Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kenangan Itu Ada di Yogya

10 Mei 2017   00:32 Diperbarui: 10 Mei 2017   16:13 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Di persimpangan langkahku terhenti

Ramai kaki lima

Menjajakan sajian khas berselera

Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi

-Yogyakarta, Kla Project-

Seperti halnya lagu lawas Kla Project yang masih tetap pas merdu mengalun hingga kini, kota Yogyakarta memang selalu menggugah rasa untuk ingin kembali singgah. Lagi, lagi, dan lagi. Banyak kenangan terselip, tentang orang-orangnya, tentang pertemanan, tentang kekeluargaan, tentang makanan, tentang seni dan budaya, tentang batik, dan tentunya tentang kota itu sendiri.

Tentang Yogya?  Ya, pernah tinggal selama beberapa waktu tak akan mampu menghapus ingatan-ingatan akan kota yang sudah berusia 260 tahun. Suasananya yang melenakan dan bergerak perlahan menemani hari-hari yang berlalu.

Kapan terakhir ke Yogya?  Sudah cukup lama rupanya. Akhir tahun 2014, ketika kantor tempat saya bekerja dulu, mengadakan sebuah event berskala Internasional di sebuah hotel mewah di Yogyakarta. Padahal, itu kantor yang berdomisili Jakarta. 

Hahah, jadi, Yogyakarta memang sebuah kota penting dan istimewa buat banyak orang, kan?

Ah, tapi saya bukan ingin cerita mengenai pekerjaan yang sudah lewat. Ada kenangan lain yang lebih abadi jauh sebelumnya. Kenangan yang kadang teringat begitu saja ketika kami sekeluarga sedang bertemu ataupun berkumpul bersama. Padahal lebih dari lima tahun lalu.

“Ke Yogya, yuk mbak. Ke Malioboro sekitarnya, ” ajak Heni, adik sepupuku tiba-tiba. Saat itu masih suasana lebaran. Pulang kampung ke Purworejo, Jawa Tengah, hanya di rumah saja  membuatnya merasa bosan.

“Masih lebaranan begini?” tanya saya ragu. Libur lebaran pasti sangat ramai. Pastinya banyak juga yang berpikiran serupa untuk jalan-jalan kesana. Tapi, ajakan sepupu itu langsung menggoda.

“Ayolah, kapan lagi kita bisa bareng-bareng. Naik kereta aja. Murah dan dekat. Belum pernah naik prameks nih.”

Ahai, seperti sepupu saya itu, saya pun belum pernah naik kereta Prameks alias Prambanan Ekspres, kereta komuter yang menghubungkan Yogyakarta-Kutoarjo-Solo.   

Karena tinggal di Jakarta, kami lebih terbiasa dan lebih mengenal naik KRL yang melayani Jakarta-Bogor. Baiklah, akhirnya kami delapan perempuan sepupuan dari empat orang tua yang berbeda sudah berada di Stasiun Kutoarjo pagi hari. Tidak ada saudara laki-laki yang ikut. Hahah, siapa yang mau juga kalau kebanyakan perempuan?

Pokoknya, rencananya seharian kami akan bersenang-senang di Yogya. Menyusuri Malioboro dan mampir ke Beringharjo, sekalian untuk membeli oleh-oleh. Perjalanan berangkat dengan Prameks ceria dan penuh canda meski penumpang kereta berjejalan.

Perjalanan ke Yogya yang menyenangkan. Eits, tapi, itu baru awal. Karena ternyata mulai banyak drama yang terjadi setelah kami tiba di Yogyakarta. Setelah melewati beberapa stasiun, kereta Prameks pun tiba di Stasiun Tugu.

Ramai tapi menyenangkan. Kami menyusuri sepanjang jalan legendaris Malioboro. Jalan yang penuh dengan kaki lima dengan dagangannya di sisi-sisi jalan memang menjadi daya tarik tersendiri.

Monumen Yogya, dalam bentuk miniatur di sebuah hotel (dokpri)
Monumen Yogya, dalam bentuk miniatur di sebuah hotel (dokpri)
Tentu saja, melihat-lihat, berhenti, sekaligus menawar berbagai dagangan. Namanya berangkat dengan jumlah orang yang cukup banyak, perempuan semua di sepanjang jalan Malioboro yang menjajakan banyak dagangan, membuat kami sering berhenti.

Sekedar melihat, memegang, mencoba, hingga akhirnya tawar menawar untuk membeli. Ah ya, cukup ribet. Sedikit-sedikit berhenti untuk bisa mendapatkan harga yang murah. Lumayan, biar bisa membawa oleh-oleh ke Jakarta. Keluar masuk toko. Sampai di pasar Beringharjo, kami memilih-milih batik dengan semangat.

Semua baik-baik saja, hingga kami sadar salah salah satu sepupu tidak ada. “Lho, Dinda mana?” pekik kakaknya. Karuan, kami pun sibuk mencari Dinda. Duh, hape bocah itu tampaknya sedang habis batere.

Sempat terhubung, tapi akhirnya mati. Komunikasi terputus. Kami yang sudah berencana akan ke Stasiun Tugu pun akhirnya kembali menyusuri sepanjang  Jalan Malioboro.

Duh, lega akhirnya,setelah mencari-cari akhirnya bocah yang baru saja masuk SMU itu sedang celingak celinguk kebingungan di antara para pedagang Malioboro.Matanya basah dan marah. Untunglah, sudah bertemu.

Tapi ternyata drama belum usai. Kali ini adik saya yang malahan tidak ada. “Mbak Gati nggak ada, mbak.”  Semula kami berpikir untuk menunggunya di Malioboro saja, tapi mengingat hari sudah sore dan adik saya sudah dewasa, saya putuskan untuk menyuruhnya langsung ke Stasiun Tugu.

Kami akan menunggu disana. Tapi, was was kemudian muncul karena dia tak kunjung datang. Ada apakah? Melalui hape, dia ternyata kesasar ke pintu stasun kereta api lainnya. Dengan nada marah, dia merasa sudah lama menunggu tapi tidak melihat kami. Saya baru sadar kalau dia keder, Stasiun kereta api Tugu memiliki dua pintu masuk. Kami berada di pintu Selatan dan dia berada di pintu Utara.

Stasiun Tugu memang memiliki dua pintu masuk dan keluar, yakni pintu utama yang menghadap ke Jalan Margo Utomo (Jalan Pangeran Mangkubumi, termasuk wilayah Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis) dan pintu selatan yang menghadap ke arah Jalan Pasar Kembang (wilayah Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen).

Akhirnya kami dapat berkumpul juga. Pasukan delapan cewek sepupu komplit sudah, setelah adik saya akhirnya memutar ke pintu masuk. Namun, wajahnya merah padam. Sangat marah. “Mbak itu lebih mementingkan sepupu daripada adik sendiri,” tukasnya.

Saya tersentak. Muncul rasa tak terima. Saat adik sepupu terpisah, kami mencarinya. Saat dia tertinggal, saya memintanya untuk langsung saja ke stasiun. “Tapi kamu jauh lebih besar. Malah kamu yang seharusnya ikut bantu menjaga para sepupu di keramaian sempurna,”  jawabku.

Adik saya terdiam. “Saya nggak mau ditinggal. Memang kapan terakhir saya ke Yogya? Mbak selalu pergi sendiri.”

Kali ini saya yang terdiam. Selain kalimat yang mengagetkan, tapi karena para sepupu lain mulai memandangi kami. Stasiun kereta api Tugu yang padat dengan antrian pulang kereta Prameks yang cukup panjang.

Yogyakarta, jalan-jalan dengan para sepupu berbarengan memberi sebuah pelajaran sendiri. Ada rasa mangkel, jengkel, kesal, marah, dan capek saat berjalan. Tapi saat itu, saya juga tersadarkan kalau selama ini saya pun sejak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman. Kalaupun berjalan-jalan ke luar kota pun, biasanya dengan teman.

Ah, Yogyakarta. Kenangan delapan perempuan dari empat orang tua berbeda menyusuri Malioboro bersama terkadang masih muncul menjadi tawa bila teringat saat ini.

Dua orang sepupu yang sempat nyasar di stasiun itu sama-sama anak bungsu. Memang tidak ada kaitannya, tapi itu tetap menjadi candaan, sekaligus menyadarkan kalau seharusnya lebih sering lagi berjalan-jalan bersama.  Ya, kenangan itu ada di Malioboro, Yogya!

Ah, Yogya. Sekarang saya siap kembali mengenangmu di ICD 2017 bersama teman-teman!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun