Oke, giliran terakhir, Claudio, yang mempresentasikan karyanya dengan mengambil bunga kenanga sebagai bahan utama dalam konsep desainnya. Ia memain-mainkan kenanga dalam pola dan komposisi yang begitu rupa. Ia ingin menampilkan detail dari bunga itu, sehingga dapat dinikmati keindahan bunga yang bentuknya sederhana itu namun harum aromanya. Dan dengan tegas ia kemudian mendeskripsikan bahwa segala sesuatu di alam ini adalah keindahan. Seperti hidup itu sendiri. Hidup itu indah. Sementara susah atau senang hanyalah kesan yang timbul dari perasaan manusia. Kesan itu sendiri pun juga bentuk keindahan. Karena keindahan muncul oleh keragaman.
Wah, wah, wah, waaaah.... Kali ini saya benar-benar seperti jadi mahasiswa baru. Ikut kuliah di kelasnya Bu Puji yang baik hati. Saya benar-benar dihadapkan pada kenyataan baru. Bahwa mempelajari batik itu sebenarnya nggak hanya belajar tentang motif. Di dalam proses desain motif batik, ada pula kesempatan kita untuk memperdalam pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu lainnya. Biologi, botani, zoologi, fisika, matematika, geografi, mitologi, filologi, dan sebagainya. Tetapi, semua itu hanya perangkat bagi manusia untuk memahami kehidupan.
Ya, boleh saya katakan bahwa belajar batik itu belajar tentang kehidupan. Sekalipun mungkin tampaknya sederhana, ia sesungguhnya kompleks. Bahkan, saya curiga, membatik itu merupakan sebuah metode untuk mempelajari banyak hal, tetapi terfokus dan terstruktur. Jadi, sangat ilmiah dan sangat metodologis. Di dalamnya, termuat pula world view (pandangan dunia). Maka, saya punya usul. Perlu kiranya bangsa ini melahirkan ilmu baru dari batik ini. Yaitu, Ilmu Batik. Dengan begitu, batik akan menemukan kedudukan yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya. Batik boleh dikata adalah sejenis sains dengan keunikan yang dimiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H