“Tolong bapak dan ibu, berikan kursi prioritas kepada yang sedang hamil, orang tua, dan bawa anak,” ujar seorang petugas Trans Jakarta, saat transportasi publik itu melaju dari halte ke halte, melintasi jalur bus yang disediakan sesuai dengan koridornya.
Anjuran seperti ini pasti pernah didengar tidak cuma sekali oleh para pengguna Trans Jakarta. Terutama di koridor 9 dan 10 yang mulai beroperasi sejak tahun 2010.
Lantaran transportasi publik ini sudah lebih dari lima tahun, sebenarnya petugas hingga kini tak perlu selalu mengingatkannya kepada setiap penumpang yang naik. Namun, ternyata cara ini masih cukup ampuh untuk membangkitkan kesadaran dan kepedulian para penumpang yang sengaja duduk di kursi prioritas.
Seperti halnya kursi-kursi lain yang tersedia di dalam Trans Jakarta, kursi prioritas juga menjadi incaran duduk para penumpang supaya tidak berdiri sepanjang rute perjalanan. Maklum, kapasitas kursi untuk penumpang duduk lebih sedikit daripada untuk penumpang yang berdiri.
Di saat penumpang yang lain berdiri, yang mendapatkan tempat duduk bisa beristirahat, sibuk dengan ponsel mulai dari mendengarkan musik, membuka sebuah permainan, chatting, buka internet, hingga menelepon.
Jadi wajar, jika mendapatkan sebuah tempat duduk, baik yang prioritas atau bukan, hingga kini masih memberikan kebahagiaan pelepas lelah. Usia muda, laki-laki dan perempuan pun tak mau melewatkan adanya kursi prioritas yang kosong.
Salahkah duduk di kursi prioritas? Tidak juga menurut saya, jika memang kosong dan tidak ada ada penumpang lain yang masuk 4 kategori, yang berhak dan sangat pantas duduk di kursi prioritas, yakni sedang hamil, lansia, membawa anak, dan disabilitas.
Duduk di kursi prioritas itu seharusnya membuat siapa pun penumpang menjadi lebih peduli dan lebih peka. Kenapa? Karena sebenarnya di atas kaca jendela yang berada di atas kursi prioritas yang warnanya dibedakan dengan kursi penumpang lain, biasanya sudah ada tempelan gambar mereka yang masuk golongan prioritas. Hal itu sudah bisa terlihat jelas.
Tidak satu atau dua kali saya melihat justru penumpang yang duduk bukan di kursi prioritas, dengan tanggap justru yang memberikan kursi yang telah didudukinya kepada yang lebih berhak.
Namun, tidak satu atau dua kali juga, saya melihat ada perilaku sebagian penumpang yang memang sengaja berusaha mencari tempat duduk. Misalnya saja, seorang ibu yang tadinya minta duduk sedikit lalu lama-lama melebar atau dengan terang-terangan meminta yang lebih muda untuk berdiri.
Untuk yang satu ini, batasan umur memang tidak ada ketentuannya, kecuali lansia pada kategori prioritas. Tak hanya perempuan, di bagian laki-laki pun terkadang ada yang masih kurang peka membaca situasi. Pernah ada, dalam Trans Jakarta yang saya naiki, seorang laki-laki bertingkah meminta tempat duduk sehingga membuat kesal seorang petugas Trans Jakarta.
Meskipun ada juga yang sesekali salah menduga saat melihat perempuan berperut gendut yang dikira sedang hamil. Seorang penumpang malah menolak duduk dan tertawa saat diduga sedang berbadan dua. “Nggak. Nggak. Saya nggak hamil,” ucapnya dan memilih tidak duduk.
Selain di Trans Jakarta, tanda kursi prioritas juga terpampang jelas commuter line. Seperti halnya di Trans Jakarta pula, ada yang peduli dan tidak peduli. Unggahan sejumlah gambar di berbagai media sosial memperlihatkannya.
Bahkan, pada tahun 2016, pemberitaan seorang perempuan yang duduk tenang di kursi prioritas tapi tidak peduli dengan seorang bapak tua yang berdiri di dekatnya, pernah beredar di sejumlah surat kabar. Beritanya ada disini.
Kepekaan dan kepedulian seseorang terhadap sesuatu, termasuk pemberian kursi prioritas agaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik pengalaman, pengetahuan, pendidikan, dan pergaulan yang dimiliki seorang penumpang. Orang yang mengingatkan pun harus siap menerima berbagai reaksi yang akan muncul
Bagi yang sudah memiliki kepedulian dengan adanya kursi prioritas, tentu hal itu dapat menjadi contoh yang baik. Bagi yang belum, sudah saatnya setiap orang untuk meningkatkan rasa kepeduliannya dan mampu berempati. Mampu berbagi dan bertenggang rasa pada mereka yang benar-benar masuk pada kategori prioritas.Termasuk di dalamnya, bila ada penumpang yang sedang sakit, memberikan kesempatan untuk duduk.
Saya lebih memilih untuk tidak duduk di kursi prioritas dan duduk di kursi lain walaupun kursi prioritas berada dalam keadaan kosong sekalipun. Saya merasa tidak patut untuk duduk di kursi yang lebih ditujukan pada mereka yang masuk ke dalam golongan ibu hamil, membawa anak, disabilitas, dan lansia.
Pastinya, gambar kategori penumpang prioritas yang terpampang jelas, baik di Trans Jakarta maupun di Commuter Line merupakan hal yang sangat baik untuk transportasi publik yang melintas di wilayah Jakarta. Sebab, pada angkutan umum lainnya, seperti bus kota ataupun angkot tidak bisa ditemukan. Untuk dua kendaraan ini, kepedulian untuk memberikan kursi kepada penumpang yang lebih membutuhkan duduk pun tetap diperlukan.
Kepedulian dan kepekaan bisa diawali dari memperhatikan kursi prioritas pada transportasi publik. Hal ini tetap perlu diasah seiring dengan waktu sehingga timbul kesadaran yang lebih baik kepada setiap penumpang kepada penumpang yang lain.
Caranya, cukuplah dengan membayangkan bila kita berada dalam posisi 4 kategori yang termasuk prioritas. Maukah saat ada pada kondisi prioritas tidak dapat duduk? Setiap orang sebenarnya sudah tahu jawabannya. Untungnya, saat ini sudah tersedia kursi roda pada transportasi publik seperti di stasiun. Untungnya lagi, sebagai pengguna transportasi publik, saya melihat masih ada yang mau membantu untuk mendorongkan kursi roda dan menuntun orang tuna netra hingga benar-benar duduk di kursi yang disediakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H