SUASANA  sebuah pusat  perbelanjaan yang ada di Jakarta Selatan, semakin lama semakin ramai pengunjung. Sore itu, saya janjian bertemu dengan salah seorang teman lama. Ah kangen sekali, akhirnya kesampaian juga secara nyata. Biasanya kami hanya berkabar lewat telepon, whatsapp, atau sekedar saling memantau perkembangan melalui media sosial.
Wajah kami sama-sama ceria. Berkeliling melihat toko-toko yang ada di pusat perbelanjaan memang selalu menyenangkan buat perempuan. Ada saja yang bisa dilihat meski tak selalu dibeli.
Lama kelamaan, perut kami mulai merasa keroncongan. Lapar. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk menepi ke food court untuk mengisi perut. Tentu saja, alasannya lebih banyak  aneka makanan yang bisa kami temukan. Tentunya harganya juga masih terjangkau oleh kantong dan soal kualitas rasa cukup enak.
Keputusan yang tepat. Kami tinggal memilih salah satu resto/kedai yang akan menyediakan menu santap makan malam kami. Saya menuju ke salah satu tempat untuk memesan sepiring nasi ayam dan sambal.
Namun, teman saya terdiam dulu sebelum akhirnya berkata,"Win, mumpung disni, saya mau pesan yang lain. Boleh saya pesan makanan non halal?"
Tak menunggu lama. Setelah sama-sama berdoa dengan ajaran agama masing-masing , kami pun mulai menyantap makanan yang ada. Kami berdua adalah sobat lama yang berbeda agama. Belasan tahun berteman akrab, kami saling menghargai satu sama lain. Seperti halnya menyangkut makanan halal dan non halal.
Teman saya akan selalu mengingatkan jika makanan yang saya pilih tidak memenuhi unsur halal bagi seorang muslim. Saya pun tak mempermasalahkan bila teman saya sedang menginginkan menyantap makanan non halal karena dia non muslim.Seperti halnya malam itu.
Untunglah di food courtpusat perbelanjaan tempat kami bertemu ada kedai-kedai  yang menyajikan makanan halal dan non halal. Jadi, tidak sulit bagi kami untuk tetap bisa kenyang tapi sama-sama bisa menikmati makanan yang diinginkannya.
Ya, saya tak khawatir dengan menu halal yang saya pilih dan saya santap malam itu karena di kedainya memperlihatkan tanda halal. Teman saya pun memilih kedai yang berbeda, yang menyajikan makanan non halal sesuai dengan keinginannya.
Buat saya seorang muslim, menjaga kehalalan segala asupan yang masuk ke dalam tubuh  adalah keharusan. Tidak bisa ditawar lagi karena memang begitulah yang sudah ditentukan dalam agama yang dianut.Â
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terbaik di bumi." (QS al-Baqarah [2]: 168).
Halal merupakan segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk dikonsumsi. Terutama yang berkaitan dengan  makanan dan minuman. Halal itu sesuatu yang baik dari apa yang terbaik di muka bumi. Halal disini diartikan halal secara zat, sesuai dengan ketentuan Al-Quran dan Hadis. Halal cara memperolehnya. Halal dalam cara pengolahannya.
Semua hal ini saya perhatikan betul-betul agar saya tidak menyantap makanan dan minuman, ataupun menggunakan produk yang dianggap tidak halal. Ya, halal itu ternyata  tidak terbatas hanya makanan dan minuman. Produk kosmetika pun harus memenuhi unsur halal, seperti misalnya tidak mengandung alkohol.
Biasanya, yang saya lakukan untuk memastikan yang saya konsumsi dan saya gunakan sudah halal atau belum, saya melihat pada kemasan. Saya mencari logo tulisan halal yang ada di kemasan produk.
Bila saya tidak menemukannya, otomatis secara spontan saya menaruhnya kembali di rak tempat produk diletakkan. Untuk kosmetik, obat-obatan, Â dan barang impor pun saya biasanya begitu. Itu kalau produk kemasan.
Untuk produk minuman dan makanan hidangan yang siap disantap, saya mencari kios, restoran, atau kedai yang biasanya ada tulisan kata halal atau memperlihatkan sertifikat halal di tempat usahanya.
Saya tidak ingin salah menyantap makanan sehingga saya merasa berdosa dan merasa bersalah berkepanjangan. Â Pernah menonton film Rudy Habibie? Saya yakin semua umat muslim pun akan melakukan hal yang sama.
Di film itu, Rudi yang sedang mencari kost untuk tempat tinggal selama kuliah di Jerman, membeli sebuah hotdog. Â Rudi yang saat itu ditemani seorang pastur, saat dikatakan makanan yang disantapnya non halal, langsung mengeluarkannya dari mulut. Ya, Rudi adalah muslim yang taat. Pantang baginya untuk memakan yang tidak halal.
Bila makanan yang dijual mengandung unsur non halal, saya pasti tidak jadi beli. Saya lebih suka menghindari resto yang menyajikan hidangan halal dan non halal sekaligus karena saya tidak yakin jika bahan dan perkakas yang digunakan tidak tercampur. Wajar, saya memilih yang aman saja agar saya merasa nyaman. Â Â
Apakah produk halal hanya untuk umat muslim? Buat muslim, sudah pasti makanan, minuman, dan produk kosmetik yang halal adalah keharusan. Apalagi, buat Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia.
Namun, jaminan produk halal sebenarnya bukan kebutuhan muslim saja, tetapi kebutuhan seluruh golongan umat agama yang ada di Indonesia. Pemerintah di bawah Undang-undang  Republik Indonesia dalam 68 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang  Jaminan Produk Halal (UU JPH) bertanggung jawab menjamin produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Â
Dr. HM. Asrorun Niam Sholeh, MA, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam paparan bertema Sertifikasi Produk Halal, Jaminan Hidup Aman dan Nyaman untuk Seluruh Umat di Tjikini Lima mengatakan, dengan bersertifikat halal, produk yang dihasilkan sudah memiliki label halal.
Ini berarti produk tersebut bukan hanya secara zatnya saja yang halal, tapi juga halal cara mendapatkannya dan cara pengolahan. Proses produksi yang dilakukan pastinya sudah memenuhi unsur aman, bersih, dan ketepatan produksinya.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 11 Oktober 2017.  Bila diperlukan, BPJPH dapat dibentuk perwakilan di daerah. Selama  ini, proses penyelenggaraan jaminan produk halal dan sertifikasinya dilakukan oleh MUI melalui LPPOM-MUI, yang dibentuk 6 Januari 1989.
Sebagai pengingat, LPPOM MUI saat tahun 1989, diminta meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988 yang merupakan tragedi nasional yang mengguncang ketenangan batin umat Islam, mengguncang dunia industri pangan, serta mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional.
Isu ini membuat masyarakat panik, termasuk para produsen. Penjualan pun anjlok hingga 80 persen. PT Food Specialities Indonesia (FSI), produsen susu Dancow bahkan harus merogok kocek ratusan juta rupiah untuk klarifikasi melalui iklan.
Kehadiran BPJPH diharapkan mampu membawa perubahan besar dalam pengembangan industri halal. Memang selama 28 tahun, label dan sertifikasi halal dikeluarkan LPPOM-MUI, yang pada tahun 1999, Â juga mempelopori berdirinya World Halal Council (WHC) yang dijadikan sebagai wadah bernaungnya lembaga-lembaga sertifikasi halal dunia.
 Meski ada BPJPH, MUI tetap memiliki peran strategis dan penting dalam sertifikasi halal. Ada 3 kewenangan utama MUI, yakni penetapan halal, justifikasi para auditor Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan akreditasi LPH. Ke depannya, LPH bisa terbuka dilakukan oleh perguruan tinggi dan ormas.
MUI menjadi lembaga yang berwenang memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk, yang kemudian disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan sertifikat halal.
Prof. Sukoso, Kepala Badan Penyelengara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama (Kemenag) mengungkapkan tren masyarakat dunia tentang produk halal.
Disebutkan, Dr. Aracha Gonzalez, Direktur Eksekutif International Trade Center menyampaikan tren masyarakat dunia tentang halal. Menurut Aracha, muslim adalah segmen konsumen dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Setiap perusahaan  yang tidak mempertimbangkan bagaimana melayani mereka (muslim), akan kehilangan kesempatan yang signifikan dari hulu hingga ke hilir.
Isu halal kini telah menjadi perhatian dunia. Bahkan telah menjadi tren. Potensinya industri halal  sangat besar. Adanya label halal pada produsen justru akan memberikan keuntungan dan nilai tambah. Konsumen merasa aman dan nyaman dengan barang yang dikonsumsi dan digunakan.
Menurut Global Islamic Economy Indicator 2017, seperti dikutip dari situs Kemenag, Indonesia masuk 10 besar negara konsumen industri halal terbesar dunia. Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan masyarakat belanja makanan halal. Di sektor pariwisata halal, Indonesia menempati urutan ke-5 dunia. Sementara untuk obat-obatan dan kosmetika halal dan keuangan syariah, Indonesia menempati peringkat ke-6 dan 10 dunia.
Dengan kehadiran BPJPH, kini pengajuan sertifikasi bisa dilakukan dengan registrasi online. Waktu  penerbitan sertifikasi dan label halal pun lebih singkat, memakan waktu 40 -- 45 hari. Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.
Saya memandang produk kemasan tisu yang ada di samping saya. Saya perhatikan ada label halal dan logo MUI. Begitu juga dengan makanan ringan yang sering saya makan. Saat ini juga sudah ada label halal di kosmetik. Saya tidak khawatir mengenai halal atau tidak halal. Â Pastinya produsen yang telah memiliki sertifikat halal lebih untung karena produknya lebih dicari. Saya pun merasa aman dan nyaman untuk mengonsumsinya. Kalian pasti juga, kan?
Sumber :Â
- Materi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kemenag RI
- Prof Dr Hj Aisjah Girindra: Sertifikasi Halal Dongkrak Omzet
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H