Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Gila Bersih hingga Mabuk Nge-Zoom, Rasanya Aku, Kamu dan Indonesia Butuh Ketawa

26 Desember 2020   23:48 Diperbarui: 26 Desember 2020   23:50 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandemi datang, mendadak rajin berjemur dan olarga (dok.windhu)

Arghh... Ampun deh, susah amat sih. Padahal cuma pencat pencet angka di mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Angka yang kepencet sering salah. Ribet! 

Pff, akhirnya bisa juga. Uang sudah bisa ketarik. Lega. Ternyata nggak gampang pakai sarung tangan plastik buat ambil uang di mesin ATM. 

Sejak corona datang Maret 2020 tanpa permisi, nggak bisa bohong rasanya  kalau hati agak cemas. Apalagi, tinggal dengan orang tua yang sudah lansia. Bisa bahaya kalau tetiba ada virus yang bisa mengoyak paru-paru itu bertamu.

Makanya, demi kepentingan bersama, saat keluar rumah pun jadi lebih ekstra jaga kesehatan diri. Yups, sampai hapal lagunya almarhum Didi Kempot yang keluar jelang musim mudik yang judulnya Ojo Mudik. Jaga Jarak, Cuci Tangan, Pakai Masker. Plus, aja lali, nyenyuwuna sing banter ! 

Hahaha begitulah. Awal corona datang, semua was-was. Termasuk aku tentunya. Sarung tangan plastik pun digunakan, selain pakai masker dan baju serba tertutup. Lengan panjang dan celana panjang . Nggak ada lagi yang namanya salaman. Apalagi cipika cipiki saat bertemu orang yang dikenal. 

 Kenapa sarung  tangan plastik? Ya jelas lebih murah pertimbangannya ketimbang  sarung tangan kain atau lainnya. Cuma..., ya itu repotnya ampun deh. Ngambil uang di ATM jadi agak sulit. Meski perlahan tapi pasti belanja online jumlahnya meningkat, tetap butuh yang namanya uaawang tunai untuk belanja keseharian. Ya, iyalah.Masa' ke tukang sayur dorong pakai scan kode atau pin. Eh ada sih di pasar sekarang, tapi rata-rata tukang sayur di dekat rumahku belum. 

Masker sudah tentu wajib digunakan. Agak engap awalnya tapi kemudian terbiasa.. Wajarlah seperti lagu, dari aku tak biasa menjadi  akupun biasa. Nggak mau bandel karena demi kesehatan. Sesekali lupa pakai masker kalau pergi dalam jarak dekat tapi segera balilk kanan pulangke rumah. Ingat pepatah lah, Kalau Bukan Kita Siapa Lagi? Ehem, selain didorong kesadaran,  takut juga sih kalau ditangkap petugas dan didenda. 

Sayang-sayang uang, meski kemudian ancaman itu lebih banyak direalisasikan dengan disuruh menyapu, misalnya. Kok tahu? Tahulah, soalnya ada gadis tetangga yang disuruh menyapu halaman pasar gara-gara nggak pakai masker. Nah karena uang yang dibawa nggak cukup buat bayar denda, hukuman menyapu kemudian jadi solusi.

Memang butuh kesadaran  untuk pembiasaan akibat sebuah wabah rak diundang dan tak dinginkan. . Makanya, di berbagai media banyak informasi mengenai pandemi covid-19. Termasuk info hoaks beredar, sehingga harus pilah pilih info dari sumber dan informasi yang terpercaya. Soalnya, selain jaga imun lewat pola kebersihan, makan sehat olahraga,  dan banyak beli vitamin serta susu, harus kuat mental juga.

Iya, betul. Terutama sih dari media sosial. Lewat whatsapp, anggota beberapa grup tiap hari selalu ada saja yang mengabarkan tentang corona. Ada tetangga, teman, atau kerabat yang positif covid-19.

 Sementara, lewat pemberitaan media atau informasi BNPB, selalu saja ada kasus bertambah, termasuk yang meninggal dunia. Bahkan para petugas medis pun juga jadi korban. Bikin berdebar jantung, kan?

Jadi, berpakaian serba tertutup jadi trend. Setelah keluar rumah, pakaian biasanya aku jemur dulu. Mandi dan segera mandi.

 Cuci tangan sering-sering. Pakai hand sanitizer di tempat umum. Berlebihan? Nggak juga. Banyak lho yang lebih mau berepot ria. 

Saat belanja dalam supermarket, wuih aku lihat ada yang pakai jas hujan tertutup, selain masker,  face shield dan topi.  Indonesia butuh ketawa akun facebook aku, juga berseliweran timeline orang yang pakai baju ekstra saat ke luar rumah.

Selain mendadak doyan berjemur di matahari pagi, demam bersepeda pun muncul. Nggak lupa juga buat sesekali minum jamu biar terhindar segala virus. Empon-empon jadi idola.Celakanya aih, mbok jamu tiap hari datang terus menawarkan. Sampai rasanya nggak karuan minum jamu dan akhirnya membatasi dengan alasan kesehatan.  

Minum jamu jadi idola demi jaga kesehatan. (dok.windhu)
Minum jamu jadi idola demi jaga kesehatan. (dok.windhu)
Untungnya sih, di masa pandemi aku punya lebih banyak ekstra waktu. Ya, ekstra banget. Aktivitas yang lebih banyak di rumah membuat bisa lebih banyak aktivitas online. Dari ikut seminar-seminar online, jalan-jalan virtual, cari resep masak lewat youtube but praktik, juga belajar menanam tumbuhan  lewat grup bercocok tanam. Oh ya satu lagi, ikut grup meditasi yang rutin tiap hari mengajak anggotanya bermeditasi pada jam tertentu yang ditentukan. Supaya tenang jiwa, tujuanya. 

Lumayanlah, dari yang semua kupikir dunia seakan hampa dan membosankan karena pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena nggak bisa hang out atau jalan-jalan kesana kemari kemanapun suka, cukup terobati  Justru sagat menarik. Banyak  instiusi swasta dan kementerian membuat seminar online. Wisata virtual pnn menyenangkan untuk tombo ati.

Semangat untuk menimba ilmu baru dan belajar ini itu membara. Apalagi, banyak yang menawarkan sertifikat gratis asal ikut sampai tuntas. Bahkan bisa dapat doorprize atau hadiah jika bisa menjawab pertanyaan. Awalnya senang bukan main. Raaa-rata pakai aplikasi zoom meeting meski ada juga aplikasi  yang lain. 

Sayangnya, perlahan tapi pasti capek mulai melanda.Apalagi pernah beberapa kali tersadar ada beberapa seminar online yang waktunya bersamaan karena terlalu semangat mendaftar ini dan itu. Tidak mengecek dulu dengan seksama. Kalau dihitung, sudah cukup banyak juga sertifikat online yang saya punya meski nggak tahu buat apa. 

"Buat nambah serifikat, lah. Minimal buat pajang di medsos," kata salah seorang temanku, yang agaknya juga keranjingan kegiatan online di masa pandemi. teman saya ini memang rajin posting sertifikat kegiatan yang diikutinya. Bahkan, sekali posting ada beberapa sertifikat. Ah luar biasa kebiasaan baru yang mendadak muncul. Niat awalnya supaya punya keahlian baru supaya usai pandemi lebih mumpuni.

Namun sebenarnya, di akhir tahun 2020 ini mendadak aku juga ingin menertawai diri  sendiri. Banyak hal-hal tak terduga, seperti datangnya virus corona yang tamasya keliling dunia. Muncul was-was ini dan itu. Takut saat dicek suhu, tes rapid atau swab memberikan kejutan yang tak dinginkan. 

Padahal, rileks. Tarik napas dan hembuskan. Selain mematuhi protokol kesehatan, berpasrah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa adalah utama. Dari  mendadak gila bersih dan mabuk nge-zoom, sepertinnya aku, kamu dan Indonesia butuh ketawa. Ya, ketawa yang lebar. Imun dan Iman harus berjalan seiringan. 

Aku butuh ketawa. Kamu butuh ketawa. Indonesia butuh ketawa. Kendorkan ketegangan. Hahaha, tertawa yang lepas. Senyum yang lebar. Mash banyak tontonan unik yang munculdi layar kaca bisa mengundang tawa. Sesekali karaoeke saja dengan modal televisi ataupun smule. Jangan tegang-tegang. 

Ini sudah akhir tahun. Sudah terbiasa toh, dengan keadaan seperti ini. Semoga tahun depan keadaan jauh lebih baik Beradaptasi dan terus memperbaiki yang dianggap ambyar pada tahun berangka cantik ini. Aku mau ketawa dulu. Indonesia butuh ketawa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun