Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bapak, Untukmu

12 November 2015   23:44 Diperbarui: 13 November 2015   01:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HARI ini, begitu membuka smartphone yang berbunyi, sebuah penanda muncul. Tanggal 12 November : Hari Ayah. Ingatan saya langsung melayang ke Bapak, begitu aku menyebutnya. Lelaki pertama yang kukenal dalam hidup sebagai seorang anak perempuan.

Ya, Bapak. Buat seorang anak perempuan dimana pun, bapak adalah seorang lelaki pertama yang hadir dalam kehidupan. . Suara Bapak yang pertama kali terdengar mengalun saat mengadzani di telinga ketika baru saja membuka mata di dunia.

Bapak pernah menggendong, menyuapi,bahkan memandikan saat kecil. Itupun masih ditambah dengan tugas utama  menghidupi keluarga dengan mencari nafkah meskipun tidaklah berupa kehidupan mewah yang dihadirkan.

Bapak, saya ingat saat masih di sekolah dasar dulu. Saya bertengkar dengan salah seorang teman, Dini sebut saja begitu. Dia sangat bangga dengan ayahnya yang  bekerja di sebuah perusahaan ternama. Ayahnya seorang sarjana.

Kamar besar dengan rumah bagus itu sudah pasti. Mobil untuk berjalan-jalan dan mengantar sekolah sudah pasti ada untuk Dini. Mainan indah, boneka Barbie lengkap dengan rumah-rumahannya dia punya. Belum lagi, Dini bisa kursus menari, kursus bahasa inggris, dan teater. Saya tidak bisa.

 “Bapak kamu emangnya kerja,apa?” sergahnya.

 Bapak, ucapan Dini membuat saya bertanya-tanya kenapa Tuhan tidak memberikan saya seorang bapak yang hebat, terkenal, dan punya banyak uang sehingga bisa memenuhi permintaan yang saya inginkan. Ada panas yang mengalir dalam hati. Saya iri.

Pekerjaan bapak tidak istimewa. Bapak hanya seorang pengantar koran keliling  yang memasarkannya di perumahan-perumahan komplek. Terkadang, saya pun ikut serta atau mengantarkan beberapa surat kabar di sebuah perumahan.

Saya tidak menolak. Saya tidak malu. Saya bersedia membantu meski terkadang tetap bertanya kenapa saya bukan anak orang kaya sehingga tidak perlu menjalani hari-hari seperti ini. Maafkan saya bapak, saya tidak mengerti kenapa perasaan itu pernah hadir.

Saya baru menyadari betapa berharganya memiliki seorang bapak saat menginjak SMP tingkat pertama, Sani seorang teman bercerita begitu sedih ketika ayahnya meninggal dunia. Begitu sedihnya, setiap tanggal 7 di kalender, yang merupakan tanggal kepergian ayahnya, disilangnya dengan spidol merah. “Saya tidak suka tanggal itu. Tanggal itu ayah pergi,” katanya.

Kesadaran tertinggi betapa beruntungnya saya memiliki ayah adalah saat salah seorang teman kuliah menangis tersedu-sedu saat pamannya meninggal dunia. Saat saya bersama teman-teman bertakziah ke rumahnya, dengan air mata berlinang di kedua pipi dia berkata,” Kenapa Tuhan tidak pernah mengizinkan saya punya ayah. Dulu waktu saya kecil, ayah meninggal. Sekarang, paman yang saya anggap ayah juga meninggal.”

 Isak tangis teman saya membawa saya pada ingatan betapa saya sempat membanding-bandingkan bapak, menginginkan bapak adalah seorang hebat yang bisa dibanggakan kepada teman-teman.

Memiliki ayah, ternyata maknanya bukanlah itu.  Melalui sosok bapak, sejatinya saya bisa mengenal lelaki yang bisa melindungi dan memimpin. Melalui bapak, saya belajar mengenai hidup. Belajar menjadi seorang anak berbakti, belajar menghargai, belajar menyayangi,  dan bersyukur atas anugerah Tuhan. Bapak adalah Bapak. Cuma satu dan darahnya mengalir di tubuh saya. Saya bangga akan hal itu.

 Saya masih ingat saat bersama Bapak menyusuri jalan Medan Merdeka. Sangat senang. Melewati kantor-kantor pemerintahan. Bapak bertanya,” Kalau sudah besar ingin jadi apa?”  

Mengingat itu, saya tersenyum, semua impian orang tua masa lalu adalah semua anaknya menjadi pegawai negeri sehingga masa depan dan masa tua terjamin karena ada pensiun.

 Saya juga masih ingat saat ada pameran buku di Senayan, saya bisa berkeliling-keliling melihat buku yang begitu banyaknya meski akhirnya hanya buku berlabel diskon besar yang dibawa pulang.

 Bapak juga yang pertama kali mengantarkan ke perpustakaan. Salah satunya ke perpustakaan RI di Salemba. Saat itu, keinginan menjadi anggota batal karena belum cukup umur dan masih duduk di kelas I SMP.

 Saya sangat bahagia saat melihat toko buku Gramedia yang begitu besar. Saat itu, saya bilang. ke Bapak, “ Bapak, Suatu saat, buku saya pasti ada disini. Dipajang di setiap toko buku.Jadi yang terlaris.”

 Ah, Hari Ayah mengingatkan janji yang belum terlaksana itu. Terima kasih, Bapak. Saya beruntung memiliki bapak. Melalui surat kabar pagi yang bapak antar, saya justru belajar banyak. Belajar membaca dan mencerna situasi. Belajar bersyukur banyak yang bisa saya lewati hingga mampu menempuh pendidikan tinggi.

Saya tidak pernah tahu kapan saya tiba-tiba punya kemampuan alami untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Mengalir begitu saja. Bapak, untukmu saya pasti bisa mewujudkan kado berbentuk buku itu. Terima kasih.

 

Selamat Hari ayah..., Bapak....

 

Jakarta, 121115

#windhupunyacerita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun