[caption caption="Penggunaan kantong plastik untuk belanja (foto:tribunnews.com)"][/caption]TIDAK gratisnya lagi kantong plastik menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan, tertutama kaum perempuan alias ibu-ibu yang lebih sering bersentuhan dengan kegiatan belanja. Paling tidak, harus memenuhi keperluan belanja rumah tangga.
Sejumlah anggota dari salah satu grup whatsapp (WA) saya, juga tidak mau kalah ikut mengobrolkan hal ini sejak pemberlakuan kebijakan kantong plastik berbayar diujicobakan di 22 kota, mulai Minggu (21/2).
Program yang bertujuan mengurangi sampah plastik itu mengacu pada Surat Edaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar untuk konsumen minimarket, supermarket, dan hypermarket.
“Aku kemarin belanja di A minimarket bayar Rp.200 per satuan,” kata Tika, salah seorang teman saya. Dia langsung membayar saja sesuai dengan yang diminta tidak ingin repot karena tidak membawa tempat belanja.
Buat orang yang biasa belanja di supermarket dan minimarket, harga Rp.200 per kantong plastik terbilang cukup murah. Apalah arti uang sebesar itu? Tidak terasa. Harganya cuma senilai sebungkus permen saja saat ini.
Jika belanja sedang banyak hingga harus menggunakan 5 kantong plastik pun tidak apa-apa. Hanya bayar Rp.1000. Buat ongkos parkir pun tidak cukup. Lagipula, repotlah kalau tidak diberikan kantong plastik saat berbelanja.
Pembebanan harga Rp.200 per kantong plastik akan berbeda halnya jika nanti diberlakukan untuk pembeli di pasar tradisional. Jika kebetulan harus belanja ke beberapa pedagang, misalnya saja beras, sayuran, daging, tahu, dan buah sekaligus tidak terbayang berapa jumlah kantong pastik yang dibutuhkan.
Lalu berapa jumlah kantong plastik yang harus dibayar karena masing-masing pedagang tradisional berbeda jualannya. Kelompok pedagang daging sapi punya tempat tersendiri. Pedagang buah lokasi berbeda. Pedagang sayur memiliki area sendiri. Pedagang ikan ada di bagian lain dalam pasar.
Pasar tradisional memiliki beraneka rupa dagangan tetapi pedagangnya masing-masing. Kalau di supermarket, semuanya ada di satu tempat. Jadi kantong plastik yang dibutuhkan bisa jadi lebih hemat sedikit. Kasir biasanya hanya mengelompokkan jenis belanjaan kering dan belanjaan basah. Belanjaan yang bisa dimakan atau tidak bisa dimakan.
Nanti kalau belanja di pasar tradisional juga sudah diberlakukan kantong plastik berbayar, pasti menimbulkan reaksi berbeda dengan konsumen minimarket, supermarket, dan hypermarket. Apalagi pada pembeli di pedagang kaki lima (PKL) atau gerobak mangkal.
Seandainya perlu lima kantong plastik untuk belanjaan, yang berarti bayar Rp.1000, cukup berarti di pasar tradisional. Jumlah itu sama harganya dengan sebuah tomat atau buat penambah uang belanja kebutuhan lain. Itu dari sisi pembeli. Orang yang belanja.
Tapi tunggu dulu, membicarakan kantong plastik berbayar di pasar tradisional, meski direncanakan akan diterapkan juga di pasar tradisional, sepertinya masih agak jauh saat ini. Kebijakan kantong plastik berbayar Rp. 200 per buah di supermarket dan minimarket baru saja dimulai. Belum juga sepekan jadi belum tahu sukses atau tidaknya.
“Kalau belanja di supermarket, orang pasti langsung bayar saja. Kalau di pasar tradisional belum tentu orang kecil mau bayar,” kata ibu, saat kami membicarakan kantong plastik harus bayar.
Saat belanja di pasar tradisional untuk membeli sejumlah keperluan rumah kemarin (24/2), jumlah kantong plastik yang saya terima ada tiga buah karena jenis barang yang dibeli juga berbeda. Seperti biasa, pedagang memasukkan saja yang dibeli ke dalam kantong plastik. Gratis untuk pembeli.
Sementara saat ini di supermarket dan minimarket, pembeli sudah harus bayar sehingga muncul anggapan jika pembebanan biaya kantong plastik pada pembeli, maka para pemilik supermarket dan minimarket menjadi lebih untung dengan menjual kantong plastik. Kalau kantong plastik yang diberikan lebih banyak, keuntungannya lebih besar.
[caption caption="Penggunaan kantong plastik untuk barang belanja pembeli (foto:swa.co.id)"]
Penggunaan Keranjang Belanja
Saya setuju dengan perlunya #dietkantongplastik. Saya pun kasihan jika bumi saya, terutama negeri Indonesia ini tercemar limbah plastik yang sangat sulit terurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun sebelum hancur. Saya sedih saat melintasi sungai atau kali, sampah kantong plastik terlihat banyak menyumbat aliran air.
Pemerintah pasti telah memiliki kesepakatan jika harga yang diberlakukan tidak untuk mencari keuntungan. Masyarakat juga perlu mengubah kebiasaan dan pola pikir penggunaan kantong plastik agar lingkungan dapat terjaga.
“Dulu tahun 70-an, orang-orang kalau belanja tidak pakai kantung plastik. Selalu bawa keranjang belanja,” kata ibu yang kini berusia 66 tahun.
Saat belanja di pasar, misalnya sayur, pedagang hanya akan membungkusnya dengan kertas koran dan menyerahkan kepada pembeli yang akan menaruhnya di keranjang belanja. Kalau sekarang, pedagang akan memasukan yang dibeli ke dalam kantong plastik.
Ibu tidak begitu tahu persis kapan penggunaan kantong plastik kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Ibu sendiri saat ini juga sudah tidak memiliki keranjang belanja. Setiap belanja sudah disediakan kantong plastik oleh penjual. Lebih ringan, lebih tahan lama, lebih praktis, dan tahan air. Berdasarkan informasi, tas plastik pertama diciptakan pada tahun 1965 dan dipatenkan di Jepang pada tahun 1970.
Seiring dengan waktu bergulir dan perkembangan zaman, belanja dengan membawa keranjang mulai ditinggalkan karena memang cukup merepotkan. Terutama bagi yang bekerja di sebuah institusi seperti ibu dulu.Tidak terbayang jika pekerja kantoran harus membawa keranjang saat belanja di hari kerja. Belanja membawa keranjang seperti suatu hal yang sangat diniatkan. Lebih mudah dilakukan oleh para ibu rumah tangga.
Saat ini, pembeli di supermarket dan minimarket pasti akan lebih memilih untuk membayar saja harga plastik untuk belanjaannya. Para pekerja kantoran pasti tidak ingin ribet saat belanja sore hari setelah pulang kerja. Di sisi lain, pembeli di pasar tradisional, jika nanti diterapkan, bisa jadi lebih banyak yang beralih menggunakan keranjang belanja karena ingin lebih berhemat.
[caption caption="Contoh keranjang belanja (foto:tokopedia.com)"]
Saya sependapat dengan ibu saya jika tahun 70-an dan sebelumnya orang ke pasar tradisional selalu membawa keranjang belanja, maka pola kebiasaan ini bisa dibangun kembali perlahan. Hanya perlu diingat, tahun segitu belum marak supermarket dan minimarket seperti saat ini. Generasi saat ini akan lebih suka dengan kepraktisan dan kemudahan. Tinggal menenteng saja belanjaan meski plastiknya harus membayar.
Menurut saya, lebih efektif jika langkah awal pembiasaan adalah dengan menyediakan wadah ramah lingkungan dari penjual untuk para pembelinya. Selain itu, untuk mengurangi penggunaan dan peredaran kantong plastik baiknya diikuti dengan pengendalian pada produksi jumlah kantong plastik.
Selain itu, produsen hanya boleh memproduksi kantong plastik ramah lingkungan untuk digunakan di masyarakat. Pengendalian sampah plastik juga tidak terlepas dari cara proses pemilahan sampah yang saat ini masih belum baik diterapkan.
Namun saya percaya, kebiasaan adalah hal yang bisa dibangun hari demi hari. Solusi sampah, termasuk sampah plastik harus dimulai dari kesadaran diri sendiri. Sediakan saja berbagai pilihan keranjang belanja yang praktis, murah, awet, dan ringan di supermarket dan pasar tradisional. Selain itu juga, kantong belanja bukan plastik sehingga lambat laun siapa pun yang belanja terbiasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H