Ada kejadian lucu saat saya sedang duduk-duduk makan siang di kampus. Ceritanya, BlackBerry teman saya hilang di dalam toilet ketika habis buang air kecil. Sontak, group BlackBerry angkatan saya penuh dengan permintaan tolong untuk mencari BB tersebut. Saya yang kebetulan tidak punya BB baru mendengar beritanya setelah kurang lebih setengah jam setelah gembar gembor di group.
Saya sejujurnya tidak membantu apa-apa karena bingung harus membantu apa. Akhirnya kami melupakan sejenak soal handphone hilang dan kembali fokus dengan makan siang. Teman saya yang lain, baru datang sehabis makan siang di kantin (kami makan siang diluar kantin). Masuknya mereka membawa percakapan yang cukup menarik saya untuk berpikir:
A: Lo tahu handphone si X hilang?
B: Menurut loooo? Yah tahu lah, soalnya heboh banget di group, orang sampai blablabla (mulai menceritakan gosip soal handphone hilang, lanjut ke masalah Ashanti-Anang-Syahrini, sampai akhirnya balik lagi ke masalah handphone hilang).
A: Aneh ya kenapa bisa hilang gitu. Pasti teledor deh!
Lalu, ditengah perbincangan itu, teman saya sebut saja di C, menyahut dengan pelan, lebih kepada menanggapi teman saya yang lain: "Ih, bodo amat deh handphonenya ilang atau gimana!" dan teman saya yang mendengar bisikan itu, langsung melotot horor, "iiihh sumpah elo jahat banget!"
Poinnya adalah, begitu mendengar pembicaraan itu dan klimaksnya adalah soal bagaimana ada orang yang sebegitu tidak pedulinya dengan urusan orang lain, membuat saya miris. Kita sudah tahu pasti, tidak peduli dengan urusan orang lain disini bukanlah soal ingin tahu atau kepo.
Saya teringat kata-kata di pelajaran PKN bahwa kita seyogyanya adalah mahluk sosial. Kita berakar di dalam suatu fase ditolong dan menolong. Dan atas dasar itulah, kita akhirnya mencari teman, mempunyai keluarga, karena kita tidak bisa sendirian.
Namun terkadang, seiring berjalannya waktu, banyak dari kita yang melupakan soal mendasar tentang manusia. Selama kita bahagia, hidup tidak terganggu, makan tetap enak, tugas tetap dijalani dengan baik, nilai A terus, IPK sampai ke 4, peduli setan dengan masalah orang lain.
Pernah kita berpikir lewat kacamata orang yang handphonenya hilang itu. Ia tidak perlu dibantu (menurut saya), yang ia perlukan lebih kepada dukungan moril seperti pelukan atau senyuman dari kita yang seolah-olah ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun kadang kala, seolah-olah ingin melupakan bahwa kita mahluk sosial, kita lupakan segala jenis kebaikan dengan orang lain, dan hanya baik kepada orang yang kita anggap akan membawa feedback untuk kita. Dari situ, munculkah pertanyaan di dalam diri kita: apakah nurani kita sudah hilang? Apakah mata hati kita sudah menuju kebutaan?
Tidak mau memberi tempat duduk dengan orang tua di bus karena kita sama-sama membayar.. etiskah? Tidak mau berbicara dengan orang yang nilainya lebih rendah dari kita.. haruskah? Tidak suka bergaul dengan orang yang kita anggap freak atau geek.... haruskah?
Nyatanya, tanpa kita sadari, kita dan juga saya sendiri, seringkali menutup si hati nurani untuk berbicara, dan akhirnya melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Atau kita melakukan karena akan menghitung hal baik apa yang akan datang ke kita karena kita telah melakukan hal baik pada orang lain. Atau, mengukur segala sesuatu hanya karena ingin membuat dirinya play fair.
Jadi... apakah hati nurani kita masih aman pada tempatnya? Sudah samar-samar ingin pergi? Atau sekarang kita mempertanyakan... kemana perginya si hati nurani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H