Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kamoro, Menjaga Seni Ukir di Tengah Gempuran Reggae dan Hip Hop

5 November 2021   10:05 Diperbarui: 2 Desember 2021   13:35 5467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ukiran SUku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Berbekal pahat, tangan lelaki itu sibuk mengukir sebuah perahu kecil. Di sebelahnya, pada tikar yang sama, seorang perempuan duduk sambil menganyam kulit kayu.

Kehadiran mereka menjadi salah satu daya tarik dalam memperkenalkan seni dan budaya Suku Kamoro dalam Kamoro Art Exhibition & Sale 2021 di Hutan Kota by Plataran, Jakarta.

"Ini adalah persinggahan-persinggahan. Alat transportasi perahu. Orang Kamoro dulu senang berpindah dan tidak menetap," kata lelaki yang menggunakan pakaian adat lengkap itu, sambil menunjuk motif yang dibuatnya pada di sisi perahu.

Menurut Herman, nama lelaki itu, sejak kecil dirinya sudah menjadi pengukir. Keahlian itu diturunkan dari moyangnya, kakeknya, ayahnya, lalu ke dirinya. Nantinya, akan diwariskan lagi pada anak dan cucu keturunannya. Dari generasi ke generasi.

Ukiran perahu, alat transportasi suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran perahu, alat transportasi suku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Sore itu, Herman mengukir sebuah perahu kecil. Kehadirannya merupakan salah satu pertunjukan untuk memperkenalkan ukiran Kamoro. Begitupun halnya dengan mama Salomina yang menganyam tas. Beberapa laki-laki muda lain yang juga berpakaian adat, memegang tabuhan.

Diiringi dengan alunan lagu Papua, seperti Sajojo dan Apuse, nuansa budaya Papua hadir. Tak hanya ukiran perahu Kamoro, ratusan bentuk dan motif ukiran khas yang dipajang bisa dinikmati saat pameran 27-29 Oktober 2021.

Pameran tersebut diselenggarakan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) bersama Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe (MWK) dan Plataran Indonesia.

Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Ukiran kayu dan anyaman khas Kamoro dalam pameran itu harganya beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pengunjung bisa membawa pulang dengan membelinya untuk koleksi di rumah atau kantor.

Ukiran kayu, anyaman, dan tarian adalah kekayaan karya seni yang dimiliki Kamoro, salah satu dari 255 suku di Papua. Suku ini tinggal di pesisir selatan, Timika, Papua. Keahlian yang dimiliki Suku Kamoro mencerminkan kearifan lokal. Semuanya didapatkan secara turun menurun.

Ukiran SUku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran SUku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Bukan Sekadar Mengukir dan Menganyam

Menurut seniman ukir kayu Kamoro Hendrikus Wiriyu, dalam satu ukiran kayu, setiap alurnya penuh arti.

Maknanya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kamoro, seperti kali, awan putih, ada awan hitam, kolam, mata kail, sagu, ikan. Semua dituangkan dalam ukiran. Setiap patung menggambarkan kehidupan Suku Kamoro.

"Bentuk ukiran itu ada berbagai macam," kata Hendrikus yang biasa disapa Hengky, dalam Dialog Seni #Kamoro Art Expo & Sale, bertema Pemuda dalam Gerakan Pelestarian Budaya pada Kamis 28 Oktober 2021.

Mama Salonina sedang menganyam (dokumentasi pribadi)
Mama Salonina sedang menganyam (dokumentasi pribadi)
Dialog seni menghadirkan juga Billy Iwan E Tokuro (Founder Pace Kreatif), Marthen Sattu Sambo (Educational Team Leader Yayasan Wahana Visi Indonesia), Hanna Keraf (Co-Founder dan Chief of Community Development & Partnership Du Anyam), dengan moderator Ludia Amaye Maryen.

Hengky menjelaskan beberapa bentuk ukiran Kamoro, yakni Yamate (seperti papan perisai), pekoro (piring makan kayu), mamokoro, wemawe (kayu utuh dibentuk seperti manusia berdiri).

Pada ukiran buaya yang ditampilkan misalnya, ada garis zig-zag sebagai gambaran kali atau sungai. Untuk ukiran kayu yang dipamerkan tidak memerlukan ritual adat.

Kekhususan hanya pada patung mbitoro yang dianggap paling sakral, sehingga melalui ritual mulai dari proses ambil, masuk kampung, sampai penancapan.

Hasil anyaman para mama Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Hasil anyaman para mama Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Dalam suku Kamoro, yang berhak mengukir adalah garis keturunan atau maramowe. Jika tidak punya garis keturunan tidak punya hak untuk mengukir. Setiap ukiran punya hak-hak, punya marga-marga tertentu.

Keahlian ini hanya diturunkan kepada anak laki-laki secara generasi ke generasi. Perempuan tidak boleh.

Alasannya, perempuan nantinya akan menikah dan akan masuk jadi marga lain. Sebagai gantinya, perempuan fokus menganyam.

Suku Kamoro sangat menjaga kekhasan ukirannya dan menjamin hak cipta hanya ada pada orang yang mengukir. Setiap produk yang dibuat tidak akan sama satu dengan yang lainnya.

Motif Kamoro juga berbeda dengan motif suku di Papua lainnya, seperti Nabire, Jayapura, dan lainnya.

Sehingga, akan ketahuan keaslian ukiran khas Kamoro. Suku lain tidak akan bisa mengklaim karena bertentangan dengan adat.

Hengky misalnya, marganya di Kamoro punya hak cipta ukiran buaya. Maka keturunannya mengukir motif buaya saja.

Tidak bisa mengambil motif ikan karena ada yang mengerjakannya. Hak cipta seperti ini sudah ada dari dulu.

Ukiran berbentuk biaya (dokumentasi pribadi)
Ukiran berbentuk biaya (dokumentasi pribadi)
Melestarikan Tradisi Ukiran

Namun, melestarikan tradisi khas suatu suku menghadapi tantangan. Itu juga dialami Kamoro.

Supaya ukiran khas yang dipelajari otodidak ini tetap terjaga, Hengky langsung mengambil ukiran dari masyarakat.

"Kami bawa dari kampung ke kampung, singgah dari kampung sebelah ke kampung sebelah. Ambil ukiran, lalu dibawa ke galeri. Lalu kami bawa keluar Papua untuk menjual hasil karya masyarakat," tuturnya.

Ukiran kayu Kamoro yang masih di kampung masih kental dan masih ikut tradisi. Cuma, buat yang tinggal di Timika memudar.

"Kami yang tinggal di kota Timika ini, ada banyak sekitar 80% sudah ada yang lupa dengan tradisi. Kebanyakan masuk ke reggae, hiphop. Akhirnya tradisi sebagai anak Papua, khususnya Kamoro jadi terganggu," tukas Hengky.

Ukiran suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran suku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Keterampilan mengukir khas Kamoro sempat di ambang kepunahan. Padahal, karya ukir Kamoro tak kalah apiknya dengan hasil karya Suku Asmat yang dikenal lebih dulu oleh banyak orang.

Semangat mengembangkan budaya dan melestarikan keahlian bangkit setelah hadirnya pria asal Hungaria bernama Kal Muller pada tahun 1994 untuk membina Suku Kamoro.

Sejak saat itu, ukiran khas Kamoro lebih dikenal, bahkan menjangkau luar negeri. Upaya ini didukung PT Freeport Indonesia yang menggandeng Kal sebagai konsultan.

Pembinaan kemudian dilanjutkan oleh Luluk Intarti, yang kemudian menjadi Founder Yayasan
Maramowe Weiku Komorowe. Yayasan inilah yang menaungi para pengukir Kamoro.

Beragam Upaya Pelestarian

Beragam upaya pameran sudah sering dilakukan untuk memperkenalkan ukiran dan anyaman Kamoro, yakni Jakarta, Bandung, Bali, bahkan sampai ke Swiss. Tak hanya itu, saat pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua tahun 2021, tarian dan ukiran Kamoro juga hadir.

Peran serta pemuda dalam melestarikan budaya dan seni sangat penting. "Tugas kami anak-anak muda harus menjaga tradisi ukir ini," kata Hengky.

Salah satu bentuk ukiran Kamoro (dokumentasi pribadi)
Salah satu bentuk ukiran Kamoro (dokumentasi pribadi)

Upaya melestarikan budaya dan seni tanah Papua juga ditunjukkan oleh Billy Iwan E Tokuro melalui akun media sosial @pacekreatif yang digagasnya.

Melalui konten kreatif, Billy menampilkan keelokan Papua.

Menurut Billy, apa yang ada di masyarakat ditampilkannya dalam bentuk visual foto dan video. 

Dia menganjurkan anak-anak kampung membuat akun media sosial dan mengunggah kekhasan, keindahan ataupun yang sedang terjadi.

Platform media sosial digunakan untuk mempromosikan kearifan lokal Papua untuk menarik minat anak muda, yang saat ini lebih aktif di IG, Youtube, Tiktok dan Instagram.

"Dari situ, berharap masyarakat akan dikunjungi dan uang bisa sampai ke kampung tanpa harus ke kota. Tidak perlu takut tidak sekolah, cuma SD. Apa yang sediakan alam, apa yang kita punya kearifan lokal itu bernilai," tutur Billy.

Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Billy merindukan pendampingan pada anak-anak Papua secara berkelanjutan.

Memperkenalkan Papua, menurutnya akan lebih pas jika dilakukan oleh orang asli Papua. Banyak orang luar memperkenalkan Papua, tapi seringkali tidak tepat.

Melestarikan budaya Papua melalui keahlian menganyam juga dilakukan oleh Du Anyam. Menurut Hanna Keraf (Co-Founder dan Chief of Community Development & Partnership Du Anyam), Du Anyam memastikan dampak positif dirasakan langsung oleh para pengrajin, khususnya Nabire.

Fokus utamanya adalah bagaimana perempuan bisa memiliki Akses terhadap uang tunai dengan kearifan lokal yang sudah dipunya dengan bahan baku yang tersedia di lokal.

Tak mudah karena Hanna menyadari para pengrajin yang menganyam sudah berusia di atas 40 tahun.

Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Alasan tidak ada pengrajin yang lebih muda adalah masuknya informasi tren dan bukan sesuatu yang trendi, menganyam itu tidak keren.

Masuknya budaya-budaya dari luar yang membuat anak muda malu pegang tali noken. "Mereka bilang, nenek punya barang, bukan saya punya barang, ini mama yang urus bukan saya yang urus," kata Hanna.

Karenanya, menurut Hanna, suatu kerajinan akan lestari jika mempunyai nilai ekonomi, mendatangkan keuntungan. 

Karenanya, berkolaborasi dengan brand besar di Jakarta, menampilkan dalam bentuk foto dan video hasil anyaman digunakan orang lain dan terlihat trendi, membuat nona-nona muda tertarik.

Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)
Ukiran Suku Kamoro (dokumentasi pribadi)

Melestarikan budaya dan seni Papua pun tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan. Seperti mata koin.

Melalui Pakima Hani Hano, bahasa dari area pegunungan tengah Papua, pendidikan Papua terus dikembangkan.

"Pendidikan merupakan intervensi yang paling dasar bagi anak-anak untuk berkembang semaksimal mungkin, untuk pertama mengenal dirinya dengan kekhasan budaya masing-masing," ujar Marthen Sattu Sambo (Educational Team Leader Yayasan Wahana Visi Indonesia).

Melestarikan budaya dan seni daerah, termasuk suku Kamoro merupakan tugas dan tanggung jawab para pemuda yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Apapun bentuknya. Jika bukan sekarang, kapan lagi. Jika bukan pemuda, siapa lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun