Lolos sebagai abdi Negara dengan menyuap pejabat telah membuat Sukra menjadi pemakan segala ‘Amplop’ . Saat terlibat dalam proyek pembuatan jalan malah menyuruh pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal, memendekkan jalan yang semestinya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh, dan semua penyunatan anggaran itu digunakan untuk membeli mobil mewah.
Meski begitu, nama Sukra di kampung terkenal karena banyak membantu dan memberikan sumbangan. Begitu harum karena meski berkarir di kota tak lupa tanah asal dengan menjadi dermawan, baik hati, dan pemurah karena membangun sekolah, memperbaharui masjid, dan memperbaiki jalan kampung.
Dalam Cerpen Banun, yang merupakan cerpen terbaik dalam buku ini, juga dimunculkan kegetiran sosial yang ada. Banun, cerpen yang diterbitkan Harian Kompas pada tanggal 24 Oktober 2010 ini, dimuat sebagai materi kajian cerpen dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia : Ekspresi Diri dan Akademik Kelas XI, Semester I (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013).
Banun menyinggung kisah Palar, orang kampung yang melego semua lahan sawah di kampungnya kepada lintah darat, demi menguliahkan anak lelaki satu-satunya agar meraih gelar Insinyur Pertanian. Berbeda dengan Banun karena menjalankan laku tani dengan menanam, menyiangi dan menuai padi di sawah milik sendiri dengan tenaga tersisa dan hidup sangat hemat, yang malah dianggap kikir.
Bagi Banun, orang tani yang sesungguhnya tidak akan gampang menjual lahan sawah meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakan. Apalah guna insiyur pertanian bila tidak mengamalkan laku tani?
Ketidaksiapan orang kampung untuk menerima perubahan wilayah kampungnya yang tadinya hanya sebagai tempat ziarah menjadi sebuah destinasi wisata dengan segala dampaknya,yang tak melulu meninngkatkan ekonomi daerah, menjadi catatan dalam cerpen berjudul Kepala Air.
Lekat Nuansa Minang
Saat Kupas Buku Anak-Anak Masa Lalu, Damhuri sempat menceritakan cerpen Lelaki Ragi dan Perempuan Santan, yang diterbitkan harian Kompas, pada 29 September 2013. Kisah mengenai kisah cinta laki-laki dan perempuan yang tidak berujung pada pernikahan lantaran si perempuan menikah dengan orang kota yang lebih mampu dan bisa ‘membangun’ desa melalui kekayaannya.
Lelaki Ragi dan Perempuan Santan ini terkait dengan kisah lemang yang selalu menyertai tapai. Nuansa Minang lekat dengan dimunculkannya cerita budaya hantaran gulai kentang sebagai bahasa pinangan yang santun dari pihak perempuan. Kuah yang kental, kentang yang kempuh sempurna, bagai mencerminkan kesungguhan niat dan perasaan keluarga yang ingin memperoleh menantu lelaki.
Cerpen Reuni Dua Sejoli juga mengisahkan betapa terpuruknya harga diri sebagai orang yang tidak memiliki keturunan. Memiliki anak adalah suatu kebanggaan bagi orang kampung . Sebuah bukti dari sempurnanya kemampuan beranak pinak.