Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, la ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukasībahwa "Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin, dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin.
Pada era sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya mencari ilmu sebagai petunjuk, alat ataupun panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta kompleks persoalannya. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan adanya pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin kelak dikemudian hari.
Definisi kepemimpinan sangat bervariasi sebagaimana para ahli mencoba mendefinisikan tentang kepemimpinan. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, motivasi pengikut untuk bekerja sama mencapai tujuan perusahaan/organisasi, mempengaruhi kelompok dan budaya, serta mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktifitas-aktifitas untuk mencapai sasaran.
Secara etimologi, kepemimpinan dari kata dasar pemimpin yang dalam bahasa Inggris disebut leadership yang berarti kepemimpinan, dari kata leader berarti pemimpin dan akar katanya to lead yang terkandung beberapa arti yang erat saling berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran pendapat beberapa orang baik dalam perusahaan/organisasi maupun diluar perusahaan, membimbing, menuntun, memberikan contoh yang baik, dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya
Soen’an Hadi Poernomo : Perilaku kepemimpinan yang baik adalah yang berorientasi kepada dua arah sekaligus, yakni mengacu kepada tujuan organisasi (goal oriented), dan bersamaan juga memperhatikan kebutuhan anggota yang dipimpinnya (member oriented). Sikap pemimpin dalam menjalankan kewenangannya bisa beraneka, itupun dinilainya bisa dari berbagai dimensi dan aspek. Ada yang terlihat menjalankan kepemimpinannya dengan gaya partisipatif, atau ada yang secara otoriter, dalam skala besar dikategorikan demokratis atau monarkis.
Pemimpin adalah jabatan formal. Biasanya, orang menyebutnya sebagai manajer, bos atau direktur. Kepemimpinan adalah isi utama dari seorang pemimpin, termasuk nilai-nilai yang ia miliki di dalam membuat keputusan dalam sebuah organisasi ataupun perusahaan. Pemimpin tanpa kepemimpinan sama seperti sekolah tanpa pendidikan, itu tak berguna, dan justru menghambat perkembangan dalam perusahaan.
Di Indonesia, beberapa kali, saya menyaksikan sendiri banyaknya kegagalan pemimpin dalam memimpin perusahaannya. Orang memegang jabatan tinggi di berbagai organisasi, baik itu pemerintah, swasta, bisnis ataupun institusi pendidikan tinggi, namun gagal dalam memimpin anak buahnya bahkan hingga perusahannya. Biasanya, mereka menduduki jabatan tinggi itu bukanlah karena prestasi dan usaha yang baik, melainkan beberapa karena politik menjilat yang mereka lakukan dengan gencar kepada pemimpin sebelumnya atau bisa jadi karena adanya nepotisme dalam perusahaan tersebut. Misalnya pemimpin sebelumnya mempunyai anak yang memang sengaja ia angkat menjadi CEO karena adanya hubungan darah antar anak dengan orangtua.

Yang lebih mengecewakan adalah manajer yang melepaskan tanggung jawab alih-alih mendelegasikan tanggung jawabnya. Ketika suatu tugas didelegasikan kepada seseorang, pertimbangan diberikan pada keterampilan dan kemampuan orang tersebut untuk melakukan tugas itu, jumlah pengawasan yang dibutuhkan, dan kapasitas mereka untuk melakukan tugas itu. Manajer melacak tugas, dan membantu jika perlu. Ketika sebuah tugas turun tahta, tugas itu diberikan kepada orang terdekat tanpa memperhatikan kapasitas, keterampilan, dan pengetahuan mereka (dan karena itu kemampuan untuk melakukan pekerjaan itu) dan tanpa tindak lanjut, kecuali menyalahkan orang lain ketika tugas itu selalu gagal.
2. Penyebab kegagalan yang kedua adalah kurangnya imajinasi dan inovasi. Menurut Hill "tanpa imajinasi maupun inovasi, pemimpin tidak mampu memenuhi keadaan darurat, dan membuat rencana untuk memandu pengikutnya secara efisien".
3. Penyebab kegagalan ketiga adalah sikap buruk (bad attitude). Sikap pemimpin sangat menular. Jika pemimpin selalu berada dalam suasana hati yang buruk dan penuh dengan hal-hal negatif, karyawan dan bawahan yang lain dapat bertindak dengan cara yang sama. Sikap pemimpin menentukan nada. Bagaimana pemimpin merespons pertanyaan, saran, dan ide baru sangat penting.
4. Penyebab kegagalan keempat adalah kurang antusias pemimpin. Jika pemimpin tidak bersemangat tentang apa yang akan dilakukanyan, jangan berharap orang lain juga. Setiap pemimpin dapat memberikan perintah dan memberi tahu orang-orang apa yang harus dilakukan. Itu tidak berarti tim berada di halaman yang sama dengan pemimpin. Antusiasme itu menular. Jika pemimpin ingin timnya antusias, pahami itu dimulai dari anda seorang pemimpin.
5. Penyebab kegagalan kelima adalah tidak terbuka dalam menerima kritik dan saran. Banyak pemimpin berhasil menjadi pembicara yang baik tetapi tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Ini biasanya terjadi karena keengganan mereka menghadapi anggota yang melawan arahan mereka ketika tim sedang menjalankan proyek yang sudah mendekati tenggat waktu. Tapi ingat, karena tidak ada kesempatan untuk memberikan masukan, mereka akan selalu menunggu waktu untuk menyerang dan memberikan saran.
6. Penyebab kegagalan keenam adalah adanya tindak kecurangan yang dilakukan pemimpin perusahaan, seperti korupsi keuntungan perusahaan, memanipulasi data demi kepentingan pribadi, menyelewengkan anggara perusahaan yang sangat disayangkan sekali sosok pemimpin yang harusnya menjadi panutan bagi bawahannya malah melakukan tindak kecurangan yang merugikan banyak pihak tersebut.
Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan contoh kegagalan pada kepempipinan perusahaan Uber Technologies, Inc.

Deretan skandal dan pemberitaan buruk mengenai kelakukan Chief Executive Officer (CEO) Uber yaitu Travis Kalanick rupanya membuat deretan direksi Uber gerah. Kelakuannya bahkan disebut-sebut sebagai toxic perusahaan. Kalanick telah memimpin Uber Technologies, Inc sejak pertama didirikan pada 2009. Namun, banyaknya pemberitaan buruk dari publik mengenai kepemimpinan Kalanick mendorong investor Uber bersama-sama untuk meminta perombakan kepemimpinan di Uber. Desakan ini lantas berujung pada mundurnya Kalanick dari kursi CEO Uber yang telah dibangunnya selama 10 tahun yang diumumkan pada 31 Desember 2019.
Serangkaian skandal sekaligus akar masalah berkali-kali terjadi di perusahaan berbasis di San Francisco ini. Mulai dari tuduhan pelanggaran data privasi pengguna, konflik Kalanick dengan supir Uber yang berujung perdebatan hingga videonya viral di dunia maya, pelecehan seksual di lingkungan kantor Uber yang diungkap oleh mantan karyawa Uber yaitu Susan Flower dalam blog yang ia tulis dan ia pun sudah mencoba menindaklajuti kasus pelecahan itu namun tidak ada tanggapan dari Uber, tempat ia bekerja tersebut.
Dalam sebuah email kepada staf Selasa setelah publikasi video konfliknya dengan supir uber yang bernama Fawzi Kamel viral di dunia maya. Kalanick meminta maaf kepada Kamel karena memperlakukannya dengan tidak hormat. “Mengatakan bahwa saya malu adalah pernyataan yang sangat ekstrem,” tulis Kalanick. “Tugas saya sebagai pemimpin Anda adalah memimpin dan itu dimulai dengan berperilaku dengan cara yang membuat kita semua bangga. Bukan itu yang saya lakukan, dan itu tidak bisa dijelaskan. Jelas video ini adalah cerminan saya dan kritik yang kami terima adalah pengingat bahwa saya harus berubah secara mendasar sebagai seorang pemimpin dan tumbuh dewasa. Ini adalah pertama kalinya saya bersedia mengakui bahwa saya membutuhkan bantuan kepemimpinan dan saya bermaksud untuk mendapatkannya".
Dari situlah tercermin kepribadian Chief Executive Officer (CEO) Uber yaitu Travis Kalanick sebagai seoang pemimpin mempunyai sifat yang sangat tempramental hingga berujung konflik dengan salah satu supir Uber sendiri, ia juga tidak mau menerima kritik dan saran dari supir uber terseut terkait kenaikan harga pada uber yang dirasa kurang tepat.
Sebagai seorang CEO, Kalanikck sangat tidak mendengarkan keluhan dan pengaduan dari karyawan-karyawannya, ini terlihat dari laporan mantan karyawannya yaitu Susan Flower yang mengalami pelecehan seksual di kantor uber namun tidak ada tanggapan sama sekali hingga membuat Susan keluar dari Uber.
Pertanyaan saya, sampai kapan para pemimpin merasa dirinya paling berkuasa sehingga dengan mudahnya bersikap buruk pada bahawannya, tidak mau menerima kritik dan saran dari bawahannya, bahkan jarang sekali aware dan care dengan bawahannya. Hanya mementingkan kepentingan pribadinya sebagai atasan, mementingan jabatannya dan bagaimana cara mempertahankan jabatannya tersebut padahal yang terutama harus dipertahankan adalah rasa kepercayaan karyawan kepada pemimpin dan perusahaan yang akan menimbulkan loyalitas karyawan pada perusahaan tersebut sehingga berujung pada kesukesesan baik dari pemimpin dan perusahaanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H