah-olah matematika adalah ilmu segalanya. Ucapan itu kami akhiri dengan tawa lepas dini hari jelang subuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H