Sajadah usang itu terbentang. Bulu-bulunya sudah banyak yang hilang. Warnanya pun sudah memudar, Gambar masjid di sajadah itu pun sudah tidak utuh lagi. Â Bentuknya sudah tak sempurna.Â
Namun, perempuan usia sekitar 40 tahunan itu selalu menggunakannya untuk shalat tarawih di masjid. Malam ini, dia tepat membentangkan sajadahnya di samping sajadah milik Nek Iyah.
Perbedaan dua sajadah yang terbentang bersebelahan itu terlihat jelas. Sinar lampu berwarna putih terang dan dinding masjid kuning cerah semakin menegaskannya.Â
Nek Iyah membawa sajadah bagus setiap shalat di masjid dekat perumahannya tinggal. Sajadah pemberian salah seorang tetangganya yang baru saja pulang dari naik haji, tepat sebelum pandemi menyapa ke seluruh pelosok negeri.Â
Nek Iyah melirik sajadah lusuh yang terbentang di samping sajadahnya itu.  Shalat Isya berjamaah baru saja selesai. Nek Iyah juga sudah menyelesaikan shalat sunah dua rakaat. Tinggal menunggu sejenak sebelum kemudian shalat tarawih  berjamaah dimulai. Mata Nek iyah kembali tertumbuk pada sajadah usang yang terbentang di sebelahnya.Â
Nek Iyah tiba-tiba saja teringat jika di rumahnya,di salah satu lemari pakaian rumahnya bertumpuk-tumpuk sajadah yang tidak pernah digunakan atau hanya dipakai sekali atau dua kali. Â Semuanya bisa dibilang masih baru. Mereknya bermacam-macam dengan warna,corak,dan gambar yang juga beraneka.
Nek Iyah nyaris tidak pernah membeli sajadah. Sajadah-sajadah di rumahnya bertambah banyak sendiri. Tinggal di permukiman yang maju dan kelas menengah, membuatnya tak perlu membeli sajadah. Setiap kali ada yang pergi umroh atau naik haji ke tanah suci,seringkali ada yang memberikan sajadah-sajadah bagus berbulu lembut sebagai oleh-oleh.
Jumlah sajadah juga bertambah saat ada salah seorang anggota keluarga tetangganya yang meninggal dunia.Tidak jarang, sajadah baru dimasukkan sebagai bagian dari bingkisan berkat tahlilan yang dibagi-bagikan setelah pengajian selesai. Namun, Nek Iyah tak  begitu suka kalau sajadah yang terkait dengan bingkisan  tahlilan. Soalnya, di balik sajadah biasanya ditulis kalimat mengenang orang yang meninggal itu.Â
Â
***
Mata Nek Iyah kembali tertumbuk pada sajadah usang yan digelar tepat di samping sajadahnya. Perlahan, tangan nek Iyah mengelus sajadah miliknya. Bulunya lembut. Halus. Nek Iyah menyukainya. Perasaannya yakin jika di rumah pasti masih ada sajadah bagus dengan warna indah dan punya kelembutan yang sama.
 Mungkin salah satunya cocok buat pemilik sajadah usang yang belum dikenalnya itu. Bisa jadi, perempuan itu tinggal di permukiman padat belakang masjid, yang letaknya dekat sungai.
Tiba-tiba, mata Nek Iyah bertemu dengan mata perempuan pemilik sajadah yang ada di sampingnya. Nek Iyah kemudian tersenyum kepadanya dan menganggukkan kepala.Â
"Maaf, dik. saya punya sajadah bagus di rumah. Masih baru. Belum digunakan. Kalau adik mau, besok saya bawakan," Nek Iyah menawarkan sajadahÂ
Nek Iyah menunggu jawaban. Namun, tanpa  diduga, pemilik sajadah usang malah melengos. Wajahnya berubah sama sekali tidak ramah.
"Ibu, kalau ibu punya banyak sajadah, kenapa nggak dibawa saja ke masjid. Ibu nggak perlu kasih saya. Saya nggak butuh," ucap perempuan muda itu ketus.Â
Nek Iyah tersentak. Hatinya tercekat. Tak menduga sama sekali respon dari perempuan pemilik sajadah usang itu. Rasa sedih menjalari hatinya. Tidak ada niat apapun selain keinginan untuk memberikan sebuah sajadah yang kondisinya bagus kepada pemilik sajadah usang itu.Â
Th anpa percakapan apa-apa, perempuan pemilik sajadah usang itu langsung pergi meninggalkan nek Iyah yang terpaku melihatnya. Nek Iyah menggeleng-geleng sedih. Sekilas, matanya melihat setumpuk sajadah di sisi lemari pojok masjid. Setiap ramadan, kaum perempuan biasanya memilih untuk membawa sajadah sendiri. Berbeda dengan para lelaki yang  sering tidak membawa sajadah. Karpet tebal masjid sudah cukup empuk sebagai alas shalat.
Nek Iyah menyentuh lembut sajadah yang digunakannya untuk shalat tarawih malam itu. Perempuan pemilik sajadah usang  itu sudah tak terlihat lagi. Tangan Nek Iyah melipat sajadah yang digunakannya.  Pikirannya masih teringat pada tumpukan sajadah bagus di rumah. Â
Hati Nek Iyah masih terasa sesak. Niatnya tulus. Tak mengerti alasan pemilik sajadah usang itu justru  marah saat ditawarkan sebuah sajadah yang masih bagus dan terhitung baru. Sudah lama Nek Iyah ingin berbagi sajadah-sajadah di rumahnya karena tak terpakai. Sayangnya, Nek Iyah tak tahu harus diberikan kemana.Â
Sebelumnya, rasa tak pantas untuk memberikan bukan barang baru bersegel kerap hadir di hati Nek Iyah. Selain juga was-was yang muncul karena khawatir yang menerimanya akan tersinggung, seperti pemilik sajadah usang yang ditawarkannya. Namun, sayang juga rasanya jika sajadah-sajadah di rumah lapuk begitu saja tidak terpakai.Â
Adakah yang  tahu harus didonasikan kemanakah sajadah-sajadah itu?Â
***
Jakarta,dhu140422
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H