Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.500 pulau. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dideklarasikannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan atau Archipelagic State oleh Perdana Menteri Djuanda pada tahun 1957, yang sudah disahkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Indonesia juga merupakan negara yang memiliki wilayah laut terluas di dunia. Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Selain itu, di sebelah barat dan selatan Indonesia berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah timur berbatasan dengan Samudera Pasifik. Maka tak heran Indonesia memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki oleh negara lain.
Kami menyadari bahwa laut Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan dengan pengetahuan yang baik akan sumber daya perairan di Indonesia, bagaimana pemanfaatannya, bagaimana pelestariannya, dan bagaimana menjaga potensi tersebut dari intervensi negara asing ataupun oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat dicapai dengan kegiatan literasi, pengamatan secara langsung terhadap isu-isu terkait dunia kelautan dan perikanan yang sedang hangat di Indonesia, yang didasari oleh rasa peka terhadap lingkungan dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Blue Economy adalah suatu konsep yang mendorong penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan dengan tetap menjaga kualitas ekonomi dan ekosistem laut. Sejak 2013 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan paradigma Blue Economy alias Ekonomi Biru sebagai pola pembangunan kelautan dan perikanan. Â Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meminimalisir kerusakan lingkungan, serta kelangkaan-kelangkaan ekologis.
Kegiatan kelautan dan perikanan di Indonesia tak luput dari masalah terkait keberlanjutan. Terdapat masalah-masalah yang saat ini tengah ramai menjadi perbincangan dan pembahasan publik. Kali ini kami akan membahas masalah-masalah yang mengancam potensi kelautan dan perikanan yang ada di sekitar kami, yaitu Laut Natuna yang ada di Kepulauan Riau.
Natuna memang bukanlah sekedar wilayah dengan panorama indah, Natuna juga diketahui menyimpan kekayaan sumber daya alam yang jumlahnya tidak main-main. Setidaknya terdapat tangkapan lobster sebanyak 500 ton per tahun, kemudian cumi- cumi 23 ribu ton ribu ton per tahun, ratusan ribu ton ikan pelagis kecil dan damersal yang ditangkap setiap tahunnya. Selain itu, Natuna juga memiliki kekayaan alam di bidang minyak dan gas bumi yang tidak kalah menariknya. Bahkan disebut-sebut cadangan gas yang dimilikinya merupakan terbesar di dunia. Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral, cadangan gas bumi yang ada di Natuna mencapai 49,87 triliun Cubic Feet (TCF). Sementara total cadangan gas bumi yang ada di Indonesia mencapai 144,06 TCF. Artinya 34,61% dari total cadangan gas Indonesia berada di Natuna.
Masalah pertama yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan antara lain kegiatan illegal fishing yang saat ini marak terjadi di laut Natuna. Seperti yang terjadi pada tahun 2020, Indonesia berhasil menangkap kapal-kapal asing dari China dan Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang kedapatan tengah melakukan kegiatan illegal fishing di wilayah laut Natuna. Sesuai dengan UU No.45 Tahun 2009 Pasal 69 bahwa untuk menciptakan kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti berupa kapal dalam perkara illegal fishing yaitu dengan cara ditenggelamkan ataupun diledakkan.
Namun menurut pendapat kami, hukum Indonesia terhadap WNA (Warga Negara Asing) yang melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia masih belum tegas, padahal sebagaimana yang diketahui bahwa tidak sedikit pelaku tindak pidana illegal fishing adalah warga negara asing. Untuk pelaku tindak pidana illegal fishing yang berkewarganegaraan Indonesia diancam pidana penjara, sedangkan pelaku tindak pidana illegal fishing yang berkebangsaan asing, akan ditampung sementara di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi). Rudenim adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan sedang menunggu proses pemulangan atau deportasi. Selain itu, kapal asing yang kedapatan melakukan tindak pidana illegal fishing dan belum ada kepastian hukum kepemilikannya, tidak bisa dieksekusi ataupun ditenggelamkan, karena tidak adanya masa daluwarsa. Selanjutnya, masalah yang berkaitan dengan perkembangan zaman di era industri 4.0 dan belum mendapatkan kepastian hukum adalah penggunaan alat pemanggil ikan menggunakan teknologi ultra sonar yang digunakan oleh negara lain.
Hal inilah yang menjadi perhatian kami terhadap hukum yang mengatur masalah tindak pidana illegal fishing ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan usaha kuratif atau tindakan penegakan hukum. Pemerintah masih perlu melakukan banyak melakukan evaluasi terhadap aturan-aturan yang masih tergolong kaku, utamanya yang berkaitan dengan lingkup kelautan dan perikanan di Indonesia di zaman modern ini. Tak hanya itu, aparatur negara harus mampu menindak tegas pelaku tindak pidana illegal fishing tanpa pandang bulu. Selain itu, Ikan hasil illegal fishing baiknya dirampas oleh negara, dilelang, lalu hasilnya diberikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan, yang sebagian dari hasilnya dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan Rakyat Indonesia, utamanya kehidupan nelayan lokal, dan sebagiannya lagi dapat digunakan kembali untuk membangun sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Di samping itu, perlu juga dilakuakan usaha preventif atau tindakan pencegahan, pemerintah dapat mengerahkan banyak Kapal Pengawas Perikanan untuk berpatroli secara rutin di wilayah perairan Natuna, untuk menghindari terjadinya kegiatan illegal fishing di Natuna, sehingga keberlanjutan di Laut Natuna tetap terjaga.
Masalah kedua yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan antara lain penggunaan alat penangkap ikan yang dilarang pemerintah. Sampai saat ini hal tersebut masih menjadi perdebatan di antara kalangan nelayan di Indonesia, seperti misalnya penggunaan cantrang, pukat harimau, bahan peledak, lisrik racun. Alat tangkap tersebut dilarang karena mengancam kepunahan biota laut, mengancam kehancuran habitat, dan membahayakan keselamatan pengguna. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut para nelayan dapat menggunakan alat tangkap dengan jaring biasa, dan harus sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu 2 (dua) inchi, dan tidak boleh dimodifikasi. Aturan mengenai alat penangkapan ikan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 memberi kepastian hukum dan pemerataan pembangunan sektor kementerian kelautan dan perikanan, serta menjadi langkah maju dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia.
Masalah ketiga yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan antara lain sengketa antara Indonesia dan Tiongkok (China). Pada tahun 2020, China mengklaim sepihak wilayah Laut China Selatan, hal ini jelas melanggar ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nation Convention for The Law of The Sea (UNCLOS). Untuk mengamankan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia, memperjelas, dan menegaskan hukum batas laut Indonesia, serta kepemilikan Indonesia terhadap wilayah laut tersebut, maka nama Laut China Selatan kini sudah berganti nama menjadi Laut Natuna Utara, dan sudah diperbaharui di peta terbaru. Hal ini kami pandang baik, karena nama Laut China Selatan kerap kali disalahartikan kepemilikannya oleh khalayak umum sebagai milik China. Selain itu, TNI AL perlu memperkuat operasi penguatan, dan penegakan hukum untuk menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara.
Masalah keempat yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan antara lain pelanggaran terhadap batas teritorial yang sudah ditetapkan oleh KKP tetang jalur tangkap nelayan sesuai ukuran kapal. Hendaknya kapal-kapal besar tidak melanggar batas teritorial (12 mil dari pulau terluar), hal ini dilakukan untuk memberi rasa keadilan dan perlindungan bagi nelayan kecil. Selain itu untuk menghindari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dan tidak punya hak untuk mengambil ikan-ikan di laut Indonesia, agar tidak terjadi over fishing, dan agar ekosistem terjaga keberkelanjutannya, serta sektor perikanan tetap menjadi ketahanan pangan Indonesia. Maka perlu dilakukan penertiban oleh Dinas Kelautan dan Perikanan terkait pendataan nelayan dengan memberi kartu nelayan KUSUKA (Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan). Data ini juga dapat dimanfaatkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk membina nelayan-nelayan lokal agar kehidupannya dapat menjadi lebih baik.