Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Untukmu Kampung Halaman, Sebuah Perjalanan yang Belum Pernah Tuntas

30 April 2023   23:50 Diperbarui: 30 April 2023   23:50 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana mudik (dok.windhu)

Kata Ibu, keberanian melangkah pergi dari tempat tinggal akan membuka wawasan dan menebalkan kepekaan. Meski kadang terselip rindu, suatu saat akan ada jalan pulang setelah keseharian mengantar sampai pada hidup yang lebih baik dari sebelumnya.   

Tahukah kamu, saat melihat dari balik kaca jendela kereta yang ditumpangi saat terakhir pulang, tiba-tiba terselip rasa, sampai berapa lama hal ini akan berlangsung. Ketika tetua yang semakin sepuh satu demi satu berpulang, akankah tradisi ini akan tetap berlangsung?

Kelebat hiruk pikuk mudik, kehebohan persiapan, dan upaya hemat menabung yang merupakan rangkaian untuk berjumpa dengan mereka yang sudah lama tak bertemu di kampung pada beberapa tahun silam, kini masih terasa.

Rasa lelah membawa oleh-oleh dalam tas dan kardus dari jarak jauh, berhimpitan naik kereta dari era masih berebut tiket berdiri sampai bisa dipesan melalui aplikasi pada ponsel, semua itu hanya menjadi sebuah cerita. Tetap, pada ujungnya terbayarkan dengan sebuah pertemuan pelepas rindu atas nama keluarga besar.

Namun, saat tahun demi tahun berlalu, perjalanan suatu generasi akan berubah. Satu demi satu dari anggota keluarga menikah dan berpasangan dengan orang yang berasal dari beda kampung halaman. Beda kota, beda provinsi, beda arah pulang. Tiba-tiba saja ada lagi sebuah kampung halaman baru yang bisa dan harus dikunjungi.

Mudik (dok.windhu)
Mudik (dok.windhu)

Ah, itulah hidup. Pada ujungnya akan pulang ke kampung halaman yang akan memberikan kehidupan yang terbaik. Siapapun harus meningkat hidupnya, bukan? Berpindah kampung halaman pun tak apa. Sama, kita masih ada di Indonesia. Serupa, kita masih ada di bumi manusia.

Beberapa tahun sebelumnya, seorang kerabat berpamitan kepada saudara-saudara. Dijualnya semua tanah warisan untuknya di kampung halamannya di tanah Jawa. Dia memilih untuk tinggal di sebuah kampung halaman baru di tanah Sumatera.

"Usia saya sudah semakin tua. Tidak tahu masih bisa pulang kampung atau tidak kesini. Semoga masih ada umur dan bisa selalu sehat," ucap pakde Jat. Dia meminta maaf kepada semua saudara. Anak-anaknya, sudah enggan untuk tinggal di kampung orang tuanya dulu.   

Setelah memasuki usia pensiun dari bekerja di tanah Belitung, tak ingin kembali ke kampung halamannya lama. Puluhan tahun bekerja di tanah timah, mengawini gadis setempat dan beranak pinak, sebuah kampung halaman baru dimiliki. Hidupnya tertambat disitu.

Lalu bagaimana denganku? Ah, sepertinya aku pun akan menjadi penduduk kampung Jakarta, tempat besar dan tinggal saat ini. Entahlah  selamanya atau suatu saat nanti hidup membawa. Ketika para tetua berpulang ke rumah abadi, berarti sebuah kampung halaman yang ada hanyalah cerita dan kenangan.

Sama seperti sebuah arisan dan pertemuan paguyuban kampung di perantauan yang kini berangsur non aktif ketika para penggeraknya menjadi sepuh dan mulai berpulang satu demi satu. Pada masanya pertemuan ini juga akan menjadi sebuah  kenangan. Sejumlah keturunan mereka juga sudah mendapatkan kampung halaman baru.

Bila sempat, pulanglah ke kampung halaman (dok.windhu)
Bila sempat, pulanglah ke kampung halaman (dok.windhu)

Oh, kampung halaman yang kupunya saat ini,kondisimu tak banyak berubah. Tetap memiliki luas yang sama dengan perbedaan hanya pada usia bangunan dan sejarah yang semakin tua. Sesungguhnya, perubahan terbesar yang terjadi adalah pada diri sendiri.

Itulah saat ini. Walau begitu, rasa ingin tahu pada jejak kampung halaman tetaplah ada. Suatu saat akan keliling menjelajah lokasi-lokasi indah dari pantai hingga tempat bersejarah yang berpotensi menjadi destinasi wisata. Selain itu mencicipi beragam kuliner yang belum sepenuhnya pernah dinikmati.

Untukmu kampung halaman yang telah ditinggalkan, yang teringat adalah saat mampir ke pasar untuk siap menikmati pedas kupat tahu, mencecap manisnya dawet ireng, menggigit gurihnya gebleg, dan mengunyah manisnya jenang.

Tiba-tiba aku rindu makan udang segar yang baru saja dipanen dari tambak dekat pantai. Berbeda rasa dengan yang dibeli di pasar, apalagi jika sudah di Jakarta. Pantas saja, sepiring nasi panas seakan tak cukup.

Jadi, untukmu kampung halaman, tunggulah dengan sabar. Suatu saat pasti diri ini akan kembali atas nama nostalgia dan menelusuri jejak asal muasal keberadaan diri pada perjalanan yang belum pernah tuntas., antara lain dari kisah Jendral Ahmad Yani hingga kampung Afrika yang ternyata begitu dekat. 

---Jakarta, dhu300423---

#samberramadan

#samber2023hari30

#suratuntukkampunghalaman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun