Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Batasan Sastra Lama dalam Sejarah Sastra Indonesia

21 September 2021   03:16 Diperbarui: 21 September 2021   03:43 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: nationalgeographic.grid.id

Dalam beberapa buku teori sastra, khususnya yang ditulis oleh para pakar dari Barat, saya menemukan perbedaan pendapat di antara mereka, tentang definisi sastra. Kesan saya, perbedaan pendapat itu memberi peluang bagi istilah sastra untuk terus dapat didefinisikan seiring dengan perkembangan zaman. Istilah sastra, dengan demikian, akan terus berubah.

Kendati demikian, ada beberapa konsekuensi yang mesti siap ditanggung. Pertama, ruang lingkup sastra bisa dikembangkan dengan berbagai fenomena yang bermunculan di tengah masyarakat. Sehingga, kajian mengenai sastra dapat pula dikembangkan.

Kedua, memberi peluang bagi penyusunan sejarah perkembangan sastra---yang artinya, memberi peluang pula bagi upaya penelusuran perkembangan peradaban manusia. Sebab, kajian sastra pada hakikatnya tidak semerta hanya berkutat pada bentuk dan jenisnya. Akan tetapi, juga menyangkut dunia pemikiran.

Ketiga, diperlukan lebih banyak kritik sastra, wabilkhusus bagi sastra Indonesia. Tujuannya, agar perkembangan ilmu sastra dapat terus ditumbuhkan. Akan tetapi, khusus dalam kasus sastra Indonesia, ada persoalan yang menurut pandangan saya perlu dituntaskan oleh studi sastra Indonesia. Yaitu, berkenaan definisi sastra itu sendiri.

Hingga kini, definisi sastra dalam kasus studi sastra Indonesia terkesan belum matang. Saya melihat, hanya ada beberapa tokoh yang telah memberikan batasan tentang apa itu sastra. Dimulai dari kajian yang ditulis A. Teeuw, yang secara terbuka memberi kesempatan kepada penerusnya untuk menemukan batasan-batasan baru tentang apa itu sastra, dalam konteks kebudayaan Indonesia. Sayang, tawaran A. Teeuw sepertinya mentok di tengah jalan. Nyaris tidak ada yang berusaha menggugurkan teori yang disodorkan pakar sastra Indonesia asal Leiden ini.

Patut diduga, mungkinkah konsep teori yang ditawarkan A. Teeuw itu sangat sempurna, sehingga tidak ada yang mampu membantahnya? Bisa jadi demikian. Ataukah, karena dalam perkembangannya kemudian, sastra Indonesia---khususnya yang ditahbiskan sebagai sastra modern---melaju lebih pesat, dengan beragam fenomena yang dihadirkan dalam karya-karya sastra Indonesia modern?

Saya tidak sedang menyangsikan kepakaran Indonesianis berkebangsaan Belanda itu. Sebaliknya, saya sangat bersyukur karena kehadiran beliau di negeri ini yang pada akhirnya mampu melakukan berbagai macam pencatatan atas karya-karya sastra di Indonesia. Bahkan, lewat jasa beliau pula, studi sastra Indonesia merasa sangat terbantu.

Klasifikasi dan kategorisasi atas karya-karya sastra Indonesia yang beliau tunjukkan, sekurang-kurangnya dapat dijadikan semacam pedoman praktis. Sehingga mudah pula untuk diajarkan. Apalagi dengan dibantu model kategorisasi yang disodorkan oleh H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., dan sebagainya.

Namun, rasanya masih ada yang mengganjal. Sampai-sampai sempat saya diskusikan dengan teman sejawat saya, Dr. Dina Nurmalisa, yang dosen cum Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pekalongan. Saya tanyakan pada beliau yang baru dikukuhkan sebagai Doktor bidang Ilmu Sastra, tentang definisi sastra Indonesia yang menurut saya masih sangat terbuka untuk didebatkan.

Saya sampaikan padanya, perihal definisi yang ditawarkan buku-buku karya pakar-pakar sastra Barat. Rata-rata, mereka pun beda pendapat. Salah satu yang membuat mereka berbeda satu sama lain adalah masa awal sastra dikenal oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya Eropa. Sekalipun, ya, mereka pada akhirnya menyepakati dan mengamini bahwa batasan sastra dalam tradisi sastra Barat modern menjadi sangat spesifik. Hanya yang berkenaan dengan karya imajinatif yang tertulis.

Akan tetapi, batasan itupun rupanya belum memuaskan sebagian pakar sastra Barat. Terry Eagleton misalnya, menanyakan apakah karya-karya astronomi dan ilmu-ilmu alam lainnya bukan sebuah karya imajinatif? Lalu apa yang membuat sastra demikian spesifik? Meminjam istilah Jakobson yang pendapatnya kemudian diikuti aliran Formalisme Rusia, Eagleton lantas menyorongkan sebuah tawaran mengenai keunikan dalam penggunaan bahasa.

Kasus yang nyaris serupa juga dimunculkan Christopher New dalam bukunya Philosophy of Literature. Ia menyodorkan kasus drama King Lear karya Shakespeare yang oleh sebagian orang dinyatakan bukan sebuah karya sastra. Tetapi, dengan jeli ia lantas memberi penegasan bahwa King Lear merupakan sebuah karya sastra, dilihat dari bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana sastra itu mampu memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia.

Pandangan kedua tokoh itu hanya bagian kecil dari berbagai pendapat lain yang berseliweran di ruang sastra. Malah, J. Hillis Miller sempat memberi tambahan tentang penggunaan media. Menurutnya, di era kini, sastra tidak semata-mata berbentuk cetakan, melainkan pula merambah ke dunia maya.

Betapa, laju perkembangan sastra pada hakikatnya berjalan demikian pesat. Akan tetapi, definisi sastra dalam studi kesusastraan Indonesia masih terus berupaya menemukan hal-hal baru yang digali dari pengalaman-pengalaman masa lampau. Tentu, hal ini juga tak kalah pentingnya di dalam menyusun kembali pemahaman tentang apa itu sastra. Khususnya, sastra (di) Indonesia.

Sebagaimana telah dimafhumi, sejarah sastra Indonesia dibangun atas dua pondasi kesusastraan, sastra lama dan sastra modern. Oleh sebagian orang, istilah sastra lama kerap diidentikkan dengan sastra lisan. Sedang sastra Indonesia modern dibangun melalui tradisi sastra tulis. Istilah ini seolah-olah ingin memberikan semacam dikotomi di antara yang lama dengan yang dinyatakan sebagai 'modern'. Bahwa yang lama dianggap sebagai sastra yang ketinggalan zaman. Sementara yang modern, dianggap sebagai sastra yang mewakili kemajuan budaya.

Dengan demikian, sastra Indonesia modern seolah-olah bukan sebuah kelanjutan dari tradisi sastra lama. Sastra Indonesia modern adalah perwajahan sastra yang benar-benar baru. Benar-benar rasa Indonesia, bukan Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Bali, Dayak, Minang, dan sebagainya. Namun anehnya, yang disebut sastra lama ini pun tak tegas. Apakah sastra daerah di masa sebelum dikukuhkannya tonggak sejarah sastra Indonesia ada? Ataukah sastra yang mana? Kalaupun hanya pada sastra Melayu, lantas bagaimana dengan sastra-sastra daerah lainnya yang juga ikut berkembang dan memberi warna bagi perkembangsan sastra di masa sebelum era 1920-an itu?

Pemahaman yang demikian, saya kira, sangat menyederhanakan bahkan menggampangkan. Juga terkesan 'serampangan'. Faktanya, sastra lama yang ada di Indonesia sebelum Indonesia ada pun sudah ada yang berupa sastra tulis. Ada yang ditulis di atas daun lontar, ada pula yang ditulis di atas batu prasasti, dan sebagainya. Keberadaan karya-karya sastra lama juga menyebar se-antero bumi Nusantara. Hidup dalam kebudayaan dan tradisi masyarakat, juga menjadi roh bagi kebudayaan mereka.

Kembali lagi pada istilah sastra itu sendiri. Seperti yang dipinjam A. Teeuw, istilah sastra yang mula-mula diambil dari bahasa Sanskerta, yang bermakna sebagai alat/sarana untuk pengajaran, maka definisi sastra lama pun mestinya tidak dengan menggunakan pendekatan kekinian. Mestinya, dikembalikan ke zaman ia berasal. Sehingga, sangat mungkin ada banyak yang terlewat.

Sebagai misal, di masa Kerajaan Kalingga, terdapat sebuah aturan hukum yang kemudian disebut sebagai Kalingga Dharmasastra. Artinya, aturan hukum pidana/perdata Kerajaan Kalingga itu disebut pula sebagai sastra. Demikian pula Kitab Manawa Dharmasastra, sebuah kitab hukum Hindu yang populer di masa Kerajaan Majapahit, disebut pula sastra. Kitab Primbon dalam budaya Jawa pun dulu disebut sebagai sastra.

Tetapi, mengapa definisi sastra lama justru sangat membatasi. Hanya berkutat pada sastra lisan dan jenis-jenis dongeng, pantun, gurindam, seloka, parabel, mantra, talibun, bidal, syair, karmina, hikayat, tambo, dan epos. Mengapa kakawin, macapat, sastra tembang, sastra gending, babad, doangang, rapang, kelong, dan lain-lainnya (yang tidak disebut sebagai sastra lama) tidak dimasukkan ke dalam kategori sastra lama? Jika demikian, patut dipertanyaan pula, apa sebenarnya ukuran yang digunakan dalam klasifikasi sastra lama tersebut?

Pertanyaan ini semoga membangkitkan kembali semangat para pengkaji sastra untuk memeriksa lagi hal-hal mendasar mengenai apa itu sastra dan pergeseran-pergeseran makna dari istilah sastra. Sehingga, penyusunan kembali sejarah sastra pun menjadi perlu untuk diurai secara lebih terperinci. 

Memang, pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi di tengah laju perkembangan zaman yang demikian pesat. Di satu sisi, kita tidak ingin ditinggal oleh laju perkembangan zaman, sehingga terus menyesuaikan diri dengannya. 

Di sisi lain, apabila masalah penyusunan sejarah sastra dalam perspektif yang berbeda tak segera diselesaikan pun akan membawa dampak besar bagi perkembangan sastra di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun