Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Belajar Jujur dari Penjual Es Goyang

22 Februari 2016   13:18 Diperbarui: 22 Februari 2016   18:10 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Es Goyang, jajanan tradisional yang murah dan banyak varian rasa.gambar:burppledotcom"]


[/caption]AKHIR pekan biasanya selalu saya isi dengan berkeliling naik sepeda. Kebetulan setiap minggu pagi di sepanjang Jl. Jendral Sudirman- MH Thamrin, Jakarta  selalu diadakan Car Free Day (CFD), Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB).

Kesempatan ini pantang untuk disia-siakan. Maka, mengayuhlah saya di atas sepeda. Tujuannya tentu saja selain untuk membuat tubuh sehat, sekaligus menyegarkan pikiran, dan melihat hal-hal baru yang menyenangkan.

 Banyak pemandangan menarik di sepanjang  perjalanan kayuhan sepeda saya, yang melintasi wilayah pinggir jalan tol Kebun Jeruk, Jalan Kebun Jeruk , Arteri Pondok Indah, Senayan, hingga akhirnya sampai ke Jalan Sudirman- Thamrin.

Perhentian terakhir sambil beristiwahat adalah Monumen Nasional (Monas). Belum lengkap rasanya kalau tidak mencapai ikon kebanggan masyarakat Jakarta ini. Biasanya disini saya beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah dan melihat kegiatan apa yang sedang ada di lapangan luas Monas.

Terkadang ada pameran, ada panggung hiburan, senam pagi bersama, layang-layang yang berada di angkasa, orang-orang yang mengantri ingin masuk ke dalam Monas, ataupun orang-orang  yang sekedar berjalan-jalan bersama dengan keluarga menikmati keindahan pagi di alam terbuka lapangan Monas.

Selain itu, banyak juga yang berfoto-foto dengan orang-orang yang menggunakan berbagai macam kostum, seperi Marsha, Hello Kity, Pahlawan Perjuangan, Manusia Emas,  hingga Pocong, hiii...

Saat ini, lapangan Monas sudah cenderung  agak bersih dari para pedagang kaki lima, yang dulu biasanya menggelar dagangan hampir memenuhi sehingga harus berhati-hati bila melintas ataupun berjalan. Lokasi para pedagang kini sudah ditempatkan khusus.   

Meski demikian, hari Minggu pagi tetaplah hari yang ramai dan padat pengunjung. Sejumlah pedagang tetap ada yang menjual di dekat pintu gerbang masuk Monas untuk mendapatkan pembeli. Saat CFD, sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin selalu berjajar para penjual berbagai dagangan, baik makanan, aksesori, baju, ataupun lainnya.

Perubahan pagi yang mulai cukup panas lewat pukul 9, membuat saya tertarik untuk menghampiri seorang penjual es goyang,  yang cukup banyak didatangi oleh pembeli.

[caption caption="Berbagai jenis rasa Es Goyang, seperti kacang hijau, ketan hitam, cokelat/gambar: gedoordotcom"]

[/caption]

Es Goyang sudah dikenal pada puluhan tahun lampau tapi jumlah penjualnya saat ini semakin marak, terutama saat di keramaian seperti CFD. Lumayan enak dan murah meriah harganya, apalagi sekarang sudah ada berbagai varian rasa. Ada rasa kacang, rasa cokelat, rasa kacang hijau. 

Dinamakan Es Goyang lantaran es ini penjual Es Goyang perlu menggoyang-goyang gerobaknya agar adonan es yang sudah ada dalam cetakan, yang ditaruh dalam wadah pendingin dalam gerobak, bisa rata membeku.  

Saya pun memesan satu. Penjual Es Goyang dengan cekatan melayani dengan mencelupkannya ke larutan cokelat dan kacang. Tidak tunggu lama masih di samping penjualnya, saya pun segera mencicipinya.

Saat baru gigitan pertama, saya terkejut. Asin sekali di dalam mulut.

“Kok Asin,pak?” tanya saya.

Penjual Es Goyang itu tampak memperhatikan ekspresi saya.Dengan sigap, dia langsung membuka gerobaknya dan menyodorkan sebuah Es Goyang yang masih baru.

“Ini Neng, diganti saja yang baru. Es itu dikasih ke bapak,” ujarnya.

Saya memandang bapak itu. Saya pun menerima Es Goyang yang disodorkan.

“Neng, Es Goyang tadi rasanya asin karena beberapa cetakan Es Goyang memang bocor. Jadinya, garam yang dicampur bongkahan es dalam pendingin masuk. Kalau nggak bocor, ya nggak akan asin. Es Goyang yang sekarang nggak asin,kan?” tanyanya.

Saya tertegun atas penjelasan panjang lebar penjual Es Goyang. Penjual ini mengakui ada kekurangan dalam peralatan menjualnya. Suatu hal yang belum tentu dilakukan oleh penjual.

Saya pun mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu untuk membayar Es Goyang. Bapak itu menolaknya dan mengembalikan Rp.5000.

“Neng cuma beli satu. Cukup bayar Rp.5000 saja untuk satu Es Goyang,” katanya.

“Nggak apa-apa, pak ! Es Goyang yang saya coba kan dua. Ambil saja,” balas saya, mengingat harga Es Goyang yang murah Rp.5000 dan dibeli di pinggir jalan.

Bapak itu tetap bersikeras tidak mau.

"Nanti Bapak rugi, lho..!" tukas saya.

“Cetakan esnya yang bocor. Itu saya yang salah. Saya nggak bisa menjual Es Goyang yang tidak bagus. Kalau ada yang tidak enak rasanya, saya siap mengganti tidak perlu membayar dobel,” kata penjual Es Goyang itu lagi.

Minggu pagi, saat Car Free Day (CFD), saya memperoleh sebuah pelajaran berharga dari seorang penjual Es Goyang. Harga sebuah kejujuran dan makna sebuah pelayanan dari seorang penjual kepada pembelinya tanpa takut merugi.

Apakah kejujuran sikap ini sudah dimiliki oleh kita dalam melaksanakan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari?

Saya pun kembali mengayuh sepeda untuk pulang ke rumah... (#riapwindhu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun