Ternyata, yang namanya belajar batik nggak melulu belajar tentang corak dan motif batik. Tidak pula semata-mata belajar teknik membatik. Lebih dari itu, belajar batik juga sangat kompleks. Bisa meluas, bisa juga mendalam. Bahkan, belajar batik itu bisa juga mengembangkan diri kita. Meluaskan wawasan dan memperdalam keilmuan kita tentang apa saja.
Itulah yang saya dapatkan saat mengikuti kuliah desain batik, Selasa siang (23 Maret 2021) kemarin. Dosen pengampu mata kuliah itu adalah teman sejawat saya, namanya Bu Puji. Beliau alumni ISI Yogyakarta.
Selama lebih kurang 3 jam, beliau sangat telaten mengajarkan soal desain batik. Satu per satu mahasiswanya mempresentasikan konsep desainnya. Beliau pun menyimak dengan saksama. Kuliah daring tak menjadi soal. Sedang saya, yang ikut bergabung di kelasnya itu, menyaksikan betul bagaimana beliau membimbing mahasiswanya. Dari cara beliau membimbing itulah, saya menangkap kesan kalau beliau benar-benar ekspert di bidang seni desain.
Penguasaan teori tentang seni desain, konsep-konsep desain dan semua hal yang berkaitan dengan seni desain diungkapkan detail, saat memberi apresiasi sekaligus kritik terhadap karya mahasiswanya. Apalagi ketika ngobrol soal asal muasal aliran konsep seni desain yang memiliki cara pandang yang beragam. Dari estetika klasik hingga postmodernisme, semua di luar kepala.
Saya, cuma bisa geleng-geleng sambil berdecak kagum. Karena saya benar-benar awam soal itu semua. Yang membuat saya terkagum lagi, karena selama ini saya menyangka kalau belajar batik itu nggak ada hubungannya dengan itu semua. Nggak ada urusannya dengan perkembangan filsafat. Nggak ada urusannya pula dengan perubahan paradigma dunia. Artinya, batik di mata saya itu stagnan. Nggak ada perkembangan. Batik yang saya tangkap ya sekadar barang dagangan. Ternyata saya keliru besar!
Duh, malunya saya. Saya benar-benar merasa bodoh karena menganggap sepele soal batik. Bahkan, yang bikin lebih malunya lagi, selama ini saya memandang skeptis pada program studi tempat Bu Puji mengajar; Teknologi Batik di Universitas Pekalongan. Pandangan ini timbul karena selama bertahun-tahun, prodi ini sulit mendapatkan peminat yang banyak. Maklum, sebagaimana orang kebanyakan, penilaian terhadap sesuatu itu biasanya dipengaruhi oleh faktor peminatnya. Kalau peminatnya banyak maka dianggap baik. Kalau peminatnya sedikit, ya dianggapnya nggak baik. Padahal, belum tentu!
Dalam urusan belajar, semakin kecil kelasnya sebenarnya semakin besar peluang bagi para mahasiswa dan dosen di situ untuk dapat berkembang. Karena tempaannya menjadi serius, sangat serius. Lain jika kelasnya besar. Konsentrasinya pecah, maka sulit untuk berkembang. Apalagi untuk membuat semua yang terlibat jadi berkualitas.
Di kelas yang diampu Bu Puji ini, saya menangkap kesan bahwa mahasiswa beliau punya kualitas yang baik. Sori, ini bukan isepan jempol asal ngecap. Tapi itulah kesan yang saya peroleh selama saya ikut kuliah di kelasnya Bu Puji. Dan sejak awal, saya sengaja mengajukan diri ingin ikut kuliah di kelasnya Bu Puji. Beliau pun mempersilakan. Ya, itung-itung dapat kesempatan kuliah gratis selama satu pertemuanlah. Ha hai!
Oke, mengapa saya bilang baik? Saya melihat saat mereka secara bergiliran mempresentasikan karya, mereka tampak meyakinkan. Gagasan-gagasan desain mereka unik dan di luar dugaan saya. Jujur, semula saya sempat skeptis terhadap mereka. Pikir saya, paling desain mereka ya gitu-gitu aja. Tetapi, setelah menyimak satu per satu presentasi mereka, saya merasa terpuaskan betul. Bukan hanya karena desain mereka yang mempesona, melainkan pula gagasan yang ada di balik desain mereka.
Pada giliran pertama, Riyan mempresentasikan gagasan desain batiknya yang diinspirasi dari topeng Kelana Cirebon dan cerita Minak Jingga. Seketika saya terperangah! Buset. Ini ide gila! pikir saya. Beneran keren. Beneran berani.
Ia mengambil dua objek itu dan mengkomposisikannya dengan teknik yang sederhana. Kombinasi dua objek ini masih menjadi semacam embrio bagi lahirnya motif baru yang kelak akan memperkaya khazanah perbatikan. Sambil menyimak tuturan Riyan, saya membaca beberapa referensi tentang dua objek yang dijadikan sumber inspirasi desain motif yang dibikinnya. Saya berasa harus kembali belajar mengenai kisah-kisah di balik topeng Kelana Cirebonan itu, bagaimana asal-usulnya, perkembangannya, dan apa fungsinya, serta makna-makna apa yang tersirat. Lalu, bagaimana korelasinya pula dengan kisah Minak Jingga.