Lalu bagaimana denganku? Ah, sepertinya aku pun akan menjadi penduduk kampung Jakarta, tempat besar dan tinggal saat ini. Entahlah  selamanya atau suatu saat nanti hidup membawa. Ketika para tetua berpulang ke rumah abadi, berarti sebuah kampung halaman yang ada hanyalah cerita dan kenangan.
Sama seperti sebuah arisan dan pertemuan paguyuban kampung di perantauan yang kini berangsur non aktif ketika para penggeraknya menjadi sepuh dan mulai berpulang satu demi satu. Pada masanya pertemuan ini juga akan menjadi sebuah  kenangan. Sejumlah keturunan mereka juga sudah mendapatkan kampung halaman baru.
Oh, kampung halaman yang kupunya saat ini,kondisimu tak banyak berubah. Tetap memiliki luas yang sama dengan perbedaan hanya pada usia bangunan dan sejarah yang semakin tua. Sesungguhnya, perubahan terbesar yang terjadi adalah pada diri sendiri.
Itulah saat ini. Walau begitu, rasa ingin tahu pada jejak kampung halaman tetaplah ada. Suatu saat akan keliling menjelajah lokasi-lokasi indah dari pantai hingga tempat bersejarah yang berpotensi menjadi destinasi wisata. Selain itu mencicipi beragam kuliner yang belum sepenuhnya pernah dinikmati.
Untukmu kampung halaman yang telah ditinggalkan, yang teringat adalah saat mampir ke pasar untuk siap menikmati pedas kupat tahu, mencecap manisnya dawet ireng, menggigit gurihnya gebleg, dan mengunyah manisnya jenang.
Tiba-tiba aku rindu makan udang segar yang baru saja dipanen dari tambak dekat pantai. Berbeda rasa dengan yang dibeli di pasar, apalagi jika sudah di Jakarta. Pantas saja, sepiring nasi panas seakan tak cukup.
Jadi, untukmu kampung halaman, tunggulah dengan sabar. Suatu saat pasti diri ini akan kembali atas nama nostalgia dan menelusuri jejak asal muasal keberadaan diri pada perjalanan yang belum pernah tuntas., antara lain dari kisah Jendral Ahmad Yani hingga kampung Afrika yang ternyata begitu dekat.Â
---Jakarta, dhu300423---
#samberramadan
#samber2023hari30