"Memang Aqil bodoh, nulis aja nggak bisa. Tuh...” Olok teman satu kelas Aqil, sambil menunjuk tulisan Aqil yang terbolak-balik susunannya di papan tulis.
Ucapan teman Aqil yang diiringi tawa teman-teman lainnya iini memicu kemarahan Aqil yang langsung menyerang temannya, sebelum akhirnya dilerai oleh ibu guru kelas.
Tumbuh sebagai anak yang menyandang disleksia, bukanlah hal yang mudah bagi Aqil (8). Dianggap sebagai anak yang bodoh atau tidak mampu mengikuti pelajaran di kelas dialaminya.
Disleksia telah menyebabkan Aqil mengalami kesulitan membaca dan menulis. Huruf dan kata terlihat seperti menari. Huruf-huruf pun terbolak balik susunannya membingungkan, seperti huruf u dengan huruf n. Begitu pun dengan sejumlah huruf lainnya.Kesulitan membaca dan menulis menyebabkan hampir semua nilai mata pelajaran Aqil jauh di bawah nilai rata-rata teman sekelasnya. Hal ini membuat ibunya, Amalia Prabowo, harus dipanggil oleh pihak sekolah untuk membicarakan yang terbaik untuk Aqil.
Tekanan sekaligus keinginan untuk memiliki anak yang berprestasi dengan nilai akademis yang tinggi, selalu menjadi standar umum bagi banyak orang tua. Setiap anak dituntut mampu mendapatkan nilai yang terbaik dan tertinggi. Menjadi anak yang pintar dan berprestasi, sehingga dapat sukses sebagai orang berhasil, menurut pandangan umum.
Begitu pun halnya dengan Amalia Prabowo. Perempuan ini juga memiliki standar dan ekspektasi tinggi mengenai pendidikan. Apalagi, di kantornya, Amalia merupakan pekerja profesional yang memegang jabatan tinggi sebagai CEO sebuah perusahaan periklanan multinasional. Amalia tidak bisa terima dengan kenyataan kemampuan Aqil anak semata wayangnya yang sudah Sekolah Dasar (SD) tapi tidak menunjukkan kemampuan akademis.
Apalagi, tuntutan untuk memiliki anak cerdas akademis juga datang dari ayah Amalia, yang mengatakan pada Amalia, ”Anakmu itu sakit. Umur delapan tahun tapi bisanya cuma menggambar.”
Aqil memang selalu menggambar dan menggambar dalam setiap kesempatan. Dimanapun dan kapan pun. Berbeda dengan kemampuannya dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
Perjalanan untuk mencari pengobatan dan dukun untuk penyembuhan berhari-hari hanya berdua bersama Aqil, akhirnya malah menjadi kekuatan Amalia. Melalui berbagai peristiwa yang dialaminya, menjadi penyembuh bagi Amalia yang semula menyangkal keadaan, untuk bisa menerima apa adanya kondisi Aqil.
Amalia akhirnya dapat melihat perbedaan yang dimiliki Aqil dari sisi yang lain. Membuka diri untuk menerima kekurangan Aqil sebagai kelebihan yang dimiliki Aqil. Apalagi, ternyata Aqil mempunyai kelebihan lain, yakni memiliki kemampuan menggambar yang sangat bagus. Kemampuan menerima kekurangan Aqil ini membuat hidup menjadi lebih indah dibandingkan sebelumnya.
Film berjudul Wonderful Life, diangkat dari kisah nyata yang dialami Amalia Prabowo dan Aqilurahman. Film layar lebar ini mengisahkan pengalaman keduanya dalam menghadapi disleksia. Judul filmnya sama dengan judul buku yang telah ditulis sebelumnya. Nama dalam film yang dipakai pun sama, yakni Aqil dan Amalia. Mulai Kamis tanggal 13 Oktober 2016, filmnya sudah bisa ditonton di seluruh jaringan bioskop XXI.
Saat berkesempatan menonton gala premiere film di Wonderful Life di Plaza Senayan, Jakarta, pada 10 Oktober lalu,sangat besar ketertarikan untuk mengetahui mengenai film mengenai anak disleksia, yang disutradarai oleh Agus Makki, yang sudah berpengalaman dalam membuat film dokumenter.
Film keluarga yang merupakan persembahan dari Sariayu Martha Tilaar, Creative & Co (bersama Visinema Picture), dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini, dibintangi oleh sejumlah aktris terkenal, yakni Atiqah Hasiholan (Amalia), Lidya Kandou (ibu Amalia), Arthur Tobing (ayah Amalia) , Alex Abbad (teman kerja Amalia), dan Didik Nini Thowok (ahli herbal).
Naskah film Wonderful Life ditulis oleh Jenny Jusuf, yang meraih penghargaan Piala Citra sebagai Penulis Skenario Adaptasi Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2015 dan sebagai penulis skenario terpuji Festival Film Bandung (FFB) 2015 dalam film Filosofi Kopi.
Sederet nama ini menjadikan film Wonderful Life memang enak ditonton. Atiqah Hasiholan sebagai Amalia Prabowo mampu memainkan dengan baik perannya sebagai ibu yang tidak terima saat anaknya menyandang disleksia yang tidak bisa disembuhkan. Termasuk saat memperlihatkan rasa gemas saat melihat anaknya Aqil yang dimintanya belajar malah asyik menggambar.
Dalam film yang digarap oleh tiga produser, yakni Angga Dwimas Sasongko, Handoko Hendroyono, dan Rio Dewanto ini, sebagai ibu dari anak disleksia, Atiqah yang memerankan Amalia terkadang melepaskan emosinya dengan berteriak. Amalia di sela kesibukan pekerjaannya sehari-hari bahkan nyaris mempertaruhkan perkerjaannya. Amalia sebagai orang tua tunggal harus menghadapi tekanan sosial memiliki semata wayang yang menyandang disleksia. Ketakutan yang sangat saat anaknya hilang di tengah pasar.
Saya terpikat dengan akting Sinyo yang merupakan pendatang baru di film sebagai Aqil yang sangat bagus. Aktingnya nyaris serupa halnya dengan para penyandang disleksia atau anak berkebutuhan khusus.
Bukan Hanya Prestasi Akademis
Melalui film Wonderful Life ini, siapa pun yang menonton akan memperoleh pelajaran berharga jika kemampuan seorang anak tidaklah perlu selalu diukur dengan nilai akademis semata. Dalam kehidupan, segala sesuatu memang tidak pernah lepas dari penilaian orang. Sehingga tidak sadar, setiap orang tua berusaha untuk mewujudkannya. Membuat anaknya memiliki nilai bagus dan sempurna, serta memiliki segudang prestasi.
Dalam film ini terlihat Amalia semula menginginkan hal yang sama, sehingga Aqil merasa semua yang dilakukan semata-mata hanya untuk Umi, sebutan ibu untuk Amalia. Di sisi lain, ayah Amalia yang juga kakek Aqil pun menuntut prestasi gemilang dari Aqil dengan nilai bagus dan bisa mendapatkan beasiswa. Kakek Aqil menilai Aqil sakit dan menganggap Amalia gagal sebagai orang tua. “Sampai kapan kamu gagal jadi orang tua, Lia?”
Amalia yang akhirnya sadar telah salah memperlakukan Aqil setelah perjalanan mencari penyembuhan, mengatakan pada ayahnya, “Aqil nggak sakit, pa. Kita sakit, pa.”
Saat mengunjungi seorang ahli herbal yang diperankan Didik Nini Thowok, memang sempat terlontar ungkapan jika tidak ada yang salah dengan Aqil. Semua anak terlahir dengan sempurna.
Film Wonderful Life lebih mengupas kedekatan emosi seorang ibu dan anak. Penerimaan orang tua, terutama seorang ibu saat mengetahui anaknya tidak sama dengan anak yang lain. Tidak bisa diandalkan secara akademis.
Dalam film ini, tidak begitu menggambarkan dengan jelas mengenai disleksia, kecuali tulisan tangan Aqil yang diolok temannya dan huruf menari saat Aqil membaca. Namun, melalui film ini, siapa pun yang menonton akan tergugah agar tidak segera mencap atau memberi label anak bodoh atau anak malas terhadap anak yang kesulitan membaca.
Buat orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, salah satunya disleksia, film ini akan menjadi motivasi dan penguat jika tidak sendiri dalam menghadapinya. Ada kehebatan dan prestasi lain yang dimiliki anak berkebutuhan khusus, seperti Aqil yang jago menggambar dan sudah menggelar pameran lukisan tunggal di kawasan hutan pinus, Taman Wisata Gunung Pancar, Sentul.
Prestasi Aqil di bidang melukis akhirnya justru membanggakan semua orang. Disleksia memang menyebabkan Aqil kesulitan menulis dan membaca, tapi imajinasi dan kreativitas tinggi Aqil yang dituangkan dalam gambar menjadi sangat luar biasa. Menjadi Wonderful Life.
Berikut trailer filmya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H