Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra Jawa Kuno dalam Relief Candi

5 September 2021   04:06 Diperbarui: 5 September 2021   05:41 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Jago, Malang. sumber foto: pegipegi.com

Candi Penataran, Blitar. Sumber foto wisatabagus.com
Candi Penataran, Blitar. Sumber foto wisatabagus.com
Kalau Anda sempat berkunjung ke Candi Borobudur, Anda pasti akan menemui dinding-dinding candi yang dipercantik dengan ukiran-ukiran batu. Ukiran pada dinding itulah yang kemudian kita kenal sebagai relief.

Sebenarnya, relief tidak hanya ada di Candi Borobudur. Candi-candi lain di Jawa, kebanyakan memiliki relief-relief tertentu sebagai ornamen hiasan dinding candi. Tapi, tahukah Anda jika ternyata relief-relief itu rata-rata punya ceritanya sendiri-sendiri?

Agus Aris Munandar, dalam sebuah artikel ilmiahnya "Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi Abad Ke-13---15 M" berhasil menyingkap hal tersebut. Peneliti Universitas Indonesia ini mengungkapkan, hiasan relief naratif pada dinding candi-candi itu umumnya berlatar belakang kisah keagamaan, pendidikan, kisah romantis, maupun kisah-kisah lain yang melingkupi kehidupan manusia.

Disebutkan pula, relief-relief itu pada umumnya diletakkan di tempat-tempat yang strategis. Tujuannya, agar mudah diamati para pengunjung. Selain itu, kesan mewah dan megah juga tampak melalui peletakan relief-relief tersebut.

Menyinggung soal cerita pada relief, Agus Aris Munandar menyebutkan jika rata-rata relief itu umumnya bentuk visualisasi dari karya sastra Jawa Kuno. Tak ayal, ia pun menduga, penempatan relief pada dinding candi tak sekadar sebagai penghias candi. Namun, ada tujuan lain.

Penelitian yang dilakukannya membatasi objek amatan. Terutama relief pada candi-candi dari masa Kerajaan Singasari dan Majapahit. Alasannya, kondisi material relief pada candi-candi masa itu masih dikategorikan cukup bagus dan terawat dibandingkan dengan candi-candi lain yang lebih tua usianya.

Seperti diketahui, seni relief masa Jawa Kuno terbagi dalam dua gaya, yaitu gaya Klasik Tua (abad ke-8 -- 11 M) dan gaya Klasik Muda (abad ke-11 -- 15 M). Keduanya memiliki ciri-ciri pembeda satu sama lain, baik dari segi bentuk maupun kisah yang dipahatkan.

Namun, dari ciri-ciri itu Agus Aris Munandar menemukan jika pada relief candi-candi itu terdapat beberapa kisah karya Sastra Jawa Kuno yang berulang-ulang dipahatkan, tetapi ada pula yang hanya dipahatkan pada satu candi, serta ada banyak pula karya Sastra Jawa Kuno yang belum ditemukan pemahatannya menjadi relief candi. Menariknya, ada juga pahatan relief candi yang belum diketahui acuan ceritanya. Seperti pada situs Trowulan.

Dari sekian banyak karya Sastra Jawa Kuno, secara berurutan, cerita yang banyak dipahatkan dalam bentuk reilef/fragmen adalah cerita Arjunawiwaha (7 kepurbakalaan), cerita Panji (7 kepurbakalaan), cerita-cerita hewan/Tantri Kamandaka (di 6 kepurbakalaan), cerita Sri Tanjung (di 5 kepurbakalaan), cerita Garudeya (di 4 kepurbakalaan). Sedang kisah Sudhamala, cerita Bhubuksah-Gagangaking, dan Ramayana dipahatkan pada dua bangunan purbakala. Sedang kisah Kunjarakarna, Bhomantaka, dan Bhimaswarga hanya dipahatkan pada satu bangunan purbakala.

Makna Kisah-kisah yang Terpahat

Melalui penelitiannya, Agus Aris Munandar selanjutnya memaknai kisah-kisah itu dengan meminjam teori Semiotik Charles Sander Pierce. Berdasarkan teori itu, Agus Aris Munanda menemukan, pemahatan fragmen relief cerita Arjunawiwaha mengacu pada karya sastra Jawa Kuno Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa. Pertalian antara bentuk relief dengan uraian cerita bersifat formal, sehingga melahirkan bentuk tanda ikon.

Hal serupa terjadi pula pada relief cerita Bhubuksah-Gagangaking yang penggubahnya anonim. Beberapa adegan dalam kisah itu dipahatkan pada candi-candi tertentu, dan menjadi ikon yang mengacu pada karya sastranya. Kisah Bhubuksah-Gagangaking merupakan karangan pujangga Jawa Kuno sendiri. Setting dan tema cerita benar-benar asli gubahan lokal, bukan saduran dari suatu cerita India.

Dalam proses penandaan selanjutnya, Agus Aris Munandar juga menemukan adanya simbol pada relief-relief itu. Meski begitu, kemunculan ikon dan indeks juga ada. Namun, sebagai simbol---terutama pada kisah Arjunawiwaha---tokoh Arjuna merupakan simbol yang dinyatakan layak dijadikan contoh oleh manusia. Arjuna menjadi simbol berbagai kebaikan.

Fragmen relief Garudeya, mengacu karya sastra Jawa Kuno Adi Parwa, jilid pertama Mahabharata. Melalui fragmen ini tersingkap pula bahwa relief cerita Garudeya melahirkan simbol, ikon, indeks, dan simbol lagi. Makna yang dapat ditafsirkan dari cerita ini, baik berupa karya sastra atau pun dalam bentuk relief adalah (1) anjuran agar manusia bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebaikan, serta (2) perjuangan untuk membebaskan kutukan dan perbudakan. Kedua makna tersebut terlihat melalui apa yang dilakukan Garuda dalam kisah itu.

Pada fragmen relief kisah Panji, konsep fisik fragmen relief cerita Panji mengacu pada karya sastranya sebagai sumber cerita. Kisah Panji sebagai karya sastra mengacu pada tema penting tentang kesatrya Jawa Kuno. Tokoh Panji digambarkan sebagai tokoh yang setia pada tugasnya, lemah lembut, sakti, menghayati kesenian, memahami ajaran keagamaan, dan lainnya lagi.

Ada dugaan, konsep ideal ini mengacu pada perilaku tokoh sejarah tertentu---mungkin tokoh seorang putra mahkota, seperti Raden Inu (Panji)---atau raja di masa silam. R.M.Ng.Poerbatjaraka pernah berpendapat bahwa kisah Panji digubah sekitar tahun tahun 1400 M. Hal yang nyata terlihat dalam cerita-cerita Panji adalah digambarkannya dunia keraton dengan suasana Jawa-Bali, bukannya suasana keraton-keraton India yang tidak dikenal oleh para pengarangnya (Zoetmulder 1983). Maka, bisa jadi kisah Panji sebenarnya mengacu pada suatu kehidupan nyata dunia keraton Jawa kuno.

Meski begitu, konsep kesatrya ideal yang ditampilkan pada tokoh Panji sangat sukar untuk dilaksanakan. Segala nilai positif yang hadir dalam kisah-kisah Panji dapatlah dikembalikan pada sifat-sifat baik dari dewa-dewa tertentu dalam Hinduisme. Tokoh Panji identik dengan sifat Bhattara Guru (Siwa Mahadewa), Wisnu, Saraswati (dewi kesenian), Indra, dewa Kamajaya, dan masih banyak yang lainnya. Dengan demikian kisah Panji bermakna kisah tentang kebajikan-kebajikan para dewa yang mengejawantah pada tokoh pangeran dari Kahuripan, yaitu Raden Inu Kertapati (Panji).

Pada dasarnya, setiap karya sastra Jawa Kuno yang digubah sudah tentu mempunyai makna tersendiri dalam lingkungan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian setiap karya sastra Jawa Kuno jangan lagi hanya dipandang sebagai karya yang bernilai keagamaan saja, apalagi jika ada pandangan yang menganggap hanya sebagai "karya seni bahasa" saja, karena dari beberapa contoh pembicaraan dengan proses semiosis karya sastra itu dapat ditafsirkan secara lebih dalam lagi maknanya. Demikian, ditulis Agus Aris Munandar, pada bagian akhir artikel yang diterbitkan Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No.2, Agustus 2004, yang membuat saya terkesan. Terima kasih Pak Agus Aris Munandar, atas ilmu yang dibagikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun