Eksplorasi kuliner Bogor KPK belum usai. Selesai menyantap hidangan di Keuken Koffie, dengan menggunakan tiga angkot Bogor warna hijau yang disewa, rombongan gerebek KPK melanjutkan petualangan ke kawasan kuliner Suryakencana (Surken), yang melegenda. Kisah sebelumnya dapat dibaca di #KPKTripBogor (1).
“Bisa ditaruh di piring, pak?” Segera, Sabur, lelaki lansia bertubuh kurus itu meracikkan butir-butir jagung bakar, cacahan timun, diberi gula pasir, dan air cuka ke dalam piring. Asinan jagung bakar telah siap disantap.
Segera kami bertiga, saya, ira, dan syifa duduk di bangku kayu panjang untuk mencicipi sepiring asinan jagung bakar berwarna kuah merah cabe. Hanya satu piring? Ya, maksudnya biar bisa saling berbagi juga saat mencicipi makanan lain. Hahaha, tentu saja sekaligus biar kompak!
Pilihan jatuh ke asinan jagung bakar karena dari namanya yang beda. Biasanya, orang lebih mengenal asinan buah yang berisi aneka buah-buahan dan aneka sayuran yang isinya macam-macam sayuran. Sudah pasti, yang namanya asinan jagung bakar isinya, ya jagung bakar pipilan.Saat sesendok asinan jagung bakar masuk ke dalam mulut, rasa kuah manis dan asam berpadu dengan jagung bakar dan cacahan timun yang krenyes-krenyes. Dinikmati perlahan segar terasa perlahan. “Kuahnya pakai cuka dan air panas,” kata Sabur.
Di gerobaknya, Sabur juga menyediakan asinan jagung bakar dalam plastik-plastik yang bisa langsung dibawa para calon pembeli yang tak makan di tempat. Satu porsi harganya Rp.15.000. Bila suka , bisa juga ditambah dengan kerupuk yang harganya terpisah.
Langkah kaki menyusuri jalan Suryakencana yang berlanjut terhenti saat melihat banyak sekali jajaran orang yang mengantri. Soto kuning Pak Yusup, pilihan kuliner Indonesia. Antriannya panjang. Orang-orang duduk hanya di bangku plastik tampak asyik menyantap soto aneka yang berisi jeroan.
Penjualnya sangat sibuk melayani pembeli yang mengantri. Sambil menunggu pesanan datang, saya tersenyum melihat kaus hitam penjualnya yang bertuliskan “Listen I’m Not busy Just Slow”.
Hmm, kuah soto kuning yang disajikan panas memang enak. Gurih. Dagingnya pun empuk dikunyah. Dimakan dengan nasi putih panas, terasa sekali mengenyangkan perut. Pantas saja, semua orang yang menyantap soto kuning pak Yusup begitu lahap.
Di samping, gerobak soto kuning pak Yusup ini, ada gerobak bakso kikil pak Jaka yang nggak kalah ramainya. Bapak satu ini cekatan sekali memotong-motong kikil dan memasukkannya ke mangkok, yang lalu diberinya bakso dan kuah panas. Waduh, terpikat sekali melihat seorang ibu menyeruput bakso kikil dalam keadaan panas.
“Dikocok-kocok muncul busa seperti bir,” kata Eman, yang menggunakan kaus bertuliskan sama dengan produk yang dijualnya. Bir Kotjok Bogor. Minuman top Kop Kota Bogor . 0 % alhokhol. Sejak tahun 1965.
Eman merupakan generasi ketiga, yang sudah berjualan sejak tahun 2006. Dia bersama dua saudaranya berjualan di tempat berbeda, tapi masih tetap di sepanjang jalan Suryakencana. Dengah harga Rp.5000 per gelas, satu harinya bisa terjual 30 botol, yang setiap botolnya bisa untuk 5 hingga 6 gelas.
Sebelum kembali berkumpul dengan teman-teman KPK, gerobak dengan tulisan Pepes Sagu Khas Bogor, yang terletak dekat Ngo Hiang, memikat mata untuk berhenti. Pepes sagu? Ya, kuliner gerobak pinggir jalan ini ternyata enak disantap terutama saat panas.
Pepes sagu memliki tiga variasi rasa, yakni rasa pisang cokelat, nangka, dan pisang keju. Saya sempat mencicipi dua rasa, yakni sagu pisang cokelat dan nangka yang dibungkus seperti pepes, dibungkus dengan daun pisang seperti lontong.
Selain pepes sagu yang rasanya manis, gerobak khusus penjual pepes ini juga menyediakan peps oncom. Pepes nila, pepes ikan tenggiri, pepes cumi, dan pepes pete. Harga aneka pepes ini mulai dari Rp7.000-Rp.15.000. Ada juga bungkusan tutut, yaitu keong sawah yang juga enak dimakan.
Saya masih sempat membeli bakpia seharga Rp.10.000 dari bapak penjualnya yang terlihat sumringah. Meski tersedia berbagai rasa, lelaki ini menyarankan rasa kacang hijau saja yang lebih enak dan pasti setiap orang suka.
Mendatangi satu demi satu gerobak kuliner pinggir jalan yang ada di sepanjang jalan Suryakencana, saya kagum dengan betapa ramahnya para penjual dalam melayani pembeli. Tanpa sungkan dan sepertinya memang sudah biasa, mereka melayani saja setiap pertanyaan dan keingintahuan para pembeli.
Penjual lumpia basah, sambil menumis isi lumpia, menceritakan perbedaan isi lumpia Bogor dengan lumpia di daerah lain umumnya rebung. Lumpia Bogor terdiri atas bengkuang, tauge, dan telur yang kemudian dibungkus dengan kulit lumpia dan daun pisang. Isi bengkuang itu membuat lumpia basah Bogor lebih krenyes saat dikunyah.
Hebatnya lagi, para penjual kuliner di Bogor ini rata-rata sudah puluhan tahun setia dengan dagangannya. Menyandarkan hidup sehari-harinya untuk keluarga dan menyekolahkan anak.
Meski nyaris semua kuliner di jalan Suryakencana selalu diserbu oleh para pemburu makanan, para penjualnya merasa cukup hanya memberikan nomor ponsel yang dapat dihubungi, yang sudah ada di masing-masing gerobak. “Silahkan telepon saja nomor hapenya disitu,” kata ibu penjual sagu.
Saya melihat betapa peluang wisata dan peluang ekonomi yang sangat besar ada di Suryakencana. Seandainya dibenahi lebih bagus, lebih bersih, lebih tertata apik, dan penjualannya dengan mengoptimalkan penggunaan media sosial, pasti jauh lebih baik.
Kuliner jalanan masih tetap mengandalkan uang tunai untuk setiap transaksi jual beli. Belum ada yang menggunakan uang elektronik. Sistemnya masih sederhana, barang yang dibeli dikasih, uang tunai pun didapat. Non tunai belum berlaku disini.
Cuaca sore hari berubah. Bogor menampilkan dirinya sebagai kota hujan. Bergegas kaki menaiki angkot hijau 02 arah stasiun Bogor. Hujan turun sangat deras. Kembali ke Jakarta, kami kembali akan naik commuter line. Tentu saja, masuk Stasiun Bogor dan membayar tarif commuter lain menggunakan danamon flazz Wayne Rooney.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H