Tidak menutup kemungkinan---bahkan sangat besar kemungkinannya---mereka diam-diam adalah penikmat sekaligus pencinta sastra. Dengan rasa cintanya itu, sangat mungkin, mereka mau membagikan cerita pengalamannya membaca karya sastra. Tetapi, apakah jumlah mereka cukup? Entahlah.Â
Yang jelas, mereka sangat dikejar target. Materi yang mereka ajarkan harus 100% terpenuhi. Jika terlalu banyak waktu ia gunakan untuk bercerita ia khawatir akan membuang banyak waktu.Â
Padahal, andai disadari, korelasi kisah-kisah dalam naskah-naskah sastra dengan materi-materi yang mereka ajarkan---kalau sempat mereka cari---sangat kuat.
Ya, mengajarkan sastra, secara formal memang menjadi tugas guru Bahasa Indonesia. Tetapi, jika diurai lebih dalam, tidak demikian. Semua mata pelajaran sangat memungkinkan untuk itu.Â
Melalui karya-karya sastra, para guru mapel non Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa mengantarkan materi pelajaran mereka dengan lebih baik. Sebagai misal, pelajaran Agama.Â
Kisah-kisah nabi atau uraian-uraian ayat dalam kitab suci sangat mungkin dijelaskan dengan pendekatan sastrawi. Bukankah, bahasa dalam kitab-kitab suci itu juga sangat kaya dan tinggi akan kandungan sastranya?
Di Perguruan Tinggi, studi sastra tampaknya makin sepi peminat. Bukan hanya karena soal pragmatismenya. Tetapi, juga karena ketidakmampuan Perguruan Tinggi memberi rasa kepercayaan kepada masyarakatnya tentang pentingnya ilmu pengetahuan yang diajarkan.Â
Sampai-sampai mereka pun terseret dalam arus deras banjir bandang pragmatisme. Perguruan Tinggi tak cukup mampu mengawal arah pembangunan kritik sastra yang berdaya kuat, sehingga dapat didengar dan dipertimbangkan oleh pemangku kekuasaan. Malah, ada pula yang memilih mlipir dan pura-pura tidak tahu jika masalah yang dihadapi sastra sedang genting-gentingnya.Â
Kemudian, tampil sebagai selebritis di atas panggung dengan pura-pura membacakan puisi dengan tampilan yang memukau. Atau, malah ikut berenang di antara banjir karya itu lalu meminta dibikinkan label seniman.Â
Atau, memilih tampil di depan para penguasa dengan tampilan sebagai hamba sahaya, sedang di hadapan masyarakat tampil sebagai bangsa ningrat pengagum feodalisme.Â
Atau, memilih jalan aman yang sangat pragmatis; cukup menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan yang dilabeli lembaga pendidikan swasta.