Bagi sebagian orang mendengar kata “LIMBAH” maka yang terbesit di kepalanya adalah kotor, jijik, dan bau. Apalagi ada akronim B3, sehingga yang terlintas langsung pada dua kata yakni berbahaya dan beracun.
Bahan berbahaya dan beracun yang disingkat B3 ini kembali membuka memoriku. Apalagi terbersit kenangan tentang mata kuliah Pengelolaan Limbah B3 di strata dua kampus ITB, yang saat itu jadwalnya setiap hari Senin pukul 13.00 WIB.
Walaupun aku bukan penganut kredo, "I hate Monday", tetapi selalu saja di awal pekan itu sudah pasti tak berhenti menguap. Namun selalu berusaha setangguh-tangguhnya menahan kantuk, tanpa didahului dengan ritus menenggak minuman berkafein.
Harusnya manajemen kelas perkuliahan yang peduli dengan urusan daya tahan terhadap kantuk, bisa menyiapkan kopi. Harapan itu juga berbahaya dan beracun karena tak pernah terwujud hingga meraih master di sana.
B3 adalah bahan yang karena sifat/konsentrasinya, jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup serta makhluk hidup lainnya.
Tulisanku kali ini dimulai dari indra penglihatanku “menangkap” adanya chimney. Berawal dari aku main ke Stasiun Garongkong, Kabupaten Barru nyobain kereta api trans Sulawesi yang masih gratis.
Dalam hati terbersit kalau ada chimney berarti di tempat itu ada pabrik. Rasa penasaran membuatku mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang pabrik tersebut.
Memang yang kusebut pabrik ternyata ada, bernaung di bawah nama PT. Mitra Hijau Asia (MHA). Perusahaan tersebut merupakan salah satu pabrik pengolah limbah yang terletak di Kelurahan Mangempang Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.
Hierarki pengelolaan limbah B3 yakni Preventif Reduksi pada sumber, 3R (Recycling, Recovery and Reuse), hingga Pengolahan Limbah B3 dan Penimbunan Limbah B3.
Pengelolaan limbah B3 dimulai dari penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan. Semua proses pengelolaan limbah B3 tersebut WAJIB mendapatkan izin dari Menteri LHK.
Riory Rivandy (37), direktur PT. MHA mampu memikirkan kerja-kerja positif yang bisa dilakukannya. Ia melihat dan menangkap adanya peluang dalam pengelolaan limbah B3. Apalagi di Sulawesi Selatan, jumlah perusahaan pengelolaan limbah B3 masih bisa dihitung dengan jari tangan saja.
PT. MHA mengawali usahanya sebagai transporter atau perusahaan pengangkutam untuk jalur wilayah Sulawesi Selatan, Ambon, Kalimantan dan Sulawesi Tenggara. Hingga saat ini telah memiliki cabang di 14 provinsi dan melayani 289 perusahaan, rumah sakit, dan fasyankes.
Nah, seiring dengan laju ekspansinya, kini perusahaan itu mampu menguasai 40% pengelolaan limbah medis untuk wilayah Kalimantan. Target selanjutnya adalah pengangkutan limbah industri untuk wilayah Kalimantan.
PT. MHA dalam mengolah limbah B3 medis menggunakan insinerator. Saat ini, perusahaan tersebut mampu mengelola limbah sebanyak 300 kg per jam. Hasil efisiensi pembakaran sekurang-kurangnya 95%.
Saat pembakaran harus memperhatikan suhu yakni 8000C---12000C agar terbakar sempurna. Insinerator harus memiliki wet scrubber. Ketinggian cerobong (chimney) minimal 14 meter, yang juga harus dilengkapi dengan lubang pengecekan emisi. Beberapa bulan ke depan akan ada insinerator baru yang mampu mengolah limbah sebesar 750 kg per jam.
Dalam melakukan kegiatan operasional PT. MHA sudah pasti akan melakukan penerimaan tenaga kerja. Tenaga kerja ini bisa diserap dari desa yang berada di dekat lokasi area perusahaan dan Kabupaten Barru.
Adapun perekrutan tenaga luar tentu sebaiknya diperuntukkan pada tenaga ahli. Hal ini, perlahan tapi pasti diharapkan mampu mengikis angka pengangguran di lingkungan area sekitar perusahaan. Tentu saja bisa pula menjadi sumber penghasilan daerah Kabupaten Barru.
Kini, yang pasti telah direkrut 27 tenaga kerja yang membantu kegiatan operasional perusahaan.
Permasalahan lain yang ditemui adalah masih kurangnya pemahaman tenaga kerja tentang penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Padahal regulasi di Permenaker No. 8 Tahun 2010 Pasal 6 telah tertulis sangat jelas. Untuk hal ini diperlukan sikap tegas dari tim HSE dan security perihal penekanan bahwa hal yang berhubungan SAFETY adalah hal yang paling UTAMA.
Tantangannya bagaimana mengubah pola pikir masyarakat terkait pentingnya keselamatan kerja. Diperlukan effort yang luar biasa dari sesama tenaga kerja untuk menerapkan aturan tersebut. Untuk upaya demikian, sudah mulai dijalankan reward dan punishment
Permasalahan lain yang dihadapi terjadi dalam pengangkutan yakni pengiriman membutuhkan waktu tunggu yang lama. Beberapa pelabuhan memiliki SOP pengiriman laut tersendiri sehingga terkadang sedikit rumit untuk berkoordinasi dengan pihak pelayaran. Tantangan tambahan yang dihadapi PT. MHA adalah bagaimana menjaga kepercayaan dari klien.
Terakhir ketika mesin insinerator yang berkapasitas 750 kg beroperasi, maka akan dilakukan penerimaan tenaga kerja. Satu lagi, jika operasional izin pemanfaatan telah keluar, tentu akan menambah jumlah tenaga kerja.
Oh ya, residu limbah B3 tidak terbuang percuma karena kemudian diolah ini menjadi batako. Pengolahan ini juga bisa menyerap lapangan kerja tambahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI