Setidaknya, untuk menghidupkan kembali semangat Kartini dan menularkan pemikirannya yang perlu diresapi. Juga untuk kembali bisa diceritakan bagaimana kisah awal sekolah ini didirikan. Sebab, di era pasca 1928, gerakan perempuan mengalami sebuah geliat yang luar biasa setelah dikumandangkannya Sumpah Pemuda.Â
Yayasan Kartini yang dulu didominasi noni-noni Belanda lambat laun dikuasai perempuan pribumi. Pertanyaannya, apakah Pekalongan ini yang jadi pioner atas gerakan perempuan pribumi itu? Ataukah di sini justru lahir generasi perempuan yang memang tangguh dan semakin menguatkan geliat gerakan perempuan Jawa dan Indonesia pada masa itu?
Wah, ini pertanyaan besar yang perlu digali lebih dalam. Tetapi, usulan saya soal museum di sekolah itu menjadi perlu saya kira. Selain sebagai upaya mengenang masa lalu, juga dapat dijadikan semacam laboratorium sejarah. Minimal laboratorium sejarah sekolah bagi para siswa dan guru. Juga bagi masyarakat.
Bagaimana? Sepakat? Kalau sepakat, ayo kita gerakkan! Semoga para pemangku kebijakan mau bergerak juga. Terutama para wakil rakyat yang duduk di Komisi C DPRD Kota Pekalongan dan Dinas Pendidikan kota Pekalongan. Saya kangen duduk berbincang sambil ngopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H