“Setiap kali saya direndahkan dan diabaikan, di saat itulah saya membangun satu impian dan memacu diri untuk tak mudah menyerah. Semua perlakuan tidak menyenangkan menjadi cambuk untuk berusaha lebih baik. Walaupun kadang terasa pahit dan menyedihkan, saya akui bahwa saya berutang banyak pada semua permasalahan dan kesedihan yang pernah saya alami.” (Elita Duatnofa, 33 tahun, ibu tiga anak, penulis, sukarelawan Indonesia Mengajar, motivator, guru privat, pemilik Chocolieta dan La Lieta Mexicana Cafe)
[caption id="attachment_384255" align="aligncenter" width="300" caption="Elita Duatnofa (kiri) bersama penulis"][/caption]
Bangkit dari Prahara Rumah Tangga
Suasana di La Lieta Mexicana Cafe yang berlokasi di salah satu mall kota Depok masih terlihat sepi pada pukul sembilan pagi. Namun Elita, demikian ia biasa disapa, telah tiba di sana sebelum cafe dibuka. Maklum saja, wanita dengan nama lengkap Elita Duatnofa ini, adalah sang pemilik cafe yang mengusung menu Mexico itu. Setelah memastikan semua persiapan berjalan baik dan cafe siap dibuka, Elita melanjutkan rutinitas lain yang tak kalah padat, mulai dari mengurus usaha cokelat, menulis, mengajar privat untuk bidang studi Matematika dan IPA. Pada malam hari pula, Elita selalu kembali ke cafe untuk mengecek keadaan sepanjang hari itu, mendengar masukan-masukan dan cerita para karyawan termasuk jika ada keluhan pengunjung sebagai bahan evaluasi. Kadang ia juga masih disibukkan dengan kegiatan sosial seperti menjadi relawan dan pembicara untuk kelas menulis maupun motivasi di sekolah-sekolah.
Jika melihat aktivitas Elita sekarang, mungkin tak ada yang menduga bahwa Elita pernah mengalami badai konflik dalam perjalanan rumah tangganya. Bahtera rumah tangganya sempat nyaris kandas. Usia pernikahan Elita baru berlangsung tujuh tahun saat peristiwa itu terjadi. Kehadiran orang ketiga yang juga mantan teman dekat suami, ditambah kesulitan ekonomi, membuat suasana rumah tangga mereka tak ubahnya bara api dan Elita pun sempat pisah rumah dengan suami tercinta.
“Kejadian terburuk dalam hidupku, ternyata mampu membuatku kehilangan kendali. Aku menjadi sangat sensitif dan mudah marah, sering murung dan menangis tiba-tiba. Aku juga sering merasa frustasi, menganggap diri tidak berguna, dan kehabisan cara untuk mempertahankan rumah tangga.”
Demikian ditulis Elita dalam buku non fiksinya yang berjudul Move On, sebagai gambaran betapa sakit dan terluka perasaannya ketika itu. “Bertengkar dalam kondisi perut lapar karena tidak ada uang untuk membeli makanan sudah menjadi hal yang biasa,” Demikian pernah dituturkan Elita kepada penulis. Sementara di sisi lain, Elita harus tetap bertahan demi ketiga anak mereka yang masih kecil-kecil. Apalagi, pernikahan ini berlangsung juga atas keinginan Elita. Diakuinya, usianya masih sangat muda saat menikah. Daripada pacaran berlama-lama, Elita memutuskan untuk menikah muda meski harus menerima konsekuensi penolakan dari keluarga. Sebagai salah satu konsekuensinya, mereka berdua harus memulai segalanya dari nol dan tinggal di rumah petak dengan segala keterbatasan. Dan saat badai konflik itu terjadi, lagi-lagi Elita harus mengalami konsekuensi lain yang tak kalah berat. Dia harus mampu mempertahankan pernikahan yang sudah menjadi pilihan hidupnya meski tanpa dukungan keluarga dan menanggung luka selama bertahun-tahun lamanya.
Namun ternyata, peristiwa pahit inilah yang kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan Elita.
“Suatu malam, aku menuliskan semua yang kurasakan. Mulai dari puisi, cerpen, atau tulisan biasa untuk sekedar mengeluarkan uneg-uneg. Tidak kusangka, perasaanku menjadi jauh lebih baik setelah melampiaskan emosiku ke dalam tulisan.” Tulis Elita di dalam buku Move On tentang awal motivasinya menjadi seorang penulis. Ditambah lagi, ketika itu sang suami kerap pulang dengan membawa buku-buku hadiah teman dekatnya. Hal ini membuat motivasi Elita kian “terbakar”, dan bertekad membuktikan bahwa jika “teman dekat” suaminya itu sanggup membeli buku sesering mungkin, maka seorang Elita Duatnofa juga sanggup menulis dan menghasilkan buku-buku yang diterbitkan penerbit besar dan dibaca banyak orang.
“Aku terus saja menulis. Aku ingin banyak orang membaca apa yang kusampaikan, aku ingin berbagi, dengan berpikir bahwa mungkin saja di luar sana ada perempuan lain yang senasib. Dengan membaca tulisanku, kuharap mereka merasa memiliki “teman”, karena aku tahu bagaimana rasanya sendirian.” (Move On hal. 46).
Dan tekad Elita ternyata tidak main-main. Berkat kerja keras dan kegigihannya, secara berturut-turut karya Elita terbit dan merambah dunia literasi tanah air. Berawal dari buku antologi yang ditulis secara estafet bersama 16 penulis berjudul Love Asset, kemudian buku Tips Berhijab bersama rekan-rekan dari komunitas Be A Writer di mana Elita juga terlibat sebagai penata jilbab sekaligus modelnya, Elita kemudian menerbitkan buku non fiksiduet berjudul Ketika Cinta Pergi yang sempat mengalami cetak ulang, disusul duet non fiksi berikutnya Kusebut Namamu Dalam Ijab dan Qabul, serta Move On!.
[caption id="attachment_384257" align="aligncenter" width="300" caption="Buku-buku motivasi karya Elita Duatnofa"]
Tak berhenti sampai di situ, bersama komunitas Be A Writer (BAW), Elita dengan giat melakukan aktivitas BAW goes to school, yaitu kegiatan pelatihan menulis ke sekolah-sekolah di Jakarta dan sekitarnya. Dalam pelatihan yang bersifat sukarela tersebut, Elita turut memberikan motivasi dan inspirasi kepada para remaja untuk berani Move On dari kegagalan serta menjadikan kegagalan tersebut sebagai pemacu keberhasilan.
[caption id="attachment_384258" align="aligncenter" width="300" caption="Elita (no 5 dari kanan) dalam BAW goes to school"]
Dan, tentu saja bukan hanya motivasi yang ditularkan oleh Elita, melainkan “bukti” akan keberhasilan itu sendiri. Dengan ridho Allah dan buah kesabaran, biduk pernikahan Elita berhasil diselamatkan dan mereka pun kembali berkumpul setelah bertahun-tahun hidup terpisah. Saat ini, hubungan Elita dan suami telah kembali harmonis dan anak-anak mereka pun tumbuh menjadi anak yang mandiri dan berkarakter.
Memulai bisnis cokelat
Sebelum memulai bisnis cafe, Elita telah lebih dulu merintis bisnis cokelat praline yang diberi merk Chocolieta pada tahun 2012. Dituturkan oleh Elita, bahwa niat awalnya berbisnis cokelat adalah untuk membantu perekonomian keluarga yang saat itu belum membaik. Elita juga menambah penghasilan dengan mengajar bimbel privat. Pada masa ini, hubungan Elita dan suami menjadi jauh lebih baik dari sebelum konflik itu datang. Keduanya menjadi lebih dewasa dan matang dalam menjalani rumah tangga.
Awal berbisnis cokelat, Elita mengaku kalau ia dipinjami modal sebesar Rp.150.000,- dari ayahnya. Modal sebesar itu tentu saja sangat terbatas. Keluarganya bahkan meragukan apakah Elita sanggup berbisnis. Namun lagi-lagi, dengan kegigihannya Elita berhasil memanfaatkan modal yang sangat minim itu dengan optimal bahkan mampu balik modal hanya dalam waktu kurang dari satu bulan!
“Waktu itu keluarga sangsi apakah coklat saya akan laku atau tidak. Jadi bisa dikatakan, pada saat itu yang mendukung saya hanyalah uang 150 ribu yang saya pinjam dari bapak.” tutur Elita. “Tapi setelah melihat hasilnya, semua percaya bahwa saya serius, dan sejak itu semua pihak keluarga mendukung penuh. Keluarga juga mulai membantu memasarkan produk, sementara suami membantu berbelanja bahan baku. Dan saat ini, Alhamdulillah saya sudah punya karyawan yangmasing-masing bertugas di bagian produksi, belanja, pengiriman, juga pembukuan.”
Bisnis cokelat Chocolieta berkembang cukup pesat. Dari jumlah produksi awal sebanyak 1-20 toples perhari dan itupun hanya pada momen lebaran, kini Elita sudah memproduksi 140 toples perhari dengan jumlah reseller yang terus bertambah. Baru-baru ini, Elita juga meluncurkan kemasan baru Chocolieta dalam konsep gold yang lebih lux dengan pilihan varian yang beragam : praline isi kismis, kacang mede, keju, durian, blueberry, strawberry, green tea, capucino, karamel, almond, dan kurma.
[caption id="attachment_384260" align="aligncenter" width="300" caption="beberapa produk Chocolieta"]
[caption id="attachment_384261" align="aligncenter" width="300" caption="Chocolieta kemasan lux (gold)"]
Merambah ke bisnis cafe
Tak hanya sekadar puas dengan berbisnis cokelat, pada tahun 2014 silam Elita memutuskan untuk melebarkan sayap ke bisnis cafe. Diakui Elita bahwa keputusannya kali ini telah mendapat dukungan keluarga sepenuhnya. “Mungkin karena mereka sudah melihat hasil kerja keras saya dari coklat.” Ujar Elita. Ketika ditanyakan padanya apa motivasinya untuk berbisnis cafe, Elita menjawab, “Kalau dulu ketika memulai bisnis cokelat, tujuan saya adalah untuk memperbaiki perekonomian keluarga, maka kali ini, saya bertekad ingin memiliki lebih banyak penghasilan yang halal supaya bisa membantu orang lebih banyak, saya ingin memiliki anak asuh tanpa mengganggu hak anak-anak saya sendiri, sekaligus mengajarkan anak-anak bagaimana cara berbisnis atau mencari uang dengan cara mandiri.”
Berbeda dengan saat memulai bisnis cokelat, untuk modal awal bisnis cafe ini, Elita menggunakan tabungan dari hasil jerih payahnya berbisnis cokelat ditambah modal dari teman-teman yang mempercayakan uang mereka untuk diinvestasikan pada cafe milik Elita.
Pada mulanya, cafe ini menyewa tempat di sebuah kios dekat rumah, namun setelah beroperasi selama lima bulan, Elita memutuskan untuk memindahkan lokasi cafe-nya ke mal. Keputusan ini dilakukan Elita atas dasar intuisi juga beberapa pertimbangan penting, seperti ketersediaan lahan parkir dan karakter masyarakat setempat. Dalam pertimbangan Elita, jika cafe dipindahkan ke mall atau area keramaian lain akan berpotensi menjaring lebih banyak pelanggan baru dan juga lebih leluasa berpromosi.
Adapun alasan Elita memilih menu Mexico sebagai sajian andalan cafe-nya, karena makanan Mexico itu menyehatkan dengan banyaknya penambahan sayuran dan pengolahan yang hampir tanpa minyak. Sayangnya di Indonesia harga makanan Mexico masih sangat mahal dan terbatas, padahal dari segi rasa sangat cocok dengan lidah orang Indonesia. Jadi, Elita berusaha menyajikan menu Mexico dengan harga yang sangat terjangkau yaitu mulai dari 15 ribu rupiah saja. Saat ini, La Lieta Cafe telah memiliki karyawan yang bekerja mulai dari pukul 9 pagi sampai dengan jam 8 malam.
“Untuk cafe ini mungkin belum sesukses bisnis cokelat, tapi saya yakin dengan terus belajar dan berusaha, cafe La Lieta juga akan menyusul kesuksesan cokelat praline Chocolieta.” Ujar Elita lagi. Dan mengingat usia cafe ini yang belum setahun beroperasi, tentunya sangat besar peluang bagi Elita untuk terus mengembangkannya menjadi lebih maju dan pesat.
Senang jadi relawan
Di sela-sela kesibukannya sebagai pebisnis, penulis dan motivator, Elita juga senang terlibat dalam kegiatan sosial, salah satunya dengan menjadi relawan inspirator bersama kelas inspirasi yang dinaungi gerakan Indonesia Mengajar. Tugas utamanya adalah membangun impian anak-anak Indonesia di usia sekolah dasar agar sedini mungkin berani bermimpi dan bercita-cita tinggi. Baginya, memberi tak harus menunggu hidup berkecukupan. Jika tak ada materi yang bisa diberi, maka berikanlah ilmu, jika tak ada ilmu, berilah semangat.
[caption id="attachment_384262" align="aligncenter" width="300" caption="Elita sebagai relawan inspirator bersama Indonesia Mengajar"]
Elita dan keluarga
Wanita kelahiran Depok, 23 November 1982 ini adalah anak tertua dari tiga bersaudara dan merupakan satu-satunya anak perempuan. Pernah mengenyam pendidikan pesantren di Jawa Timur, yang bagi Elita sangat berperan dalam mengembangkan karakternya. Setelah itu, Elita melanjutkan kuliah ke fakultas pertanian UGM melalui jalur PBUD atau tanpa test, tapi tidak sampai selesai. Elita kemudian mengenyam pendidikan di akademi kimia analisis swasta di Jakarta.
Elita dibesarkan dalam pola pendidikan demokratis religius. Menurut Elita, orang tuanya bukan tipe orang tua yang suka memberi pesan lewat kata-kata, tapi langsung menunjukkan lewatsikap. Awalnya cara ini membuat Elita bingung, tapi pada akhirnya Elita mengerti bahwa orang tuanya tidak ingin Elita menjadi manja. Orang tuanya mendidik Elita untuk tidak mendapatkan sesuatu secara mudah, kecuali hanya untuk urusan sekolah.
Misalnya, Elita hanya boleh mendapatkan celana jins baru kalau mendapat peringkat satu di sekolah. Ketika itu di sekitar rumah Elita masih jarang ada salon. Setiap kali mau ke salon, orang tua hanya memberi Elita uang, tetapi Elita harus pergi ke salon sendiri, entah naik ojek, atau jalan kaki. Begitu juga setiap berangkat sekolah, jika Elita terlambat,Bapaknya tidak akan mengantar. Elita tetap harus berangkat sendiri dan menanggung akibat kelalaiannya sendiri.
Sikap orang tuanya ini ternyata sangat berguna di kemudian hari, karena akhirnya Elita terbiasa gigih dalam mendapatkan sesuatu dan tidak bergantung pada orang lain. Selain itu orang tua Elita juga sangat mengedepankan pendidikan, Elita diijinkan mengikuti jenis les apapun yang diinginkan.
Dari hasil pernikahannya, Elita dikaruniai 3 orang anak : Hakiki Delviano (13), Rhezytta Delavia (10), dan Qaidzuma Delvinno (9). Kepada ketiga buah hatinya, Elita menerapkan pola asuh orang tuanya yang dianggapnya baik seraya melakukan evaluasi dan berusaha menyempurnakannya dengan menerapkan hal-hal yang dia inginkan tapi tidak ia dapatkan dari orang tuanya dulu, serta belajar dari buku-buku parenting.
Misalnya saja, Elita membiasakan memeluk anak-anaknya, melakukan komunikasi yang intens dan bersahabat dengan anak, menerapkan pembagian tugas dan tanggung jawab, saling bertukar rahasia, saling mendengar, saling terbuka dalam hal keuangan, mengucap kata-kata sayang dan pujian, memberi kejutan, juga membiasakan tersenyum dan berpelukan saat bangun tidur atau saat tiba di rumah. Semua itu adalah hal-hal yang selalu Elita inginkan sewaktu masih anak-anak, tapi tidak didapatkannya. Elita juga tidak jaim pada anak-anak, jika memang salah maka Elita akan mengakui kesalahannya dan tidak memaksakan diri menunjukkan kesempurnaan sebagai orang tua.
Bagi Elita, ridho orang tua tetaplah yang terpenting. Karena ridho Allah akan membersamai ridho orang tua. Tanpa ridho dan doa orang tua, Elita juga tidak yakin bahwa dia mampu melewati berbagai persoalan hidup yang pernah melandanya dan dapat meniti jalan menuju kesuksesan seperti sekarang.
Pola pendidikan Elita ternyata memberi hasil yang nyata pada anak-anaknya. Si sulung misalnya, berprestasi dalam bidang pramuka dan terpilih sebagai pratama pada jambore yang diikuti oleh ribuan peserta. Anak keduanya menunjukkan bakat dan minat di dunia menulis, saat ini sudah menghasilkan beberapa cerpen, dan karena karakternya yang dianggap jujur dan tertib, putrinya ini mendapat kepercayaan dari wali kelas untuk mencatat perilaku teman-teman sekelasnya setiap hari. Putrinya yang bernama kecil Zytta ini juga hampir menyelesaikan hafalan juz amma, nilai akademiknya memuaskan, juga pernah menjuarai beberapa lomba seperti kaligrafi, matematika dan tahfidz. Sementara si bungsu yang kerap dipanggil Qai, di sekolah mendapatkan predikat Siswa Tertib Beribadah dan sering menjadi imam untuk teman sekelasnya serta telah menghafal seluruh surat juz amma. Di mata para guru, si bungsu ini memiliki jiwa kepemimpinan, keberanian dan empati yang tinggi, selain bidang akademiknya juga cukup memuaskan.
Kesamaan dari ketiga anaknya itu adalah jiwa bisnis yang sudah tumbuh sejak kecil. Elita memang sering melibatkan anak-anak dalam bisnisnya agar anak-anaknya mengerti jerih payah orang tua dan lebih menghargai uang. Terbukti, hal itu kemudian menular pada anak-anaknya. Saat ini, si sulung sedang merintis bisnis ternak kambing. Sedangkan anak kedua dan ketiganya memulai berbisnis kue-kue kecil. Mereka juga jarang merengek minta dibelikan sesuatu, karena sudah diajarkan sejak dini bahwa jika menginginkan sesuatu harus berusaha dan bukan meminta.
Bagi Elita, anak-anak harus diberi tanggung jawab sedini mungkin sesuai usia dan harus diajak bekerja sama dalam berbagai hal. Kebersamaan dan tanggung jawab adalah hal penting. Elita juga berusaha menanamkan rasa empati, kasih sayang, rendah hati, dan keberanian bermimpi pada anak-anaknya.
[caption id="attachment_384263" align="aligncenter" width="300" caption="Elita bersama anak ke-2 dan ke-3"]
Ke depan, Elita bercita-cita memiliki outlet besar untuk coklat praline Chocolieta, dan bisnis cafe La Lieta menjadi lebih besar dari yang sekarang supaya dapat lebih banyak menebar manfaat bagi orang lain. Selain itu, Elita juga ingin mewariskan setidaknya satu bisnis untuk tiap anaknya. “Seperti kata orang bijak, kita tidak salah jika terlahir miskin, tapi kita bersalah jika meninggalkan anak-anak kita dalam keadaan miskin.” Ucap Elita tegas.
Sebelum wawancara berakhir, inilah pesan Elita yang ia titipkan untuk semua perempuan di negeri ini : “Setiap perempuan harus bisa lebih menghargai dirinya sendiri. Lakukan banyak hal positif sesuai passion, karena itulah yang akan menjadikan kita hidup. Miliki tujuan, dan mimpi, karena tanpanya hidup terasa kosong. Jika hidup terasa kosong, kita akan sulit menghargai diri sendiri, dan orang lain akan lebih sulit lagi menghargai diri kita. Dan meski kita berada dalam kondisi dan situasi seburuk apapun, selayaknya itu menjadi batu pijak untuk memberi kita tempat yang lebih tinggi.”
Dengan semua pencapaian Elita saat ini sebagai seorang istri yang bertanggung jawab, ibu dari anak-anak yang berkarakter dan berprestasi, penulis buku-buku motivasi, relawan inspirator dan juga seorang pebisnis wanita yang gigih, serta keberhasilannya menjadikan kemelut rumah tangga sebagai titik balik untuk bergerak maju bahkan berhasil pula menyelamatkan bahtera pernikahannya, rasanya tidaklah berlebihan kalau dikatakan, Elita Duatnofa layak menjadi salah satu perempuan dengan citra cantik Indonesia yang inspiratif dan menjadi contoh teladan bagi para perempuan lain. Inspirasi yang dipancarkan lewat kesabaran dalam mengarungi hidup, kegigihan dalam memperjuangkan kemandirian dan kesejahteraan keluarga, tekad untuk memberi lebih banyak manfaat kepada orang-orang di sekitarnya dan mendidik anak-anaknya tanpa meninggalkan kultur dan keluhuran nilai yang telah mengakar dalam kehidupan perempuan negeri ini. Yaitu perempuan Indonesia yang gigih dan mandiri dengan tetap mengedepankan keutuhan keluarga, memberikan kasih sayang dan pendidikan terbaik kepada anak-anaknya, tanpa melupakan kontribusinya sebagai makhluk sosial yang terus menebar manfaat kepada orang-orang di sekitarnya.
Sumber penulisan : Wawancara dengan Elita Duatnofa
Sumber foto : Koleksi pribadi Elita Duatnofa
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H