Penelepon kedua hadir. Tak berselang lama setelah Pakdhe Soleh turun. Di seberang, suara seorang laki-laki yang kedengarannya segar. Ah siapa lagi kalau bukan mas Winarso. Orang gunung yang punya bakat istimewa. Ya, saya sebut orang gunung karena ia tinggal di dekat gunung. Tepatnya di kawasan kaki gunung Slamet.
Kalau dengan yang satu ini saya tak meragukan. Selalu saja ada bahan yang diobrolkan. Kali ini, ia berbagi kabar dari gunung.
Kabarnya, di desa tempat ia tinggal, sekarang ini ada fenomena baru. Sejak mewabahnya Covid 19, orang-orang desa, khususnya para petani pada mau pakai masker. Wah! Ini baru berita!
Tak jelas apa sebab awalnya, yang jelas pemakaian masker itu nyaris menjadi kebiasaan para petani di desanya. Baginya, ini sesuatu yang menarik. Sebab, ini nggak lumrah.
"Tapi bukannya itu sudah menjadi kebiasaan lama para petani, Kang? Dulu, biasanya kan mereka memakai kain iket kepala sebagai penutup hidung dan mulut mereka? Mestinya kalau mereka pakai masker ya sudah bukan hal yang ganjil lagi?" tanya saya memancing respons mas Winarso.
Mas Winarso mengiyakan. Namun, ia lagi-lagi merasa bahwa apa yang ditampakkan itu sesuatu yang menarik. Sesuatu yang tak biasa. Dulu, mungkin para petani sudah melakukan itu. Tetapi, sekarang agaknya ada sedikit pergeseran. Masker yang dikenakan bukan lagi kain iket kepala. Melainkan masker sebagaimana yang dijual di toko-toko obat atau apotek. Padahal, mereka bekerja di sawah bukan sedang di puskesmas atau di rumah sakit.
Ya, sepintas memang terkesan aneh dan ganjil. Tetapi, bagaimanapun mas Winarso menanggapi kejadian itu dengan cara yang baik. Barangkali itu menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat sebenarnya sangat peduli dengan keadaan yang sedang menimpa. Kesadaran masyarakat, kalau boleh dibilang demikian, akan kesehatan badan mereka mulai bangkit dan tumbuh. Meski sebenarnya, sejak dahulu masyarakat sudah punya alat pelindung diri ala kadarnya. Dan itu juga sama-sama efektifnya.
Di lain hal, mas Winarso juga bercerita tentang kebiasaan orang-orang perantau yang mudik ke desanya. Beberapa di antara mereka bertingkah lucu dalam pandangannya. Mereka akhir-akhir ini ikut juga bekerja di sawah. Tetapi ya itu, ada yang sedikit lucu. Yaitu, kebiasaan para pemudik ini untuk berswafoto alias selfie.
Sambil mengenakan caping gunung, menenteng cangkul, para pemudik ini berfoto-foto. Selepas itu, foto-foto itu mereka unggah di akun media sosialnya. Menampilkan diri sebagai orang desa.
Atas fenomena itu saya menanggapi, barangkali saja itu adalah bagian dari rasa kebanggaan mereka atas desa asal mereka. Luapan perasaan kangen yang luar biasa pada kebiasaan-kebiasaan lama yang telanjur ditinggalkan selama di perantauan. Kalau itu yang terjadi, itu bagus. Paling tidak, itu menunjukkan rasa optimis mereka sebagai wong ndesa. Bangga menjadi wong ndesa.
Saya juga kadang iri kok sama orang-orang desa. Apalagi desanya jauh dari kebisingan dan peradaban kota. Saya suka merasa malu jadi orang kota. Eit! Jangan salah. Bagi saya, orang kota itu tak sekaya orang desa loh. Lha bagaimana tidak, wong untuk urusan makan saja yang mensuplai itu orang desa. Para petani. Orang kota sangat sedikit yang punya sawah. Maka, sangat sedikit pula yang punya beras. Sementara orang desa, mereka punya beras. Nggak cuman itu, mereka punya singkong, jagung, segala jenis ubi, sayur-mayur, buah, dan sebagainya. Sementara orang kota, hanya bisa membeli.