Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pergi ke Pasar Baru, Jumpa Toleransi dan Keberagaman Rumah Ibadah di Sana

6 Maret 2023   23:45 Diperbarui: 7 Maret 2023   19:44 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelenteng Sin Tek Bio yang sudah berusia 5 abad (dok.windhu)

Dari zaman Belanda hingga zaman digital, Pasar Baru, Jakarta dikenal sebagai pusat perdagangan dan pusat perbelanjaan yang perlu dikunjungi. Belanja dan kulineran merupakan hal yang biasa dilakukan. Namun, menjumpai keberagaman rumah ibadah disana, bisa jadi masih merupakan hal yang mengundang keingintahuan. 

Batavia, Passer Baroe, 1820. Gapura tinggi berwarna cokelat bernuansa Tionghoa berdiri gagah. Penanda kawasan pusat perbelanjaan itu sudah terlihat jelas dari kaca bus Trans Jakarta menuju perhentian halte Pasar Baru yang saya naiki. Pagi masih belum ramai pengunjung. Hujan sejak semalam mengguyur Jakarta, Minggu, 26 Februari 2023.

Sejenak saya memandang gapura itu. Sudah lama saya tidak datang ke kawasan Pasar Baru. Kecuali melewati kawasannya saja dari kaca angkutan umum. Pandemi selama lebih dari dua tahun turut membuat jarak waktu. Padahal, dulu cukup sering, mulai dari sekedar jalan-jalan, cari makanan, hingga belanja sepatu dan kain.

Pasar Baru, Tak hanya Pusat Perbelanjaan, tapi juga kebhinekaan (dok.windhu)
Pasar Baru, Tak hanya Pusat Perbelanjaan, tapi juga kebhinekaan (dok.windhu)
Ya, Belanja dan cari jajanan, itulah yang biasa yang saya lakukan seperti halnya banyak pengunjung pusat perbelanjaan pertama di Jakarta itu. Toko-toko berjajar yang saling berhadapan tinggal dikunjungi sesuai kebutuhan dan keinginan. Tak selalu membeli, tapi juga sekedar melihat-lihat.

Hmm, mungkinkah pada zaman dulu orang-orang Eropa juga melakukan hal yang sama? Kawasan Pasar Baru merupakan pusat perbelanjaan bergengsi sejak pindahnya ibukota kolonial Belanda kala itu ke Weltreveden, yang berada di sekitar Gambir, Lapangan Banteng, dan Istana Merdeka.

Lokasi yang dekat dengan tempat tinggal kaum Eropa, yakni di Jl. Veteran, tak heran jadi pilihan kunjungan. Saya tersenyum membayangkannya. 

Selain tempat belanja, Pasar Baru ternyata juga kawasan dengan kebhinekaan rumah ibadah. Inilah yang menjadi daya tarik untuk menjelajahi melalui Festival Kebhinekaan.

Makanya banyak yang ingin turut serta. Ada sekitar 35 orang. Enam di antaranya anggota Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana). Salah satu peserta special guest adalah Agustinus Wibowo yang terkenal sebagai penulis buku travel.


Ups, ternyata seharusnya saya turun halte di Trans Jakarta Pasar Baru Timur yang letaknya berhadapan dengan Sikh Temple. Saya harus berjalan dulu beberapa ratus meter karena turun di halte Pasar Baru. 

Ada tiga tempat ibadah dengan keunikan masing-masing, yakni Sikh Temple yang merupakan kuil penganut agama Sikh, Kelenteng Sin Tek Bio (Vihara Dharma Jaya), dan GPIB PNIEL.

Lokasi ketiga rumah ibadah dari penganut agama yang berbeda ini tidak begitu jauh. Bisa ditempuh dari satu tempat ke tempat lainnya hanya dengan berjalan kaki. Jika jalan bareng dengan suatu komunitas atau teman, perjalanan wisata yang bisa memperkuat rasa toleransi agama dan suku, dan lainnya ini tidak terasa.

Sikh Tenple Pasar Baru (dok.windhu)
Sikh Tenple Pasar Baru (dok.windhu)

Bersihkan Anggota Tubuhmu, Tutuplah Kepalamu di Sikh Temple

Jangan lupa membawa tutup kepala. Itu yang harus diingat jika ingin mengunjungi Sikh Temple, yang terletak di Jl. Pasar Baru Timur 10, Jakarta Pusat. Sebab, penganut agama Sikh yang laki-laki menggunakan turban/sorban dan perempuannya menggunakan kerudung.

Gedung Sikh Temple Pasar Baru ini mudah dikenali. Selain memang ada tulisannya, gedung berlantai dua yang cukup megah itu mudah dikenali dari kubah, nuansa kuning emas dan biru.

Jika tidak membawa penutup kepala, ada lemari yang menyediakan penutup kepala dan bisa dipinjam pengunjung saat berada di Sikh Temple. Beberapa kawan meminjamnya dan saling memakaikan. Sebelum masuk rumah ibadah, setiap orang diwajibkan untuk mencuci kaki dan tangan sebagai wujud membersihkan dan menjaga kesucian diri.

Kitab Suci agama Sikh yang dihormati (dok.windhu)
Kitab Suci agama Sikh yang dihormati (dok.windhu)

Gambar Guru Nanak Dev Ji asal Punjab, India kelahiran tahun 1469, yang mengajarkan agama Sikh langsung terlihat. Begitupun halnya dengan prasasti nama pengikut sikh dimana-mana, yang ternyata merupakan plakat donasi. 

Ade, salah seorang pengurus Sikh Temple Pasar Baru mengatakan keberadaan tenpat ibadah Sikh di kawasan Pasar Baru ini merupakan yang kedua di Jakarta dan dibangun pada tahun 1955.

Sikh Temple atau kuil Sikh disebut juga Gurdwara yang pertama terletak di Tanjung Priok. Sikh dan India tidak bisa dipisahkan. Penganutnya di Indonesia merupakan WNI keturunan India yang sudah bermukim 3 hingga 4 generasi. Penyebaran ke Batavia melalui perantau yang masuk ke Jakarta pada tahun 1920. Sebelumnya, masuk melalui jalur pedagangan di Aceh dan Medan.

“Selain turban, kerudung, penganut Sikh juga menggunakan gelang,” kata Ade sambil memperlihatkan gelang putih yang melingkar di pergelangan tangannya.

Menyantap hidangan setelah ibadah (dok.windhu)
Menyantap hidangan setelah ibadah (dok.windhu)

Hari Minggu, mulai pukul 7.15 hingga pukul 22.00 diadakan kegiatan keagamaan. Seperti pagi itu, penganut agama Sikh baik lelaki dan perempuan terlihat bergantian memasuki ruangan tempat kitab suci agama Sikh diletakkan.

Mereka bersujud datang memberi penghormatan di depan kitab suci setebal 1420 halaman yang bernama Guru Granth Saheb. Kitab berisi wahyu dari Tuhan yang diturukan sebagai pedoman umat manusia dari sepuluh utusan guru.

Saat kami datang, seorang penganut terlihat sedang membaca kitab suci menggunakan bahasa Punjab, India itu dengan khusyu. Menurut Man Mohan Singh dari Sikh Temple pasar Baru, sikhisme berarti pengikut atau pembelajar. 

Agama Sikh beraliran Sikhisme, aliran yang percaya pada satu Tuhan. Tidak ada kasta. Sikh sendiri artinya belajar. Pada KTP, penganut agama Sikh tertera Hindu.

Itulah perbedaan dengan agama Islam meski penampilan penganut Sikh juga berjanggut dan berjubah. Selain itu, penganut Sikh vegetarian yang tidak makan daging, telor dan tidak merokok.

Setelah beribadah, aneka hidangan antara lain roti chanai dan kacang hijau disediakan untuk seluruh pengunjung. Kegiatan yang disebut Guru Kalanggar ini mengajarkan kebersamaan dan kesetaraan. Hmm, kami mencicipi sajian teh tarik Kuil. Sikh. 

Kelenteng Sin Tek Bio yang sudah berusia 5 abad (dok.windhu)
Kelenteng Sin Tek Bio yang sudah berusia 5 abad (dok.windhu)

Pesona Kelenteng 5 Abad Sin Tek Bio 

Melewati gang sempit dengan lebar hanya satu meteran, langkah kaki harus hati-hati. Ada sejumlah air menggenang di jalan setapak yang tak rata.

Letaknya di Gang Kelinci yang ada di samping resto Bakmi Kelinci.

Gang yang padat dengan pedagang. Warung Bakmi Aboen menjadi penunjuk menuju Kelenteng Sin Têk Bio karena tinggal lurus saja. 

Tulisan Kelenteng Sin Têk Bio (Vihara Dharma Jaya) berlatar kuning yang saling berhadapan ada di sudut gang. 

Saya dan Adica memandang bangunan berwarna merah dengan patung naga berhadapan di atapnya. Bangunannya tidak besar tapi unik. 

Ada pesona yang terpancar dari kelenteng yang sudah berusia 5 abad ini. Ratusan rupang ada di Kelenteng yang berdiri pada tahun 1689 ini. 

Altar Dewa Bumi, Dewi Kwan Im, patung Buddha tertata. Ada satu altar yang menarik perhatian saya, yakni altar Embah Dalem Raden Suria Kencana Winata. Guling kecil dan beberapa cangkir teh dideretkan disitu. 

Raden Suria Kencana, menurut Ira Lhatief dari Festival Kebhinekaan, merupakan keturunan Prabu Siliwangi. Di tanah Jawa, penguasa tanah Padjajaran ini sangat dihormati. 

Kelenteng Sin Tek Bio (dok.windhu)
Kelenteng Sin Tek Bio (dok.windhu)

Sangat menarik karena wujud toleransi terlihat di Kelenteng ini. Pengunjung dari berbagai agama dan etnis diperkenankan mengambil gambar. 

Kelenteng di Jl. Pasar Baru Dalam Pasar No 146 untuk kegiatan keagamaan ini didirikan di atas rawa pada masa orang-orang Tionghoa banyak yang mẹnjadi petani di wilayah sekitar Lapangan Banteng sekarang. 

Alkitab berbahasa Belanda yang hanya ada di Belanda dan Indonesia (dok.windhu)
Alkitab berbahasa Belanda yang hanya ada di Belanda dan Indonesia (dok.windhu)

Kitab Kuno Berbahasa Belanda di Gereja Ayam 

Gereja Ayam đi Jl. Samanhudi menjadi destinasi rumah ibadah yang juga menarik dikunjungi. Dari kejauhan, penunjuk arah berbentuk ayam sekaligus penangkal petir di puncak bangunan tinggi gereja terlihat 

Menurut Oci, salah seorang pengurus gereja ayam, mereka meyakini simbol ayam sebagai penanda Petrus yang menyangkal Tuhan Yesus sebanyak 3 kali sebelum ayam berkokok 3 kali. Hal ini juga untuk mengingatkan umat Kristen agar tidak mengingkari Tuhan Yesus. 

Bangunan yang Masih Dipertahankan sejak zaman Belanda (dok.windhu)
Bangunan yang Masih Dipertahankan sejak zaman Belanda (dok.windhu)

Haantjes Kerk 1913 tertera di pintu utama gereja sebagai menunjukkan tahun dibangunnya gereja. Đưa menara kembar ada di sisi bangunan. 

Gereja Ayam atau Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) PNIEL, kata Oci, dibangun sebagai bentuk perlawanan sosial di zaman kolonial Belanda dalam hal beribadah. 

Sebelumnya, sudah ada Gereja Imanuel tapi lebih enjadi tempat beribadah pejabat Hindia Belanda dan kalangan atas kala itu. 

Gereja ayam kemudian dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan beribadah orang pribuni dan menengah ke bawah. Dulunya hanyalah sebuah kapel kecil sebelum berbentuk gereja seiring bertambahnya jumlah jemaat. Kini mampu menampung sekitar 1500 jemaat. 

GPIB PNIEL yang dikenal dengan sebutan gereja ayam. (dok.windhu)
GPIB PNIEL yang dikenal dengan sebutan gereja ayam. (dok.windhu)

Sebuah Alkitab Kuno berbahasa Belanda yang didatangkan dari Belanda menjadi keunikan gereja ayam. jumlahnya cuma ada dua di dunia."Hanya dimiliki Belanda dan Indonesia,"kata Oci sambil menunjukkan Alkitab setebal lebih 20 cm yang ada dalam kotak kaca agar terjaga. 

Selain itu, tidak ada yang berubah dari bangunan gereja bergaya Eropa yang diarsiteki Ed Cuypers dan Hulswit ini meski sudah berusia lebih dari seabad. Begitupun halnya dengan bangku, mimbar, dan lainnya. Cagar budaya yang terjaga. 

Gereja Ayam (dok.windhu) 
Gereja Ayam (dok.windhu) 

Ingat Pasar Baru, Ingat Toleransi dan Kebhinekaan

Pergi ke Pasar Baru kini jangan lagi hanya untuk sekedar belanja atau kulineran. 

Pasar Baru juga menyajikan toleransi beragama, etnis, dan kebhinekaan rumah ibadah. 

Keberagaman yang ada justru menjadi perekat perbedaan yang ada. Seperti semboyan bangsa Indonesia yang ada di lambang negara, yakni Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu juga. 

Kebhinekaan yang tidak terbatas pada tiga rumah ibadah Sikh, kelenteng, dan gereja ayam. Masih banyak lainnya yang perlu ditelusuri. Adakah yang mau menemani? 

****

Jakarta, dhu060323

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun