Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika "Budaya" Hanya Slogan

18 September 2021   17:41 Diperbarui: 18 September 2021   17:47 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: pekalongankota.go.id

Selasa malam jelang dini hari, 14 September 2021, di ruang tamu yang tak begitu luas saya dengar suara mesin sepeda motor berhenti di depan rumah. Dari balik jendela tampak dua orang tengah mengobrol di atas sepeda motor itu. Salah seorang dari mereka menunjuk-nunjuk ke arah rumah. Saya makin awas mengamati.

Sayang, helm yang mereka kenakan membuat wajah mereka tak begitu jelas terlihat. Apalagi cahaya lampu di depan rumah tak begitu terang. Yang tampak hanyalah postur tubuh mereka yang lumayan tinggi dan kekar. Dengan jaket yang mereka kenakan, mereka tampak gagah.

Tak berapa lama, mereka lantas menuju teras rumah. Mengetuk pintu. Segera, saya buka pintu untuk dua tamu dini hari. Dan, begitu terkejutnya saya, ketika salah seorang tamu yang datang malam-malam itu tiba-tiba bicara, "Maaf, Kang, terpaksa malam-malam kami jemput sampean. Ada sesuatu yang mesti kita bicarakan."

Saya tak mengerti maksud kalimat itu. Lalu, saya persilakan dua tamu saya itu masuk. Tetapi, rupanya tawaran saya tak digubris.

"Tidak, Kang. Kami tak bisa bicara di sini. Sampean yang harus ikut kami. Sekarang juga," kata pria berkacamata itu sambil melirik ke arah temannya yang tinggi badannya tak lebih tinggi dari pria kacamata itu.

Sebentar kemudian, saya menahan niat mereka. Kepada mereka saya tanyakan, "Sepenting apa sehingga kalian hendak membawa saya malam-malam begini?"

"Maaf, Kang, kami tak memberi opsi. Hanya kata ya yang ingin kami dengar, lalu segera kita berangkat," kata pria berkacamata itu.

Ya sudah, sepertinya saya tak bisa mengelak. Saya tak ingin terjadi kegaduhan di rumah yang bisa membangunkan anak-anak dan istri saya yang tengah pulas tertidur. Saya turuti kemauan mereka.

Dengan sepeda motor saya ikuti saja arah laju kendaraan mereka. Mula-mula mereka menuntun saya menyusuri jalan protokol yang gelap dan sepi. Maklum, sejak diberlakukan PPKM lampu-lampu penerang jalan dipadamkan. Konon, agar tak terjadi kerumunan warga.

Setelah melewati kira-kira satu kilometer, arah laju kendaraan mereka menuntun laju motor saya menuju sebuah gang. Di sepanjang gang itulah saya temui banyak persimpangan dan kelokan. Jalan-jalan gang yang dipadati rumah warga di sisi kanan-kiri tampak sepi. Seperti kampung mati. Sampai di depan sebuah rumah yang kondisinya tampak seperti tak terawat, kendaraan mereka berhenti. Pria berkacamata itu segera turun dan membuka pintu gerbang setinggi bahu yang juga tampak tak terawat. Sedang, lelaki berjaket dengan perutnya yang agak membuncit menuntun motornya masuk ke halaman rumah. Saya mengikuti di belakang.

Pintu segera ditutup kembali. Kedua tamu yang membawa saya ke rumah aneh itu menyilakan saya masuk. Di ruang tengah, seorang pria berambut panjang dan lurus tampak tengah menanti. Di sela jarinya, saya lihat sebatang rokok masih menyala, menerbangkan asap putih. Rokok itu masih cukup panjang.

Pria itu lantas tersenyum ke arah saya, kemudian menyilakan duduk di atas lantai yang dingin. Ketika saya duduk, secangkir kopi panas menyambut. Dibarengi sebuah asbak yang diletakkan bersebelahan dengan cangkir kopi yang mengepulkan uap.

"Kang, malam ini sengaja sampean kami undang ke sini," kata pria berambut gondrong itu. "Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan. Tapi, sebelum kita ngobrol, dikopi dulu, Kang."

Satu sruputan kopi saya sesap.

"Jadi gini, Kang. Sebagai sesama aktivis, kita sama tahu, kota kita, Pekalongan adalah kota yang sepi dari geliat budaya. Apresiasi masyarakatnya rendah. Kalangan elitnya pun tak bisa berbuat apa-apa. Lalu, apa pandangan sampean, Kang?" tanya pria gondorng itu.

"Perlukah saya jawab?" saya balik bertanya.

Sebatang rokok itu ia selipkan pada bibirnya yang menjepit pangkal rokok berwarna cokelat. Lalu, bersama sekepul asap yang membumbung, ia angkat bicara, "Jika memungkinkan. Tetapi, jika tidak, tak masalah. Hanya, kami sangat menyayangkan jika sampean tidak sama sekali memberikan tanggapan."

Lengang sejenak.

Pria gondrong itu melanjutkan kembali obrolannya. "Kita tahu, sebuah kota akan hidup ketika kebudayaannya pun tumbuh dan berkembang. Kebudayaan itu roh dari kehidupan masyarakat. Jika kebudayaan tak bergeliat, itu tandanya kota dalam keadaan sekarat. Hilang harapan, hilang pula bayangan tentang masa depan. Bukan begitu, Kang?"

Saya hanya mengangguk. Menahan diri, belajar menjadi pendengar yang baik. Menyimak apa saja yang ia katakan.

"Dan, kalau boleh aku curiga, jangan-jangan kota ini tak punya strategi kebudayaan. Tak heran jika geliat kebudayaannya lesu, ya kan?" kata pria gondrong itu.

Lagi-lagi saya hanya diam.

"Kalau memang memiliki strategi, mestinya tak perlu lagi ada pertanyaan, 'apa urgensinya kesenian bagi pembangunan?'. Itu pertanyaan klise, sekadar pengaburan dan cenderung menyembunyikan maksud-maksud tertentu para elit. Sebab, kebudayaan mungkin saja tak dipandang sebagai 'proyek' yang menjanjikan!" kali ini suara pria gondrong itu seperti sedang menaiki tangga nada. Makin lama makin meninggi dan terasa betul hentakannya di bagian akhir kalimatnya.

"Bicaralah, Kang!" pintanya.

"Sebentar, saya tak ingin memutus kata-kata sampean. Kalau memang belum selesai, teruskan saja dulu. Saya masih bisa bersabar untuk mendengarkan," jawab saya.

"Oke, kalau sampean membiarkan aku terus nyerocos, aku akan terus nyerocos sampai sampean benar-benar paham," pria berambut gondrong itu lantas membetulkan posisi duduknya. "Kata 'berbudaya' dulu didengungkan sebagai slogan kampanye. Tetapi, apakah ada langkah konkretnya? Tidak kan? Sebaliknya, kata 'berbudaya' itu tak sampai mewujud nyata. Semua kegiatan yang dilabeli dengan kata 'budaya' tak lebih sekadar judul kegiatan. Semacam klaim tanpa konsep yang matang dan tak jelas pula juntrungannya. Maka, kalaupun ditanya tentang program, aku yakin jawabannya selalu mbulet. Berputar-putar di arena itu-itu saja. Karena mereka memang tak punya program, Kang. Bahkan, seorang penguasa kota, tak lebih sekadar menjadi pelaksana teknis atau bahkan sekadar teknisi. Bukan seorang yang memiliki konsep yang jelas. Apa yang ia sebut sebagai konsep, tak benar-benar konsep. Boleh jadi, itu hanya ilusi, Kang!"

"Ilusi?" kata saya.

"Ya, ilusi. Semacam mimpi di siang bolong," katanya sembari menghisap dalam-dalam rokoknya. "Kalau memang tak cukup mampu, mestinya ia punya tim yang dapat diandalkan. Tetapi, siapa tim itu? Yang aku lihat, ia seperti berjalan sendiri dalam kebimbangan dan kebingungan. Apalagi ketika harus dihadapkan dengan pandemi. Ia makin kelimpungan. Seperti gagap menangkap segala gejala. Ya kan?" tandasnya.

Saya diam.

"Ah, sebentar. Aku curiga, jangan-jangan kau salah satu tim itu," pria gondrong itu menatap saya tajam.

"Bagaimana sampean bisa menyangka begitu, Kang?"

"Sikap diammu, Kang."

 Saya menghela napas sejenak. Kemudian mengatur lalu lintas kata-kata dalam pikiran. Agar tak salah bicara, sehingga menjadi keliru pula dimengerti. Saya akhirnya angkat suara, "Saya diam karena saya tidak tahu harus membela yang mana. Kata-kata sampean tidak bisa saya salahkan. Pendapat sampean adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Benar memang, terjadi kelesuan geliat budaya di kota ini. Benar juga, apresiasi masyarakat atas kegiatan-kegiatan budaya rendah. Bahkan, mungkin sangat minim dukungan. Dan soal apakah tak ada strategi kebudayaan yang dikonsep para pemangku kebijakan kota kita, saya tak cukup punya informasi soal itu. Mungkin saja ada. Tetapi, sosialisasinya belum sampai kepada publik. Atau, mungkin saja sudah disosialisasikan, namun dengan mekanisme berjenjang. Sehingga, hanya kalangan tertentu saja yang mengetahui. Dan, saya sama sekali belum mengetahui hal itu.'

"Saya tak mau gegabah menyarangkan tuduhan atau dugaan atas dasar informasi yang tak pernah lengkap yang saya terima. Yang saya tahu, permasalahan ini sangat kompleks. Melibatkan banyak pihak. Jadi, saya pun tak bisa menyalahkan salah satu pihak saja, dalam hal ini, seperti yang sampean tuding, adalah pemerintah daerah. Tetapi, dengan fakta yang sampean ajukan, saya juga tak bisa membela mereka.'

"Yang mesti sampean tahu, kegelisahan sampean sebenarnya juga dirasakan oleh kawan-kawan lain yang peduli. Dalam berbagai diskusi yang pernah saya ikuti, sekalipun kegelisahan itu diruangkan di sana, toh kenyataannya belum membuahkan rumusan yang jelas mengenai traktat strategi kebudayaan untuk kota ini. Malah, pernah dalam sebuah obrolan itu, yang saya tangkap justru kesan seolah-olah diskusi itu semacam forum gremang-gremeng dhewe, Kang."

Tiba-tiba, lelaki berkacamata yang sedari mula tak bersuara menyerobot pembicaraan kami. "Nah, itu dia masalahnya. Selama ini, yang ada hanya gremang-gremeng. Forum bisik-bisik. Sekali bersuara bikin berisik. Penuh kasak-kusuk. Makanya, saya ajak sampean ke sini ini karena saya punya misi besar. Saya ingin mengumpulkan orang-orang seperti sampean untuk duduk bersama. Memikirkan masa depan kota ini, Kang. Membuat rumusan yang jelas tentang strategi kebudayaan. Bagaimana?" tanyanya.

Saya, dan juga orang-orang yang terlibat dalam obrolan itu diam menyimak. Pandangan kami kompak, menatap ke arah pria berkacamata itu.

Pria berkacamata itu sejenak terdiam. Menatap kami. Lalu, kembali melanjutkan pembicaraan, "Oh, maaf. Mungkin sampean-sampean masih kurang percaya ya? Ragu-ragu kalau apa yang saya sampaikan tadi juga ilusi semata? Tidak. Saya tidak sedang bermimpi. Apa yang saya katakan sudah terencana. Saya punya beberapa koneksi yang siap mendukung. Baik dukungan moral maupun finansial."

"Sebentar, Kang," pria berambut gondrong itu menyela. "Sampean akan membawa orang luar ke dalam masalah rumah kita? Apa sudah sampean pertimbangkan masak-masak, Kang?"

"Percayalah. Mereka orang baik. Mana mungkin mereka akan melakukan hal-hal yang tidak patut," jawab pria berkacamata.

"Ini bukan soal kebaikan, Kang. Ini soal harga diri," sahut laki-laki gondrong yang sejak awal banyak mengambil porsi bicara. "Kita sudah cukup banyak pengalaman berkaitan dengan orang-orang luar. Ucapan mereka memang mengesankan. Menawarkan kembang gula yang manis rasanya, tetapi setelah kembang gula itu kita sesap, malah bikin gigi kita sakit. Sampai-sampai kita harus pergi ke dokter gigi untuk mencabut gigi yang sakit. Dan akhirnya, kita tak lagi bisa mencerna dengan baik apa yang kita makan."

"Saya hormati pendapat sampean, Kang. Tetapi, menurut saya, pandangan sampean terlalu menggeneralisir. Menganggap semua orang luar sama. Pandangan itu, menurutku tak bijak, Kang. Perlu sampean tahu, orang-orang ini tidak sama dengan yang sampean utarakan. Mereka telah menunjukkan keberhasilan mereka membuat beberapa kota menjadi bergeliat. Tumbuh dan berkembang menjadi kota yang maju, Kang," sergah pria berkacamata.

"Nggak ada makan siang gratis, Kang," celatuk lelaki gondrong.

"Memang. Nggak ada makan siang gratis. Benar itu. Mereka, orang-orang yang aku maksud itu, hanya mengambil sedikit dari yang sudah mereka berikan. Sebab, semua proyek yang mereka kerjakan kemudian diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lokal sebagai pengelolanya," sergah pria berkacamata.

"Ya pastilah. Karena mereka tahu, proyek-proyek itu tak cukup menjanjikan. Kalau mereka kelola sendiri ongkos yang mereka keluarkan bisa saja bikin perusahaan mereka gulung tikar. Bagi mereka, sudah dapat untung dari pengerjaan proyek itu sudah cukup. Tak perlu lagi mereka memikirkan hal-hal rumit tentang pengelolaannya," seloroh lelaki gondrong.

Sejenak pembicaraan kami terjeda. Pria berkacamata itu diam. Saya pun diam. Lagi pula saya tak ingin terlibat terlalu dalam. Perdebatan di antara dua laki-laki dewasa yang ada di hadapan saya ini membuat saya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi di antara mereka. Mengapa tiba-tiba mereka silang pendapat? Padahal, ketika memasuki rumah yang aneh ini saya menangkap kesan bahwa mereka satu pikiran, satu kelompok. Mungkinkah ada sesuatu yang lain? Sesuatu yang mereka simpan rapat-rapat di dalam kotak rahasia.

"Maaf, Kang. Saya harus ngomong begitu. Itu hanya sebuah gambaran, bagaimana jika ternyata kedatangan mereka punya maksud lain. Bukan aku curiga. Tetapi, perlu dicari tahu dulu mengapa orang-orang luar ketika dilibatkan dalam pengerjaan proyek di daerah kita ini terlalu berhitung keuntungan besar yang mereka terima? Mungkinkah itu kebetulan? Atau sudah menjadi kebiasaan? Atau karena sudah watak? Atau, ada alasan lainnya? Upeti misalnya. Atau, ah sepertinya tak akan selesai kalau kita membicarakan masalah ini. kita justru terjebak pada hal-hal yang sifatnya sangat teknis. Sementara, kita tak hampir-hampir tak memiliki konsep jelas tentang arah tujuan kota ini dibangun. Dan, berbicara konsep, semestinya orang kita sendirilah yang menyusunnya. Sebab, orang yang sangat memahami situasi di kota ini adalah orang-orang kita sendiri. Banyak kan orang-orang kita yang sukses di luar kota? Mengapa tidak mereka saja yang kita ajak dan kita beri mereka tawaran?" cerocos lelaki gondrong.

Pria berkacamata itu spontan menyahut, "Kenapa mesti ditawari? Mereka kan sudah tahu apa masalahnya. Sudah semestinya mereka bergerak. Membesarkan kota kelahirannya, tanpa diminta."

"Sebentar," saya menyela, "sebenarnya apa yang ingin kita obrolkan? Saya kok kurang mengerti."

"Lho, bagaimana sampean ini, Kang? Panjang lebar kita ngobrol. Lalu, tiba-tiba sampean bilang kurang mengerti? Gila!" kata lelaki gondrong.

"Semula yang saya tangkap, pembicaraan ini menyoalkan lesunya geliat kebudayaan di kota ini. Salah satu penyebabnya, tidak ada strategi kebudayaan yang dirumuskan oleh pemangku kekuasaan. Tetapi, di tengah-tengah diskusi, muncul gagasan untuk menggandeng orang-orang luar yang dipermasalahkan. Lalu, fokus obrolan ini apa?" tanya saya.

Tiba-tiba senyap. Untuk beberapa saat.

"Saya kira, pembicaran ini perlu arah yang jelas. Fokus. Dengan begitu, akan membantu kita dalam memetakan permasalahan," lanjut saya. 

"Selain itu, perlu juga kiranya upaya untuk menghimpun segala informasi yang dibutuhkan. Siapa tahu ada yang terlewat, yang tidak kita ketahui, dan belum kita konfirmasi. Dari semua informasi yang terhimpun itu, barulah kita rumuskan langkah apa yang paling mungkin untuk melakukan sebuah gebrakan. Dan, soal melibatkan orang luar atau pula orang-orang kita yang sukses di luar kota, saya kira itu perlu waktu. Yang perlu dipertimbangkan adalah mereka; para aktivis kebudayaan, seniman, dan pegiat-pegiat komunitas di Pekalongan ini. Mereka sudah melakukan banyak hal. Mereka bahkan punya setplann yang saya kira sangat matang. Memang, selama ini, sebagian besar dari para pegiat dan komunitas ini enggan merapat dengan elit. Ada banyak kekhawatiran yang terlalu besar yang menghantui mereka. Saya pikir, ini perlu segera dicairkan. Situasi suram, bayangan-bayangan hantu yang menakutkan dalam ruang imajinasi ini perlu pula diurai. Belum lagi, masalah 'kesenjangan' antara kelompok satu dengan yang lain. Di sinilah, saya kira para elit, terutama pemegang kekuasaan perlu memerankan diri mereka sebagai fasilitator atau mediator. Duduk sama rendah, membicarakan hal-hal yang patut dibicarakan. Meletakkan kepentingan-kepentingan yang berorientasi pada individualitas di depan pintu masuk. Perlu kiranya bagi saya, panjenengan, dan kawan-kawan lain untuk mengadakan semacam kongres atau semacamnya. Kongres Budaya Pesisir Pekalongan. Jika itu diperlukan. Kalau tidak, ya percuma saja sedini ini kita ngobrol panjang."

Subuh menjelang, setelah diskusi panjang itu berlangsung, saya pun akhirnya memohon izin untuk meninggalkan tempat itu. Saya pulang tanpa kawalan, sebagaimana saya datang ke tempat itu. Sementara, tiga senior itu masih saja tinggal di ruangan itu. Saya tak tahu, mungkin ada pembicaraan lain yang mereka langsungkan. Atau, mungkin saja mereka juga membubarkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun