Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kenangan Kampung Halaman dalam Kumpulan Cerita Pendek

12 Oktober 2015   18:16 Diperbarui: 4 April 2017   17:54 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KENANGAN masa lalu mengenai kampung halaman selalu tak bisa ditinggalkan atau dilupakan dalam ingatan. Seperti apa pun, senestapa apa pun atau sebahagia apa pun, kenangan yang telah berlalu justru menyeruak mengambil tempat dalam pikiran dan tampil menjadi sebuah catatan diri yang tak pernah hilang.

Setidaknya, hal itulah yang muncul saat membaca lembar demi lembar kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Anak-Anak Masa Lalu, karya Damhuri Muhammad, terbitan Marjin Kiri,pada Juni 2015. Kenangan masa lalu yang dihadirkan melalui cerita pendek justru menjadi kekuatan sebuah kisah, yang memaksa para pembacanya untuk berhenti sebentar, diam, berpikir, dan merenung mengenai apa yang telah dilalui dalam menjalani hidup, utamanya masa anak-anak.

Satu demi satu cerita pendek seakan menggugah lintasan jejak rekam yang telah terlewati seiring dengan perjalanan waktu. Sebuah catatan atas protes sosial. Gugatan hati atas apa yang telah terjadi meski tak semuanya mampu tersalurkan dan tak bisa diungkapkan secara lisan pada masa lalu. Kata-kata tersimpan yang memfosil dalam pikiran dan selalu muncul berbaur di antara nestapa, bahagia, dan kerinduan akan kampung halaman.

Saat menghadiri Kupas Buku Damhuri yang diadakan Kupas Buku Club, pada akhir September lalu di Woot Cafe, saya menyadari adanya unsur kekuatan di dalam kenangan-kenangan masa lalu, yang dihadirkan dalam bentuk cerita pendek. Judul buku kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu, diambil dari salah satu cerpen berjudul sama

Keinginan hanya menyimak apa yang ada di dalam buku Damhuri ternyata memancing saya untuk menuliskan ulang yang ada di dalam buku kecil itu. Membaca cerpen-cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu seakan mengingatkan seringkali kita mengabaikan hal-hal kecil yang mungkin saja justru bisa menjadi kenangan menyakitkan bagi seorang anak kecil di kampung, yang bisa jadi masih termasuk dalam hitungan kerabat dekat

                   Membaca Cerpen Lelaki Ragi dan Perempuan Santan

Protes Sosial Dalam Cerpen

MELALUI cerpenLuka Kecil di Jari Kelingking, Damhuri mengisahkan kenangan masa kecil yang terintimidasi oleh hardikan dan makian dengan mata membelalak saat melihat sedan mengilat yang terparkir di depan halaman rumahnya. Saat itu, saudara perempuan Emak-nya yang berhasil di rantau datang berkunjung.

Hasrat ingin mendekati dan melihat-lihat sedan mewah, yang jarang sekali ada di kampung langsung sirna oleh hardikan suami kakak perempuan Emak,”Hoiiiii, jangan kau pegang, Buyung. Itu mobil mahal. Lecet sedikit saja bisa tergadai dua musim panen sawah Emakmu untuk menggantinya.”

Sindiran-sindiran mengenai lakon hidup hadir dalam cerpen Damhuri lainnya. Dalam cerpen Rumah Amplop dikisahkan mengenai Sukra, yang dimasukkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan uang pelicin hasil lelang harta benda keluarga, ladang, dan tanah warisan demi mengejar kemuliaan menjadi keluarga yang berlimpah puji dan puja karena mengantongi SK PNS.

Lolos sebagai abdi Negara dengan menyuap pejabat telah membuat Sukra menjadi pemakan segala ‘Amplop’ . Saat terlibat dalam proyek pembuatan jalan malah menyuruh pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal, memendekkan jalan yang semestinya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh, dan semua penyunatan anggaran itu digunakan untuk membeli mobil mewah.

Meski begitu, nama Sukra di kampung terkenal karena banyak membantu dan memberikan sumbangan. Begitu harum karena meski berkarir di kota tak lupa tanah asal dengan menjadi dermawan, baik hati, dan pemurah karena membangun sekolah, memperbaharui masjid, dan memperbaiki jalan kampung.

Dalam Cerpen Banun, yang merupakan cerpen terbaik dalam buku ini, juga dimunculkan kegetiran sosial yang ada. Banun, cerpen yang diterbitkan Harian Kompas pada tanggal 24 Oktober 2010 ini, dimuat sebagai materi kajian cerpen dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia : Ekspresi Diri dan Akademik Kelas XI, Semester I (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013).

Banun menyinggung kisah Palar, orang kampung yang melego semua lahan sawah di kampungnya kepada lintah darat, demi menguliahkan anak lelaki satu-satunya agar meraih gelar Insinyur Pertanian. Berbeda dengan Banun karena menjalankan laku tani dengan menanam, menyiangi dan menuai padi di sawah milik sendiri dengan tenaga tersisa dan hidup sangat hemat, yang malah dianggap kikir.

Bagi Banun, orang tani yang sesungguhnya tidak akan gampang menjual lahan sawah meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakan. Apalah guna insiyur pertanian bila tidak mengamalkan laku tani?

Ketidaksiapan orang kampung untuk menerima perubahan wilayah kampungnya yang tadinya hanya sebagai tempat ziarah menjadi sebuah destinasi wisata dengan segala dampaknya,yang tak melulu meninngkatkan ekonomi daerah, menjadi catatan dalam cerpen berjudul Kepala Air.

                             Suasana Kupas Buku Anak-Anak Masa Lalu karya Damhuri Muhammad di Woot Cafe

Lekat Nuansa Minang

Saat Kupas Buku Anak-Anak Masa Lalu, Damhuri sempat menceritakan cerpen Lelaki Ragi dan Perempuan Santan, yang diterbitkan harian Kompas, pada 29 September 2013. Kisah mengenai kisah cinta laki-laki dan perempuan yang tidak berujung pada pernikahan lantaran si perempuan menikah dengan orang kota yang lebih mampu dan bisa ‘membangun’ desa melalui kekayaannya.

Lelaki Ragi dan Perempuan Santan ini terkait dengan kisah lemang yang selalu menyertai tapai. Nuansa Minang lekat dengan dimunculkannya cerita budaya hantaran gulai kentang sebagai bahasa pinangan yang santun dari pihak perempuan. Kuah yang kental, kentang yang kempuh sempurna, bagai mencerminkan kesungguhan niat dan perasaan keluarga yang ingin memperoleh menantu lelaki.

Cerpen Reuni Dua Sejoli juga mengisahkan betapa terpuruknya harga diri sebagai orang yang tidak memiliki keturunan. Memiliki anak adalah suatu kebanggaan bagi orang kampung . Sebuah bukti dari sempurnanya kemampuan beranak pinak.

Cerpen lain bernuansa Minang sekaligus bernada dongeng, yang memang tanah asal Damhuri, juga hadir dalam Tembiluk, Anak-Anak Masa Lalu, Orang-Orang Larenjang. Secara keseluruhan, terdapat 14 cerpen dalam kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu, yang keseluruhannya pernah dimuat di harian nasional, kecuali cerpen Kiduk Menggiring Bola.

Semua cerpen hadir dalam nuansa kampung Minang melalui adat istiadat, laku masyarakat, kekayaan alam yang dihadirkan. Begitu pun dengan gaya bertutur yang mengalir bercerita. Damhuri yang alumnus Pascasarjana Filsafat UGM dan berprofesi sebagai redaktur sastra harian Media Indonesia, dalam epilog buku memang mengakui tidak pernah sanggup melarikan diri dari kepungan kenangan masa kecil di tanah kelahirannya, Payakumbuh.

Kampung yang sebenarnya sudah lama hendak dilupakan. Kampung yang lebih banyak menyisakan derita dan nestapa ketimbang keriangan, apalagi kerinduan yang menyala-nyala, sebagai kerinduan para perantau di musim lebaran. Damhuri, yang sempat menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) dan terpilih sebagai salah satu dewan pengarah ASEAN Literary Festival inni,  tak menolak dianggap kampungan karena kenangan kampung halaman dan cara berpikir yang udik.

Tanah Minang sejak lama dikenal dalam dunia sastra Indonesia karena banyak budayawan besar lahir disini. Membaca Anak-Anak Masa Lalu karya Damhuri, setidaknya membuat pembaca berada pada sebuah tempat perhentian yang memaksa menjadi ruang kreatif sekaligus belajar menalar dan merenung . Memaknai setiap jejak kehidupan yang ada sebagai anugrah yang harus dinikmati, sangat berharga, dan bisa bermanfaat bagi sesama. Kenangan masa lalu jika diolah dalam kata-kata dapat menjadi bermakna dan menguat dalam bentuk cerita pendek. Jejak-jejak masa lalu yang tidak akan terhapuskan.

Kenangan masa lalu dalam penceritaan adalah kekuatan. Budayawan Hamka dalam kutipannya pun mengatakan, ”Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.” (#windhu)

*) Sumber Gambar Utama: Anak-Anak Masa Lalu, Buku Kumpulan Cerpen Damhuri Muhammad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun