Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Perempuan, Kesetaraan, dan Cinta dalam Film Religi

16 April 2022   18:21 Diperbarui: 20 April 2022   12:52 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surga yang Tak Dirindukan (Sumber gambar: tribunnews.com)

Pendidikan, karier, dan cinta. Semua ini tak lepas untuk membicarakan sosok mahkluk Tuhan bernama perempuan yang memiliki keinginan untuk maju, meraih kesetaraan, tapi terkadang masih harus terbelenggu oleh norma dan tradisi yang melekat kuat di masyarakat.

Dalam ranah perfilman lokal, sudah cukup banyak film layar lebar yang menggambarkan perjuangan perempuan untuk meraih kesetaraan untuk bisa menempuh pendidikan tinggi dan berkarier. Kisah pertama yang membangkitkan semangat perempuan untuk maju dan memperjuangkan emansipasi perempuan adalah Kartini.

Sebagai perempuan penyebar inspirasi, langkah Kartini memang tak pernah tergantikan. Sehingga, tak berlebihan jika hadir lebih dari satu film yang mengangkat jasa sosok Kartini. Sebut saja, film Kartini karya Hanung Bramantyo pada tahun 2017 yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo.

Film ini memperlihatkan perjuangan Kartini memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan untuk bisa menempuh pendidikan, baik untuk perempuan ningrat maupun kebanyakan. 

Sebelumnya, ada R.A. Kartini (1982) yang diangkat dari buku biografi Kartini Sitisoemandari Soeroto dan Surat Cinta Untuk Kartini (2016) yang merupakan fiksi sejarah.

Nah, perempuan dan perjuangannya untuk menggapai kesetaraan pun masih terus berlangsung hingga kini. Di Indonesia, diawali sejak zamannya Kartini. Di dunia pun tak pernah henti menyuarakannya. Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia tahun 2022, mengangkat tema untuk meningkatkan kesetaraan dan menghilangkan diskriminasi terhadap kaum wanita.

Upaya perempuan meraih kesetaraan ini juga terdapat dalam balutan film religi. Sebuah film religi yang fenomenal hingga kini dan menjadi rekomendasi saat ramadan tiba adalah "Perempuan Berkalung Sorban". Film yang dirilis tahun 2009 ini banyak meraih penghargaan meski banyak juga yang menganggapnya kontroversi.

Kesetaraan dalam Perempuan Berkalung Sorban

Berlatar lingkungan pesantren yang masih konservatif, hingga lebih dari sepuluh tahun dari saat rilisnya, "Perempuan Berkalung Sorban" masih menjadi tontonan menarik. Diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqy, film ini bisa membuka mata mengenai perempuan yang berusaha untuk memperoleh kesetaraan dengan kaum laki-laki.

Sejak masih anak-anak, Annisa (Revalina S. Temat) yang dibesarkan di pesantren Al-Huda, Jawa Timur, merasa diperlakukan tidak adil karena kedua kakak lelakinya lebih bebas. Salah satunya, naik kuda. Meski terpilih jadi ketua kelas, Annisa harus melepaskannya karena pemimpin haruslah berasal dari laki-laki.

"Kenapa Nisa nggak boleh?"

"Karena kamu tuh perempuan. Nggak pantas."

Itulah salah satu contoh dialog. Sebagai wanita yang cerdas dan berani, Annisa ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kedua kakak lelakinya bisa kuliah, bahkan hingga ke Mesir. 

Begitupun halnya dengan Khudori, lelaki yang terhitung masih saudara tak sedarah dari pihak ibu. Buku-buku yang tak senafas dengan pesantren pun tidak boleh dibaca atau dipelajari.

Meski menerima beasiswa kuliah ke Yogyakarta, Annisa harus melepaskannya. Dengan terpaksa, Annisa pun harus menikah dengan Samsudin (Reza Rahadian), anak seorang kyai pesantren besar yang mendukung pendanaan pesantren milik orang tua Annisa.

Perempuan cukup menjadi ibu,membesarkan anak-anak, dan melayani laki-laki. Sayangnya, dalam "Perempuann Berkalung Sorban", laki-laki yang dinikahi ternyata malah memberikan siksaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun fisik.

Cinta Suci Zahrana (sumber gambar: tribunnews.com)
Cinta Suci Zahrana (sumber gambar: tribunnews.com)

Ujian Mencari Cinta Suci Zahrana 

Sebaliknya, meski sudah berpendidikan tinggi, perempuan tak pernah bisa lepas dari pilihan untuk mengejar karier atau harus berumah tangga. Salah satu film religi yang mewakilinya dirilis awal 2012, berjudul "Cinta Suci Zahrana" yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Shirazi (Kang Abik).

Film yang disutradarai Chaerul Umam ini mengisahkan Dewi Zahrana (Meyda Sefira), perempuan cerdas dan berhasil menyelesaikan kuliah S1 dan S2 dari universitas negeri bergengsi di Indonesia. 

Perempuan yang kemudian berprofesi sebagai dosen arsitektur ini memperoleh penghargaan di luar negeri dan sempat ditawari untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 tapi tak jadi diambilnya karena pertimbangan orangtua.

Berasal dari keluarga biasa, ayahnya mengharapkan Zahrana segera berumah tangga daripada mengejar pendidikan dan karier. "Semakin kamu terkenal, semakin banyak mendapatkan penghargaan, malah semakin bikin malu. Lebih banyak orang yang bertanya, Kapan pak Munajat punya menantu? Kenapa Zahrana belum juga menikah? Sampai di musola, di masjid orang bertanya. Sampai ketemu orang di pasar, itu juga yang ditanya. Bapak harus jawab apa, nduk?"

Itu salah satu percakapan Zahrana dengan Munajat, ayahnya. Menjadi perempuan berprestasi dan berpendidikan tinggi tapi belum menikah juga menjadi olok-olokan dan terkesan perempuan harus menerima saja siapapun yang datang melamar.

"Usiamu sudah 34 tahun, Ran. Masa kawin sama perjaka? Lihat, aku nikah dengan duda usia 40 tahunan yang sudah punya 3 orang anak. Aku bahagia dan tentram saja," cerita Zahrana pada Lina, mengenai ucapan salah seorang temannya Wati.

Zahrana pun semakin terhimpit ketika mengetahui ayahnya memiliki penyakit jantung. Perempuan ini ingin berumah tangga, tapi juga sukses. Kegelisahannya bertambah saat atasannya yang genit dan sudah berusia kepala 5 melamar. Zahrana yang menolak diperistri kemudian dipecat dengan tidak hormat. Diolok-olok sebagai perawan tua. 

Pada akhirnya, di sebuah pesantren, Zahrana akhirnya pasrah minta dicarikan jodoh. Perempuan ini tak memperdulikan lagi status sosial dan status ekonomi. Seorang tukang kerupuk keliling tamatan SMA tapi soleh kemudian diperkenalkan padanya.

Surga yang Tak Dirindukan (Sumber gambar: tribunnews.com)
Surga yang Tak Dirindukan (Sumber gambar: tribunnews.com)

Pengorbanan Cinta Perempuan di Surga yang Tak Dirindukan

Surga yang Tak Dirindukan merupakan sebuah film religi yang diangkat dari novel karya Asma Nadia berjudul sama. Kisanya mengenai poligami dalam pernikahan.

Arini (Laudya Cynthia Bella), perempuan yang mempersembahkan hidupnya demi keluarga sangat percaya pada suaminya yang baik dan setia. Namun, cobaan untuk berpoligami datang saat hadirnya Meirose (Raline Shah) di tengah kehidupan cinta Arini dan Pras (Ferdi Nuril).

Keikhlasan luar biasa ditunjukkan oleh Arini, yang kemudian harus melepaskan dan justru mengukuhkan cinta Meirose dan Pras dalam berumah tangga untuk meraih Surga yang Tak Dirindukan.

Perempuan dan Sebuah Keputusan Hidup

Dalam menjalani dan membuat keputusan hidup, perempuan terkadang tak bisa mengabaikan sekelilingnya, terutama di Indonesia yang memegang sistem patriatki, yakni menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama.

Film-film religi asal Indonesia merekam kisah yang terjadi di masyarakat dan menuangkannya ke layar lebar. Meski tak semuanya sama persis karena disajikan berupa fiksi.Tak semuanya sukses menjadi box office seperti "Ayat-Ayat Cinta" ataupun "Surga yang Tak Dirindukan". Tal seluruhnya juga mendulang banyak penhargaan seperti "Perempuan Berkalung Sorban."

Terkadang muncul kontroversi dan dituding tak mencerminkan ajaran agama. Namun, Abidah El Khalieqy penulis novel Perempuan Berkalung Sorban misalnya, telah melakukan riset di sebuah pesantren, sebelum menuangkannya dalam tulisan.

Film religi seperti Perempuan Berkalung Sorban dan Cinta Suci Zahrana kerap dijadikan studi mengenai feminisme dan kesetaraan.

Kisah dalam film religi Indonesia saat ini bisa dikatakan tak jauh dari pendidikan, karier, dan cinta. Perempuan yang masih terbatasi gerak langkahnya menempuh pendidikan, memperoleh kesetaraan dalam karir dan prestasi, upaya memperoleh cinta dan mempertahankannya. Termasuk mengalami poligami.

Dalam menyimak film religi, tentu saja harus memilah dan mencernanya tak sekadar sebagai tontonan. Pesan dan kisah yang diangkat dalam film religi bisa saja menjadi hiburan, dapat juga menjadi sebuah pesan untuk perempuan supaya berjuang guna meraih pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaan dan hidup yang layak. c

---- Jakarta,dhu160422--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun