Perempuan berusia jelang paruh baya itu sedang membenahi sayuran dagangannya di los sayur lantai dua Pasar Slipi, Kemanggisan, Jakarta Barat, sore itu. Senyum di wajahnya langsung melebar ketika melihat saya mendatanginya. “Cari apa?” tanyanya ramah.
Ibu dua anak ini memang selalu menyapa saat saya ataupun keluarga saya berbelanja di los sayurnya ataupun sekedar melewati tempat dagangannya saja. Bahkan, bisa dibilang mengenal baik ibu saya yang lebih sering berbelanja ke pasar.
Jumat Sore 27 Januari 2017 pukul 16.00, suasana pasar Slipi sudah sepi. Hanya ada satu pembeli selain saya, yang datang untuk membeli sayur mayur. Sehingga, terciptalah obrolan mengenai keadaan pasar saat ini, mulai dari semakin sepinya pembeli, kondisi bangunan Pasar Slipi yang sudah bocor disana sini, keinginan memiliki pasar yang ramai pembeli, hingga kebutuhan mendesak yang membuat pedagang sayur ini harus meminjam uang untuk kelangsungan berdagang dari bank keliling.
Marni sudah lebih dari 30 tahun berjualan sayur di Pasar Slipi. Dia sempat mengalami kondisi pasar yang dulu masih berupa tanah becek di era pertengahan tahun 1980, sebelum kemudian Pasar Slipi dibangun dan seluruh pedagangnya sempat direlokasi sementara di sebuah lapangan bola yang tidak jauh lokasinya.
Marni merasakan kondisi bangunan pasar dari yang semula bagus saat baru dibangun hingga akhirnya mengalami kebocoran disana sini. Pasar Slipi yang sejak beberapa tahun belakangan ini menjadi pemberitaan di media massa karena kondisi bangunannya yang memprihatinkan. Khususnya sejak masa pakai pasar sudah habis sejak tahun 2010.
Lantai bangunan yang bocor telah menyebabkan air turun saat hujan datang sehingga mengganggu kegiatan berdagang. Lantai pasar kerap licin dan becek. Lantai dua atau lantai tertinggi, yang dulunya merupakan bioskop dan tempat hiburan bilyar kini kosong. Kerusakannya jangan ditanya lagi.
Bocornya sudah mencapai lantai di bawahnya. Lantai-lantai keramik juga sudah banyak yang lepas. Sebuah pasar yang sudah selayaknya untuk direnovasi segera untuk mengembalikan keceriaan dan kejayaan pasar yang semakin sepi dan suram.
Pasar Slipi secara lokasi berhadapan langsung dengan Plaza Slipi,hanya dibatasi dengan fly over menuju Tanah Abang. Di samping pasar, selain berjajar toko-toko, juga terdapat sejumlah minimarket, Alfamart dan Indomaret.
Sudar, seorang pedagang buah yang juga sudah 30 tahun berjualan buah, pasar sayur dan buah mengakui kondisi pasar yang sepi. Tempat perbelanjaan modern yang lebih nyaman, yang berada dekat dengan Pasar Slipi cukup mempengaruhi surutnya jumlah pembeli. Jam buka pasar, terutama los bagian atas terbatas hanya sampai sekitar pukul 6 sore. Jumlah pembeli semakin berkurang dan terbatas.
“Pasar ini sepertinya sudah susah untuk ramai pembeli,” kata Sudar, yang juga menghidupi keluarganya sejak menikah, mempunyai anak, hingga memiliki cucu dari hasil berjualan di pasar.
Pinjam di Bank harus memenuhi syarat. Koperasi pasar sudah bubar lebih dari lima tahun. Padahal, uang yang dipinjam tidaklah banyak, hanya sekitar Rp.500.000, Rp.1.000.000, hingga Rp.2000.000. Biaya pinjaman dicicil setiap hari sebesar Rp.40.000-50.000, tergantung jumlah pinjaman.
Buat Marni, semakin berkurangnya pembeli pasar dipengaruhi juga karena semakin banyaknya pedagang keliling yang mendatangi perumahan-perumahan yang berada di dekat pasar.
Dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi, seorang pelanggan perumahan bisa memesan kebutuhan sayur yang akan dibelinya kepada penjual tanpa perlu repot-repot pergi ke pasar. Pilihan juga lebih beragam karena banyaknya mal.
Sementara menurut Mino, penjual berbagai makanan kecil di depan pasar, dekat tangga naik ke lantai satu,sepinya pasar tidak lepas dari tutupnya bioskop dan hiburan bilyar. Saat masih ada, banyak pembeli yang tetap membeli walaupun malam sambil menunggu jam menonton bioskop.
Ah, saya pun dulu sempat menonton bioskop di lantai teratas pasar ini beberapa kali pada pertengahan 90-an, saat pasar Slipi baru dibangun. Kala itu, pasar ini sebenarnya sudah cukup apik karena dilengkapi dengan eskalator alias tangga berjalan, yang kemudian belakangan diganti menjadi tangga biasa kembali.
Mino, bapak tiga anak ini juga membesarkan dan menyekolahkan anaknya dengan berjualan makanan kecil. Untungnya, karena menggelar dagangannya dari pagi hingga malam di depan pasar, dekat tangga ke atas, selalu saja ada yang membeli sambil lewat.
Saat malam, Pasar Slipi berubah menjadi ramai di pelataran dengan parkir yang cukup penuh berjejal. Los dalam pasar yang buka hingga malam sekitar pukul 9.00, adalah yang berada di lantai dasar. Umumnya adalah penjual tas, pakaian, obat, pulsa, handphone, kosmetik, toko buku, toko elektronik, dan toko emas. Los sayur, daging, sembako tutup menjelang maghrib.
Sebuah pasar adalah saksi hidup perjalanan manusia, baik dari sisi penjual maupun pembeli seperti saya, yang dapat berlangsung sejak puluhan tahun. Betapa saling mengaitnya kebutuhan yang saling melengkapi. Untuk berbelanja di pasar, tidaklah perlu berbaji sangat rapi. Mengenakan sandal jepit, bercelana pendek, maupun berdaster pun jadi.
Saya ingat pernyataan Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita, saat menghadiri bertajuk “Festival Pasar Rakyat – Merayakan Harmoni Kehidupan”, yang diselenggarakan Yayasan Danamon Peduli didukung Kompasiana, pada 21 Desember 2016 lalu bertempat di Bentara Budaya Jakarta.
Engartiasto Lukita menyatakan mengutamakan keberadaan pasar rakyat, utamanya pasar tipe C. Terlebih dengan adanya rencana revitalisasi hingga 5000 pasar di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung saat itu membicarakan urgensi hari pasar rakyat nasional, semakin menyatakan pentingnya sebuah keberadaan pasar rakyat untuk dilestarikan. Walikota Balikpapan kala itu menerapkan sistem saling melengkapi antara pasar tradisional dengan pasar modern sekelas hypermart sehingga dapat seiring berjalan.
Dalam buku Menguak Pasar Tradisional yang mengupas 10 pasar tradisional di Indonesia, yang dikeluarkan oleh Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, disebutkan sebuah pasar tradisional adalah potret realitas suatu bangsa. Dari segi budaya bangsa, merupakan hasil budaya manusia secara individu ataupun komunal di suatu wilayah. Pasar merupakan realitas sosial yang mengambarkan identitas suku bangsa.
JJ Rizal, salah seorang penulis buku tersebut yang hadir dalam diskusi mengatakan, pasar memiliki kekhasan yang tidak mungkin ditemui di pasar-pasar modern. Hal itulah yang membuat keberadaan pasar bertahan. Seperti halnya pasar Senen, yang terkenal dengan pasar kue subuhnya. Jika di Kalimantan, lantaran kondisi geografis, terkenal dengan pasar terapungnya.
Ya, pasar rakyat atau pasar tradisional memang sampai kapan pun tak akan tergantikan pasar modern. Belanja ke pasar selalu meninggalkan nostalgia. ada interaksi antara penjual dan pembeli. Ada keakraban yang dijalin. Tidak sekedar proses jual beli. Seperti yang saya alami sendiri.
Sebuah bangunan yang terawat baik sehingga penjual dan pembeli nyaman, Sebuah kemudahan bagi para penjual untuk mendapatkan bantuan untuk berdagang. Pasar rakyat milik rakyat. Segala sesuatu ada di pasar. Dari sosial, budaya, hingga kuliner. Potensi pun banyak terdapat di pasar rakyat. Keceriaan, kebersamaan, dan kehangatan ada di pasar rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H