Nostalgia masa kecil di bulan ramadan? Segera saja berkelebat masa masih menjadi bocah, terutama saat berseragam merah dan putih. Kegiatan-kegiatan dari saat sahur hingga selesainya shalat tarawih di malam hari. Rutin hingga lebaran datang.
Masa yang masih murni belum mengenal gadget dan internet. Menunggu bedug dengan duduk manis di depan layar televisi merupakan salah satu favorit kala itu. Bermain bersama teman mengisi waktu berbuka terkadang berakhir dengan kehebohan. Lupa sedang berpuasa sehingga minum juga pernah. Namun tak hanya itu, nostalgia masa kecil yang berkaitan dengan tarawih di masjid juga menarik.
Ya, melaksanakan shalat tarawih di masjid dekat sekolah yang ternyata mempunyai kenangan tersendiri. Masjid yang sebenarnya juga terletak tidak jauh dari rumah. Saya biasa berjalan kaki bersama teman, kakak, maupun orang tua menuju kesan. Sekarang sudah jarang ke masjid itu setelah dibangunnya fly over.
Biasanya, kelakuan aneh-aneh dan ada-ada saja muncul ketika pergi shalat tarawih bersama teman. Jika bersama dengan orang tua umumnya aman. Berada di samping orang tua yang ibadah, anak pasti akan mengikuti semua gerakan shalat dengan tertib. Nah jika shalat tarawih dengan teman, memang membangun kebersamaan tapi juga belum tentu ibadah dilaksanakan dengan benar. Tergantung teman barengannya.
Saya tahu, sejak dulu bahkan hingga sekarang anak-anak yang tidak didampingi orang tua saat shalat tarawih terkadang bertingkah ‘agak nyleneh’. Ada saja anak-anak yang akan mengucapkan kata Amin... keras-keras dan bahkan berulang dengan cekikikan saat Imam shalat selesai membaca surat Al Fatihah.
Selain itu, ada saja anak-anak yang datang ke masjid tapi belum tentu melaksanakan shalat tarawih. Mereka hanya bermain-main dan ngobrol saja. Ada juga yang menyibak tirai pembatas laki-laki dan perempuan.  Setelah lebih besar, saya baru menyadari perbuatan tidak baik itu akan mengganggu para jemaah lainnya dalam beribadah. Akankah ini  menjadi nostalgia ramadan masa kecil mereka nantinya?
Bagaimana dengan nostalgia masa kecil saya di bulan ramadan, terutama  saat shalat tarawih di masjid?  Pergi shalat tarawih ke masjid saat masa kecil, selain sebagai ibadah,  salah satu motivasinya lainnya tentu saja untuk mengisi buku  kegiatan ramadan.
Namun, saya mengakui jika di sela-sela shalat tarawih yang terkadang imam shalatnya melantunkan ayat yang panjang, rasa kantuk tiba-tiba menyerang. Ternyata nggak cuma saya, beberapa teman barengan lain juga merasakannya saat itu. Entah siapa yang memulai, yang lebih senior mempelopori yang lainnya. Katanya, kalau anak-anak shalatnya masih diringankan. Â Â
Jadi, kami biasanya menelat-nelatkan diri untuk memulai rakaat shalat tarawih selanjutnya. Kami akan mengobrol  dulu atau cekikikan. Baru setelah itu akan 'mengejar' shalat yang tertinggal. Suatu hal yang kemudian saya ketahui adalah perbuatan salah.
Entah apa yang jadi bahan obrolan dan membuat cekikikan saat itu, saya sudah lupa. Kami anak-anak perempuan ini memang tidak berteriak keras-keras  Amin.... seperti anak laki-laki.
Namun, obrolan kami para bocah perempuan ini baru berhenti jika sudah ada orang tua yang menegur ataupun ada sorot senter mengenai salah satu dari kami. Saat itu, biasanya penjaga masjid akan menyenterkan sinar ke anak-anak yang tidak segera shalat.
Meski demikian, melaksanakan tarawih di masjid tetap saja menyenangkan. Bisa ikut membantu ibu guru, yang sepertinya aktif di masjid, untuk menyiapkan konsumsi para jemaah masjid. Ketika itu, ibu guru memanggil untuk ikut menempatkan pada kotak kue  dan membagikannya ke jemaah masjid saat  kegiatan Nuzulul Quran.
Duh, sangat senang bisa dipercaya ikut terlibat meski sesederhana itu. Bahkan, kadang kalau masih ada, suka mendapatkan tambahan kue, Dobel senangnya membantu dan mengikuti kegiatan di masjid.
Hal lain yang menarik saat bulan ramadan adalah meminta tanda tangan penceramah atau imam untuk mengisi kegiatan ramadan. Sejak dulu saya suka untuk membuat ringkasan ceramah. Kata ibu, saya bisa menyarikannya dengan bagus. Namun, meminta tanda tangan imam atau pencermah menjadi tantangan tersendiri.
Tantangan? Ya, buat anak perempuan seperti saya harus buru-buru melesat ke bagian laki-laki. Selain itu, ada ragu dan bimbang. Rata-rata iman dan penceramah adalah laki-laki. Supaya tidak ketinggalan mendapatkan tanda tangan, saya perlu cepat-cepat. Ada saja anak perempuan yang menitip tapi saya lebih suka memintanya sendiri supaya pasti dapat dan tidak ketinggalan.
Setahu saya, jumlah anak perempuan yang meminta tanda tangan untuk buku kegiatan ramadan jauh lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Tidak tahu kenapa, tapi yang terpenting saya senang kalau saya sudah mendapatkan tanda tangan imam atau penceramah. Rasanya, seperti sebuah pencapaian.
Setelah shalat tarawih di masjid dekat sekolah, masih ada nostalgia lainnya. Berjajar penjual petasan dan kembang api. Inilah kesempatan untuk membeli dan memilikinya. Beberapa kotak kembang api biasanya dibeli. Saya hanya sekali dua kali membeli petasan karena takut berbahaya.
Saya suka dan kagum pada pijar warna-warni kembang api  saat dinyalakan.Tangkai-tangkai kembang api biasa diletakkan di batang-batang pohon untuk dinyalakan. Sebagian dipegang tangan. Indahnya warna saat dinyalakan saat malam masih gelap.
Nostalgia tarawih di masjid dekat sekolah punya cerita. Karena jaraknya ke rumah hampir 1 kilometer, saat pulang tarawih terkadang turun hujan. Pergi tarawih belum tentu membawa payung.
Tahu yang dilakukan? Seperti halnya para bocah, saya dan teman-teman tak mempermasalahkanya dan tetap bergembira. Ada saja alasan untuk segera pulang meski hujan masih turun. Kami biasanya malah berlari-lari menembus hujan.Pulang dalam keadaan basah kuyup. Mukena, sarung dan sajadah sudah pasti ikutan basah!
Itulah nostalgia masa kecilku di bulan ramadan, terutama yang ada-ada saja saat pergi tarawih. Bagaimana dengan kamu?
----Jakarta,dhu020423----
#samber2023hari2
#Ramadan2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H