Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Main-main Sama Ilmu Batik!

25 Agustus 2021   13:22 Diperbarui: 25 Agustus 2021   22:31 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata, yang namanya belajar batik nggak melulu belajar tentang corak dan motif batik. Tidak pula semata-mata belajar teknik membatik. Lebih dari itu, belajar batik juga sangat kompleks. Bisa meluas, bisa juga mendalam. Bahkan, belajar batik itu bisa juga mengembangkan diri kita. Meluaskan wawasan dan memperdalam keilmuan kita tentang apa saja.

Itulah yang saya dapatkan saat mengikuti kuliah desain batik, Selasa siang (23 Maret 2021) kemarin. Dosen pengampu mata kuliah itu adalah teman sejawat saya, namanya Bu Puji. Beliau alumni ISI Yogyakarta.

Selama lebih kurang 3 jam, beliau sangat telaten mengajarkan soal desain batik. Satu per satu mahasiswanya mempresentasikan konsep desainnya. Beliau pun menyimak dengan saksama. Kuliah daring tak menjadi soal. Sedang saya, yang ikut bergabung di kelasnya itu, menyaksikan betul bagaimana beliau membimbing mahasiswanya. Dari cara beliau membimbing itulah, saya menangkap kesan kalau beliau benar-benar ekspert di bidang seni desain.

Penguasaan teori tentang seni desain, konsep-konsep desain dan semua hal yang berkaitan dengan seni desain diungkapkan detail, saat memberi apresiasi sekaligus kritik terhadap karya mahasiswanya. Apalagi ketika ngobrol soal asal muasal aliran konsep seni desain yang memiliki cara pandang yang beragam. Dari estetika klasik hingga postmodernisme, semua di luar kepala.

Saya, cuma bisa geleng-geleng sambil berdecak kagum. Karena saya benar-benar awam soal itu semua. Yang membuat saya terkagum lagi, karena selama ini saya menyangka kalau belajar batik itu nggak ada hubungannya dengan itu semua. Nggak ada urusannya dengan perkembangan filsafat. Nggak ada urusannya pula dengan perubahan paradigma dunia. Artinya, batik di mata saya itu stagnan. Nggak ada perkembangan. Batik yang saya tangkap ya sekadar barang dagangan. Ternyata saya keliru besar!

Duh, malunya saya. Saya benar-benar merasa bodoh karena menganggap sepele soal batik. Bahkan, yang bikin lebih malunya lagi, selama ini saya memandang skeptis pada program studi tempat Bu Puji mengajar; Teknologi Batik di Universitas Pekalongan. Pandangan ini timbul karena selama bertahun-tahun, prodi ini sulit mendapatkan peminat yang banyak. Maklum, sebagaimana orang kebanyakan, penilaian terhadap sesuatu itu biasanya dipengaruhi oleh faktor peminatnya. Kalau peminatnya banyak maka dianggap baik. Kalau peminatnya sedikit, ya dianggapnya nggak baik. Padahal, belum tentu!

Dalam urusan belajar, semakin kecil kelasnya sebenarnya semakin besar peluang bagi para mahasiswa dan dosen di situ untuk dapat berkembang. Karena tempaannya menjadi serius, sangat serius. Lain jika kelasnya besar. Konsentrasinya pecah, maka sulit untuk berkembang. Apalagi untuk membuat semua yang terlibat jadi berkualitas.

Di kelas yang diampu Bu Puji ini, saya menangkap kesan bahwa mahasiswa beliau punya kualitas yang baik. Sori, ini bukan isepan jempol asal ngecap. Tapi itulah kesan yang saya peroleh selama saya ikut kuliah di kelasnya Bu Puji. Dan sejak awal, saya sengaja mengajukan diri ingin ikut kuliah di kelasnya Bu Puji. Beliau pun mempersilakan. Ya, itung-itung dapat kesempatan kuliah gratis selama satu pertemuanlah. Ha hai!

Oke, mengapa saya bilang baik? Saya melihat saat mereka secara bergiliran mempresentasikan karya, mereka tampak meyakinkan. Gagasan-gagasan desain mereka unik dan di luar dugaan saya. Jujur, semula saya sempat skeptis terhadap mereka. Pikir saya, paling desain mereka ya gitu-gitu aja. Tetapi, setelah menyimak satu per satu presentasi mereka, saya merasa terpuaskan betul. Bukan hanya karena desain mereka yang mempesona, melainkan pula gagasan yang ada di balik desain mereka.

Pada giliran pertama, Riyan mempresentasikan gagasan desain batiknya yang diinspirasi dari topeng Kelana Cirebon dan cerita Minak Jingga. Seketika saya terperangah! Buset. Ini ide gila! pikir saya. Beneran keren. Beneran berani.

Ia mengambil dua objek itu dan mengkomposisikannya dengan teknik yang sederhana. Kombinasi dua objek ini masih menjadi semacam embrio bagi lahirnya motif baru yang kelak akan memperkaya khazanah perbatikan. Sambil menyimak tuturan Riyan, saya membaca beberapa referensi tentang dua objek yang dijadikan sumber inspirasi desain motif yang dibikinnya. Saya berasa harus kembali belajar mengenai kisah-kisah di balik topeng Kelana Cirebonan itu, bagaimana asal-usulnya, perkembangannya, dan apa fungsinya, serta makna-makna apa yang tersirat. Lalu, bagaimana korelasinya pula dengan kisah Minak Jingga.

Lalu, ketika tiba giliran presentasi kedua, saya dibikin tambah bengong lagi. Sekar, mahasiswinya Bu Puji, mempresentasikan konsep desainnya yang diinspirasi dari bunga teratai. Rinci ia memaparkan apa makna bunga teratai. Dari mulai mitologi Hindu, Buddha dan segala macamnya tentang bunga itu sampai pada masalah ekologi. Dia lantas memberi satu kalimat kunci dari desainnya itu sebagai premis; jadilah seperti bunga teratai, sekalipun ia hidup di kubangan yang kotor, tetapi ia tetap tampak indah dan bersih.

Saya dibuatnya tepok jidat keras-keras sambil nyebut-nyebut. Dhuh Gusti... hari gini masih ada mahasiswi yang belajar sungguh-sungguh. Limpahkanlah kepada mereka keberkahan-Mu, Gusti. Sementara saya, sebagai orang yang ditugasi untuk mengarahkan mereka kadang merasa nggak mampu melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Saya hanya sibuk ngurusi hal-hal yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat. Dibuat takut pada sesuatu yang mestinya tak boleh membuat saya takut. Oh!

Presentasi ketiga makin bikin saya nggak kuat lagi. Falahy, dengan desain gaya kontemporernya mempresentasikan desain batik dekonstruktif dari motif parang. Ia hanya mengambil satu bagian kecil dari motif parang itu, kemudian disusun sedemikian rupa. Jadilah motif itu bergaya postmodern yang cenderung menampilkan kesan maskulinitas. Garis-garis tegas, lekuk yang curam menandai keberanian dan kegagahan maskulinitas pada motif. Pengulangan pola yang menjadi penekanan membuat konsep desainnya seolah memiliki kemampuan meningkahi zaman.

Saya benar-benar terperangah dibuatnya. Bahkan, saat saya dipaksa mengomentari desain karya Falahy, saya terpaksa harus belanja kata-kata karena stok kata-kata saya di gudang sudah habis. Saya pun meminjam penjelasan dekonstruksinya Derrida. Dan ternyata cocok! Slamet... slamet. Komentar saya nggak salah-salah amat.

Giliran presentasi selanjutnya, keempat, Syahrul menawarkan konsep desain perpaduan elemen-elemen alam. Ia memberi judul konsep desainnya, Rasa Bungah. Bahwa alam semesta dengan segala macam kehidupan yang berlaku di dalamnya adalah wujud rasa bungah (kegembiraan). Dan kegembiraan itu adalah bentuk konkret dari keseimbangan. Sementara keseimbangan itu menandai keberterimaan dan rasa syukur semua makhluk di alam raya ini atas anugerah besar yang diberikan Tuhan kepada alam seisinya.

Wah! Ternyata batik itu benar-benar kompleks! Seketika saya memukul meja kerja di ruang tamu rumah saya. Nggak sampai tetangga dengar sih. Saya mukul meja bukan karena marah pada si pendesain. Saya merasa marah pada diri saya sendiri atas ketololan saya yang menganggap remeh mereka. Menganggap remeh batik hanya karena dipengaruhi oleh pandangan kalau batik itu cuma barang dagangan. Edan!

Pada presentasi berikutnya, presentasi kelima, Khamanda mengambil daun sebagai inspirasi. Ia mengembangkan pola-pola daun dan mengkomposisikannya ke dalam motif yang dirancangnya. Lalu, dikembangkan rancangannya itu menjadi daur perjalanan daun. Dari mulai bertumbuh hingga lepas dari tangkai dan mengering hingga menghumus. Siklus hidup daun ini lantas dijadikannya sebagai pesan, bahwa manusia mestinya tidak membiarkan dirinya mati sia-sia. Sebab, daun yang mati pun pada gilirannya menjadi berguna bagi makhluk lainnya, bahkan bagi tumbuhan itu sendiri.

Alamaaak! Saya makin tampak tolol seketika itu. Betapa mereka, mahasiswa semester dua itu, benar-benar bikin saya makin merasa perlu lebih banyak belajar lagi dari mereka. Ilmu pengetahuan yang sebenarnya sekadar informasi yang saya peroleh dari buku-buku kuliah dulu telah lama membeku. Hanya tersimpan di dalam kulkas pikiran. Terperangkap oleh rasa congkak yang dikemas dalam kecengengan yang berlebihan. Seolah adu argumen, tetapi sebenarnya mempertahankan kepentingan karena ditakut-takuti oleh bayangan diri sendiri.

Keenam, giliran presentasinya Hana. Konsep desain batiknya mengambil sulur-suluran sebagai elemen utama. Ia membayangkan sulur sebagai simbol persaudaraan. Ikatan di antara makhluk. Dalam ikatan itu, sesama makhluk memiliki tugas untuk saling menjaga dan melindungi. Atas dasar rasa kasih-sayang dan rasa cinta. Maka, ikatan-ikatan apapun yang dibangun oleh sulur itu bukanlah dimaksudkan untuk merintangi. Tetapi mestinya menjadi penghubung agar saling memahami dan mengerti sekaligus sebagai bentuk perlindungan.

Saya kagum dengan desain karya Hana. Ia mencoba mengeksplorasi satu bagian kecil dari tumbuh-tumbuhan. Dengan begitu, ia sebenarnya tengah mempelajari ilmu tanaman. Botani. Sama halnya dengan yang dilakukan Khamanda, Syahrul, Sekar, dan seorang kawan lainnya yang nanti akan saya sebut namanya.

Kekaguman saya makin menjadi ketika menyimak deskripsinya. Sompret! Deskripsi ini keren beneran! Deskripsi Hana membuat saya tertampar. Sebab, sependek yang saya tahu, manusia itu nggak lepas dari intrik dan konspirasi. Tetapi, apapun itu sebenarnya nggak harus terlalu dipikirkan.

Oke, giliran terakhir, Claudio, yang mempresentasikan karyanya dengan mengambil bunga kenanga sebagai bahan utama dalam konsep desainnya. Ia memain-mainkan kenanga dalam pola dan komposisi yang begitu rupa. Ia ingin menampilkan detail dari bunga itu, sehingga dapat dinikmati keindahan bunga yang bentuknya sederhana itu namun harum aromanya. Dan dengan tegas ia kemudian mendeskripsikan bahwa segala sesuatu di alam ini adalah keindahan. Seperti hidup itu sendiri. Hidup itu indah. Sementara susah atau senang hanyalah kesan yang timbul dari perasaan manusia. Kesan itu sendiri pun juga bentuk keindahan. Karena keindahan muncul oleh keragaman.

Wah, wah, wah, waaaah.... Kali ini saya benar-benar seperti jadi mahasiswa baru. Ikut kuliah di kelasnya Bu Puji yang baik hati. Saya benar-benar dihadapkan pada kenyataan baru. Bahwa mempelajari batik itu sebenarnya nggak hanya belajar tentang motif. Di dalam proses desain motif batik, ada pula kesempatan kita untuk memperdalam pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu lainnya. Biologi, botani, zoologi, fisika, matematika, geografi, mitologi, filologi, dan sebagainya. Tetapi, semua itu hanya perangkat bagi manusia untuk memahami kehidupan.

Ya, boleh saya katakan bahwa belajar batik itu belajar tentang kehidupan. Sekalipun mungkin tampaknya sederhana, ia sesungguhnya kompleks. Bahkan, saya curiga, membatik itu merupakan sebuah metode untuk mempelajari banyak hal, tetapi terfokus dan terstruktur. Jadi, sangat ilmiah dan sangat metodologis. Di dalamnya, termuat pula world view (pandangan dunia). Maka, saya punya usul. Perlu kiranya bangsa ini melahirkan ilmu baru dari batik ini. Yaitu, Ilmu Batik. Dengan begitu, batik akan menemukan kedudukan yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya. Batik boleh dikata adalah sejenis sains dengan keunikan yang dimiliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun