Budi Darma. Catatan itu mengungkap masalah, mengapa menulis itu dianggap sulit. Sekalipun memang, catatan itu boleh saja dianggap usang karena ditulis pada tahun 1983, akan tetapi catatan itu terasa masih sangat relevan dengan keadaan sekarang.
Sebuah catatan pernah ditorehkan oleh mendiangPada lembar catatan itu, beliau menulis, bahwa ternyata kesulitan menulis telah menjangkiti seluruh negeri ini. Tak hanya pada masyarakat awam, warga kampus-kampus kenamaan juga mengalami hal serupa, kala itu. Memrihatinkan memang. Apalagi jika saya mengenang sepenggal kalimat Martin Luther, "If you want to change the world, pick up your pen and write".
Tak ayal jika keadaan kita saat ini hanya menjadi orang-orang yang diubah oleh keadaan. Bukan sebagai orang yang mampu mengubah dunia. Kita cukup berbangga dengan sekadar menjadi user atau follower. Masyarakat pengguna dan pengekor.
Padahal, dengan menulis---seperti dinyatakan Anton Kurnia---setiap kita dapat menyumbangkan gagasan untuk kebaikan umat manusia, berbuat baik bagi kehidupan dan kemanusiaan. Pandangan ini dipertajam pula oleh Sindhunata, bahwa sebuah tulisan pada hakikatnya merupakan sebuah upaya kita untuk mengingatkan diri sendiri tentang kedangkalan kita. Semakin banyak yang kita tulis, sesungguhnya semakin dangkal pula kita. Dengan cara ungkap lain, menulis boleh jadi merupakan sebuah kegiatan refleksi diri.
Tetapi, apa sesungguhnya yang membuat menulis jadi sulit? Budi Darma mengungkapkan, faktor utama kesulitan dalam menulis adalah kurangnya kemampuan kita berpikir kritis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis, menurut Budi Darma, dengan sendirinya tidak dapat mengidentifikasikan dan memilah-milah persoalan dengan baik. Daya analisisnya juga rendah. Persepsinya pun kerap kabur.
Kekurangmampuan berpikir kritis juga berdampak pada keterbatasan seseorang dalam menuliskan permasalahan. Biasanya, orang yang kemampuan berpikir kritisnya tumpul, ia akan cenderung sekadar menceritakan ulang pengalamannya, atau apa yang pernah ia pelajari.
Pertanyaan berikutnya, mengapa kemampuan berpikir kritis bisa tumpul? Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan seseorang mengorganisasikan pikiran. Wah, mungkin agak susah ya memahami yang satu ini. Baiklah, saya ambil satu contoh, dalam kehidupan sehari-hari kadang kita menjumpai orang yang pandai berbicara tetapi ia lemah dalam menulis.
Bukan berarti kepandaian berbicara itu tidak penting. Akan tetapi, melalui tulisan, pemikiran seseorang akan diuji dan dapat dipertanggungjawabkan.Â
Nah, masalah ini akan menemukan keseruannya ketika kita menjumpai status atau cuwitan di media sosial. Banyak orang menulis di akun medsos mereka. Yang mereka tulis sesungguhnya sebuah ujaran (bahasa lisan) dan cenderung "asal bunyi".Â
Lantas, ketika ujaran itu bermasalah, ia pun akan segera kena dampak hukum. Parahnya lagi, si pelaku ini kadang tidak bisa membuktikan bahwa apa yang ditulis di media sosial itu sebuah fakta yang benar. Maka, jeruji penjara pun segera menyambut kedatangannya.
Di sinilah sebenarnya kita bisa membedakan, mana tulisan yang benar-benar tulisan, mana yang sekadar ujaran yang ditulis. Kita juga bisa membedakan, mana tulisan yang sungguh-sungguh ditulis dengan yang asal. Dengan kata lain, aktivitas berpikir sangat diperlukan dalam menulis.