Kehadiran teknologi digital  telah mendisrupsi  perusahaan dan industri  konvensional yang telah lama eksis. Di sisi lain, hal ini telah memunculkan banyak start up (perusahaan rintisan) digital yang bergerak di berbagai bidang layanan.
Salah satunya layanan teknologi finansial atau financial technology (fintech). Dengan mayoritas penggeraknya yang merupakan generasi muda milenial, start up digital berpotensi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam buku Digital Vortexyang ditulis oleh pakar IMD, salah satu sekolah bisnis terbaik dunia, disrupsi digital digambarkan mengancam  perusahaan yang tidak siap. Vortex yang diartikan sebagai pusaran bertenaga hebat, akan menyedot perusahaan tak siap dan melumatnya hancur, sehingga terbentuklah suatu model bisnis baru yang berbeda dengan yang awal.
Menyentuh Langsung Konsumen
Disrupsi digital, menjadi pembuka forum Kafe BCA VII, yang disampaikan moderator  Yuswohadi. Talkshow  dengan suasana ala kafe itu, diadakan di Breakout Area, Menara BCA Lantai 22, Jl. MH Thamrin no.1 Jakarta, Rabu 13 September  2017.
Selain menghadirkan  Direktur BCA Henry Koenaifi, Pengamat Ekonomi Faisal Basri, Senior Executive Vice President of Strategic Information Technology BCA Hermawan Thendean, juga menghadirkan pelaku Start Up Indra Wiralaksmana (Country Head & Director Ninja Xpress), dan Rama Mamuaya (Founder & CEO DailySocial.id).
Dari jumlah itu, Bank Indonesia menegaskan,  para pengguna jasa perdagangan daring atau e-commerce telah membelanjakan 5,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp75 triliun selama tahun 2016. Jika dibagi per individu,  pengguna e-commerce  di Indonesia rata-rata membelanjakan uang Rp3 juta per tahun.
Rama Mamuaya (Founder & CEO DailySocial.id) mengatakan, potensi start up memang luar biasa besarnya meski juga luar biasa mematikan di sisi yang sama. Walaupun dalam 3 tahun pertama sebanyak 95 % start up dinyatakan gagal, sektor ini tetap kencang.
Penggeraknya, Â kata Rama, bahkan lebih apresiatif untuk membuat yang baru. Revolusi smartphone terkoneksi internet yang saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup keseharian.
Minimal, masyarakat memanfaatkan start up transportasi online dengan pembayaran online. Menggunakan e-commerce untuk melakukan transaksi penjualan atau pembelian.
Pelaku Start Up Indra Wiralaksmana (Country Head & Director Ninja Xpress) mengatakan, start up memang memiliki keuntungan dibandingkan dengan  perusahaan besar. Lebih tahu yang diinginkan oleh pelanggan  karena bertemu langsung.Â
Sebagai start up yang bergerak di jasa kurir, Ninja Xpress melihat peluang digital yang belum diambil oleh jasa kurir konvensional. Bisnisnya mempermudah orang yang memerlukan jasa pengiriman barang. Bila semula orang harus mendatangi tempat untuk mengirim sesuatu, saat ini justru dilakukan penjemputan barang yang akan dikirim.
Dalam menjalankan usaha, start up bidang logistik ini bekerja sama dengan start up layanan teknologi keuangan T-Cash Telkomsel. Satu hal yang masih dihadapi start-upnya  saat ini menurut Indra, terkait dengan metode pembayaran COD (cash on delivery) yang masih mencapai 30-40 %.
Senior Executive Vice President of Strategic Information Technology BCA Hermawan Thendean menyatakan saat ini masyarakat indonesia sedang menikmati online experience. Mulai dari makanan, tiket pada kelompok usia 15-50 tahun. Digital dan smartphone sudah menjadi lifestyle.
Hermawan mengakui, financial technology (fintech) atau layanan keuangan berbasis teknologi mengisi celah yang tidak bisa diisi oleh perbankan. Layanan perbankan saat ini masih dianggap kurang kendati sudah ada internet banking dan mobile banking.
Fasilitas yang disediakan bank ini, dianggap menurut persepsinya orang bank. Jadi, belum tentu itu yang diharapkan yang sesuai dengan anak-anak muda sekarang.
"Mereka menginginkan sesuatu yang lain, yang sesuai high ability, user experience. Apalagi kalau sudah internet banking harus ada user, pin, pasword lebih mudah dll, milenial nggak mau," tukas Hermawan.
Hermawan mengatakan, bank memiliki kekurangan tidak mampu memberikan produk/layanan yang mirip seperti fintech.  Di sisi lain, fintech tahu persis yang diinginkan oleh customer dan  tidak bisa dipenuhi bank. Fintech masuk dengan fitur yang lebih bagus dan menarik. Biaya yang lebih murah. Bahkan ada yang gratis.
Bank tahu harus mengisi tetapi mengalami kesulitan. Bukannya tidak mau, tapi bank sebagai perusahaan harus mengikuti regulasi. Berbeda dengan fintech yang tanpa regulasi. Tidak ada suatu hambatan dan aturan yang harus diikuti.
Fintech bisa dengan mudah dan fleksibel membentuk  suatu produk atau  fitur untuk diluncurkan. Syukur kalau bagus. Kalau tidak, ya sudah.Hari ini jelek/kurang bagus, minggu depan atau bulan depan start up bisa langsung ganti.
Bank, kalau mau ganti fitur harus ada uji kelayakan dulu, mempertimbangkan faktor keamanan, risiko, dan  izin yang harus dikantongi.  Semua ini merupakan kelemahan bank, namun menjadi kelebihan fintech.
Kalapun di fintech ada layanan hampir mirip seperti itu, kata Hermawan, pasti di belakangnya ada suatu bank. Bukan fintech sendiri yang melakukannya. Â Kelebihan lainnya, bank memiliki keunggulan modal yang lebih besar dengan nasabah yang sudah ada. Uangnya ada, brandnya ada, fisik gedungnya ada. Bank sudah punya pengalaman dalam hal prosedur, sistem keamanan, meningkatkan skalabiliti sistem, integriti sistemnya.
Fintech dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, ekonomi digital merupakan peluang mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang saat ini melambat. Terlihat lesu darah dan kurang energi.
Faisal menyoroti financial Inclusion Index Indonesia, berdasarkan data World Bank yang hanya berada pada angka 36,1. Masih tertinggal dengan negara-negara lain, bahkan dengan Singapura dan Malaysia. Hal ini menunjukkan hanya 36,1 % penduduk usia dewasa di Indonesia yang terhubung ke Bank.
Derajat keterbukaan (degree of openness) perekonomian Indonesia turun terus selama 16 tahun terakhir. Padahal seluruh negara, menunjukkan perekonomiannya semakin terbuka dengan ekspor dan impor. Produk yang diekspor Indonesia saat ini semakin kecil.
Nah yang bisa membuka kotak pandora itu, lanjut Faisal,  adalah fintech.  Dunia fintech merupakan dunia baru yang sekarang terbuka. Ekonomi digital yang bisa melakukan perubahan  yang mengakselerasi karena posisi Indonesia masih tertinggal .
Ditambahkan Faisal, peranan informasi dan komunikasi, infrastruktur dan teknologi ICT (information and communication technology)sangat penting. Saat ini, Indonesia posisinya terendah di ASEAN. Berada pada urutan ke-19 dari 34 negara Asia Pasifik pada tahun 2016.
Namun, lanjut Faisal, tetap ada harapan untuk berkembang dan menggerakkan perekonomian yang inklusif. E-commerce yang tumbuh pesat saat ini masih basis rendah 1,2 %, yang bisa dikembangkan.
Selain itu, Indonesia memiliki potensi mayoritas penduduk Indonesia berusia muda, pertumbuhan strata menengah yang sangat pesat, penduduk semakin bergeser ke kota, dependency ratio yang terus turun lantaran demographic bonus, basisnya pun masih sangat rendah.
Direktur PT Bank Central Asia Tbk Henry Koenaifi Direktur BCA  mengungkapkan BCA mencermati  usaha rintisan yang berkembang sangat pesat. Setiap orang bisa saja menjadi pelaku usaha rintisan berbasis digital, dengan mengandalkan kemudahan dan kemutakhiran perkembangan teknologi saat ini, namun inovasi dan kreativitas yang utama.
Mengenai  kehadiran fintech, BCA memilih untuk berkolaborasi. Dari sisi perbankan, BCA  melakukan berbagai inovasi dalam rangka meluncurkan berbagai solusi dan layanan perbankan berbasis digital yang memberikan kemudahan pelayanan dan transaksi kepada nasabah.
BCA telah meluncurkan Application Program Interface (API) yang memungkinkan para pelaku fintech ataupun e-commerce dapat terkoneksi dengan layanan perbankan BCA. Terdapat berbagai informasi yang dapat digunakan, seperti: transfer, mutasi rekening, lokasi ATM, pembayaran sakuku, dan API lainnya demi menjawab kebutuhan dunia fintech saat ini.
Dari sisi pembiayaan, BCA juga telah meluncurkan Central Capital Ventura (CCV). Lewat modal ventura tersebut, BCA akan menginvestasikan dana Rp200 miliar untuk para startup fintech yang diharapkan bisa membantu layanan finansial mereka.
IKF VI diselenggarakan pada 3-4 Oktober 2017 di The Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta. Rudiantara* selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia bertindak sebagai keynote speaker.
Selama dua hari, sebanyak 23 pembicara yang kompeten di bidangnya baik dari dalam maupun luar negeri, akan berbagi ilmu, pengalaman serta inspirasi dalam mengembangkan dunia bisnis berbasis digital, di antaranya Pengamat Ekonomi Faisal Basri, CEO PT McKinsey Indonesia Philia Wibowo*, Celebrity Investor Ashraf Sinclair, Founder and Managing of Kejora Group Sebastian Togelang serta Menteri Kelautan & Perikanan Susi Pudjiastuti* yang akan memberikan inspiring closing speech bertajuk "Leveraging Information and Technology for Sustainable Fisheries Management".
******
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI