Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mereka yang Berpenyakit Langka, Mereka Ada dan Nyata

2 Maret 2016   23:12 Diperbarui: 6 Maret 2016   13:24 4520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Awareness terhadap rare disease/disorder saat ini masih rendah, bahkan di kalangan tenaga medis. (foto :riapwindhu)"][/caption]HUJAN masih turun membasahi Jakarta, Minggu pagi (28/2). Kegiatan Car Free Day (CFD) di sepanjang Jl. Jendral Sudirman-MH Thamrin, yang biasanya ramai pejalan kaki atau pesepeda tampak lengang. Aneka pedagang juga tidak terlihat memadati sisi kiri dan sisi kanan jalan.  

Hembusan angin dingin sesekali terasa. Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat perayaan Rare Disease Day untuk pertama kalinya di Indonesia, yang diselenggarakan di Jl, Teluk Betung, Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Sejumlah anak dan orang dewasa dengan bentuk wajah ataupun fisik tak biasa, berkumpul untuk menampilkan keberadaan diri. Mereka ada walaupun langka. Mereka nyata meskipun tak banyak.

Ada yang memiliki wajah seperti melorot karena kerusakan tulang wajah. Ada yang mengalami kerusakan di tulang otak ataupun pada tubuh sehingga mempengaruhi pertumbuhan layaknya manusia normal. Ada yang memiliki kepala kecil dengan banyak bulu di tubuh. Ada yang mampu berjalan namun ada juga yang harus berada di kursi roda.

Keberadaan mereka menyedot ketertarikan dan keingintahuan yang kebetulan melihatnya. Namun, mereka hadir bukan untuk dianggap berbeda. Mereka hadir untuk menggugah rasa dan kepedulian adanya penyakit langka. 

Karenanya, rare disease day yang secara internasional diperingati setiap tanggal 29 Februari atau setiap akhir bulan Februari ini, bertema Patient Voice, Join us in making the voice of rare diseases. Mereka menyuarakan pentingnya awareness terhadap penyakit langka, melalui pembagian booklet dan pin gratis. Selain juga mengadakan kegiatan berupa donor darah, photo corner, dan pojok konsultasi (genetika, psikologi)

Peringatan rare disease day menghadirkan berbagai komunitas terkait, seperti Sahabat Pierre Robin Sequance, Indonesia Cornelia de Lange Syndrome Family, Love My Face- Treacher Collins Syndrome, Tambah Asi Tambah Cinta, Premature Indonesia, Super Premature, Perduli Kesehatan Jiwa Ibu Perinatal Indonesia, Indonesia Difable Care Community dan PT. PFIZER.

[caption caption="Terdapat sekitar 7.000 penyakit langka (data:NORD)"]

[/caption]

 

Belum Banyak Diketahui

Saat ini diperkirakan terdapat 6.000-7.000 penderita penyakit langka. Kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini masih minim. Masyarakat masih banyak yang tidak mengerti dan tidak tahu mengenai penyakit langka.

Terkadang bahkan ada yang memandang rendah ataupun dengan tatapan aneh pada orang-orang yang memiliki kondisi fisik berbeda. Masih banyak mitos mengenai penyebab penyakit.  Penyandang penyakit langka dan keluarganya harus terbiasa menghadapi kenyataan.

“Ini bukan kutukan, karma, ataupun korban pesugihan,” tegas Yola Tsagia, founder komunitas Indonesia Rare Disorders. Odilia (7), anak perempuan Yola, adalah salah satu pengidap Treacher Collins syndrome (TCS).

“Ada yang bilang anak saya kena sawan,” kata Nanda, yang juga memiliki anak bernama Kirana (2), penderita Pierre Robin Syndroms (PRS).

Yola mengatakan, awalnya pun tidak tahu. Odilia memiliki wajah yang berbeda. Bentuk wajahnya cekung dan melorot. Terkadang susah menelan dan susah bernapas sehingga membutuhkan alat bantu. Telinganya pun mengalami gangguan pendengaran.

Yola baru tahu saat di rumah sakit ada yang menegur dan menyatakan ciri-ciri wajah anaknya seperti penderita TCS. Apa itu? Yola pun sempat bertanya-tanya karena sangat aneh pertama kali mendengarnya.

[caption caption="Lisa, seorang penderita penyakit langka, baru tahu penyakitnya setelah dewasa. (foto:riapwindhu) "]

[/caption]

Senada, Lisa menyatakan juga tidak tahu sama sekali dirinya penyandang TCS. Dia mengakui wajahya terlihat seperti melorot dengan rahang dan dagu kecil, tetapi saat itu dia datang ke rumah sakit untuk memeriksakan gangguan yang ada di telinganya. Bukan karena penyakit langka. Seorang perawat rumah sakit menyarankan Lisa untuk memeriksakan diri lebih lanjut. Kelainan pendengaran, selain wajah yang berbeda adalah salah satu dari ciri TCS.

“Saya tidak tahu saya mengidap penyakit langka. Orang tua  saya juga tidak tahu,” kata Lisa.

Budi, yang juga penderita TCS, pun baru tahu mengenai penyakit langka setelah berusia lebih dari 30 tahun. Saat itu Budi  bertemu dengan Yola yang kebetulan berkunjung ke Masjid Sunda Kelapa. Budi yang bekerja sebagai tukang parkir, selama ini hanya tahu wajahnya berbeda.  

Ketidaktahuan membuat penanganan terlambat. Seorang bayi diduga kemungkinan besar terlahir dengan PRS, meski tidak sempat terdiagnosa. Bayi ini meninggal akibat gagal nafas. Ibunya menduga anaknya mengidap PRS, setelah membaca artikel grup Sahabat PRS.

Bukan hanya penderita dan keluarga penderita yang terlahir dengan penyakit langka, banyak yang tidak tahu. Dokter di Indonesia pun masih ada yang asing dengan kondisi langka. Salah satu ciri khas penderita penyakit langka adalah memiliki bentuk wajah yang sama di berbagai wilayah dan negara, meskipun terlahir dari orang tua berbeda. 

Yola mengisahkan pengalaman saat Odilia mengalami sesak napas. Karena menunjukkan ada gejala-gejala seperti TBC, salah satunya sesak nafas, maka dokter pun mendiagnosa TBC, sehingga diberilah obat TBC. Padahal kepastian diagnosa TBC tidaklah semudah itu.

Nanda pun sempat berganti-ganti dokter untuk memeriksakan kondisi anaknya. Sebanyak lima dari tujuh dokter yang didatanginya menyatakan tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk anaknya. Anak yang menderita penyakit langka.

“Dokter pernah meminta supaya anak saya dikeluarkan saja saat masih awal kehamilan karena pertumbuhan janin tidak bagus,” kata ibu salah seorang penderita Dandy Walker Syndrome (DWS). Ibu ini memilih untuk mempertahankan anugerah kehamilan, walaupun anaknya kemudian lahir dan tumbuh besar dengan penyakit langka.   

Data dari Kementrian Kesehatan mengenai nama penyakit langka yang ada di Indonesia cukup beragam, antara lain Pierre Robin syndrome (PRS), Treacher Collins syndrome (TCS), Cornelia de Lange Syndrome (CLS),  Apert Syndrome, DiGeorge Syndrome (Velocardiofacial Syndrome), Russel-Silver Syndrome, Donohue Syndrome (Leprechaunism), Waadenburg Syndrome Choledocal Cyst, Carolie Disease Rett Syndrome, Kabuki Syndrome Retinopathy of Prematurity, Atresia Bilier, Prader Wili Syndrome, Congenital Pseudarthrosis, Tibia Microcephaly, dan Dandy Walker Syndrome.

[caption caption="Satu dewasa dan satu anak penyandang penyakit langka (foto:riapwindhu)"]

[/caption]

Penyebab Penyakit Langka

Diagnosa dan pencegahan penyakit langka masih sulit dilakukan. Sebanyak 80% rare disorders disebabkan karena kelainan genetikal berupa kelainan pada kromosom, kerusakan gen tertentu ataupun multi faktorial. Sisanya 20 % adalah faktor non-genetikal seperti lingkungan atau hal lain saat kehamilan.

Sebagian besar kelainan genetik yang bersifat autosomal dominan terjadi secara spontan sehingga tidak semua faktor genetik terjadi karena keturunan. Untuk kelainan genetik yang bersifat autosomal resesif dapat terjadi proses pewarisan.

Pemeriksaan genetik  merupakan upaya tetapi tidak semua orang bisa melakukannya, salah satunya karena biaya. Sulit terdeteksi karena nak-anak yang terlahir dengan penyakit langka ternyata memiliki ayah dan ibu yang sempurna secara fisik.

“Kita tidak pernah tahu. Lebih baik baik memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk anak-anak penyakit langka ini. What we can do,” tukas Nanda.  

Saat ini terdata ada 25 anak yang terlahir dengan Cornelia de Lange Syndrome (CdLS), 3 di antaranya telah meninggal karena berbagai sebab. Selain itu terdata ada 32 orang yang terlahir dengan PRS, 7 di antaranya telah meninggal karena berbagai sebab, 6 meninggal di usia kurang dari 1 tahun, dan 1 meninggal di usia kurang dari 2 tahun.

Untuk Treacher Collins Syndrome (TCS) terdata ada 4 orang, yakni dua masih anak-anak dan dua lainnya sudah dewasa. Salah satu anak TCS ini baru terdiagnosa di usia 6 tahun.

[caption caption="Penjelasan mengenai penyakit langka (foto:riapwindhu)"]

[/caption]

Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat dr.HR Dedi Kuswenda, M.Kes, yang hadir dalam peringatan IRD mengakui awareness terhadap penyakit langka masih rendah.

Selain itu, peralatan yang dibutuhkan hanya ada di rumah sakit besar yang ada di Pulau Jawa. Obat-obatan pun masih cenderung mahal harganya karena tidak diproduksi di Indonesia. Terapi yang berkesinambungan pun masih perlu dilakukan bagi pengidap penyakit langka.

Yola mengatakan, berkomunitas menjadi sebuah solusi. Berkumpul bersama dengan orang yang memiliki permasalahan sama, berbagi informasi dan pengetahuan penyakit langka, saling memberi dukungan dan jalan keluar terhadap suatu kendala, ternyata mampu menguatkan hati dan meringankan beban yang dirasakan orang tua yang memiliki anak penderita penyakit langka.  

Tidak semua orang tua siap memiliki anak-anak langka. Terutama dari pihak ibu. Ada yang tegar tapi ada juga yang tidak sanggup menerima kenyataan. “Yang perlu disembuhkan pertama kali adalah ibu dengan anak penyakit langka,” tukas Yola.

Menangis dan sedih saat pertama kali mengetahui adalah wajar tapi tidak perlu berlama-lama. Anak-anak langka memerlukan perhatian dan penanganan jangka panjang. Ketegaran dan keterbukaan orang tua akan lebih memudahkan jalan anak-anak langka.

Saat ini pengobatan dan terapi anak-anak langka bisa dilakukan menggunakan fasilitas BPJS kesehatan. Keluarga tidak mampu penderita penyakit langka juga dapat memanfaatkannya.

[caption caption="Koko Prabu dan anaknya Oyik (16), yang memiliki penyakit langka, datang dari Solo, Jawa Tengah (foto:riapwindhu)"]

[/caption]

Hingga kini belum ada data yang pasti mengenai keberhasilan anak-anak langka saat dewasa karena tidak semua kondisinya sama. Ada yang kurang kecerdasannya tapi ada yang tidak. Lisa, walaupun memiliki wajah tidak biasa namun memiliki kecerdasan normal. Lisa mampu lulus menjadi seorang sarjana psikologi. Odilia tidak masuk kelas inklusi. Odilia dapat mengikuti pelajaran umum di sekolah umum, dengan bantuan guru pendamping (shadow teacher).

Masa depan anak-anak langka juga menjadi pemikiran Koko Prabu, ayah dari Oyik (16), penderita CdLS yang mengalami kelainan pertumbuhan, jari yang tidak lengkap, memiliki kepala lebih kecil dari normal, dan harus berada di kursi roda.

Koko Prabu yang berasal dari Solo menitipkan empat hal yang perlu diperhatikan untuk anak-anak langka, yakni adanya pengakuan bahwa anak-anak Rare Disorders ada di Indonesia, adanya perlindungan hukum atau advokasi terhadap anak-anak Rare Disorders, adanya jaminan sosial terhadap anak-anak Rare Disorder, seperti  jaminan asuransi, kesehatan dan pendidikan, dan adanya penelitian bersama Kemenkes dan Kemensos ataupun Instansi terkait mengenai anak-anak Rare Disorder.

“Setelah dewasa, anak-anak ini mau diapakan. Apa yang bisa dilakukan untuk mereka, seperti diberikan pendidikan atau pelatihan,” ujarnya.

Saat ini informasi mengenai penyakit langka di Indonesia dapat diketahui melalui Indonesia  Rare Disorders,yang masih berbasis Fanpage Facebook, yakni di IdRareDisorders.  (#riapwindhu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun